Ketua DPR: RI Tak Wajib Taati Putusan IPT soal Kejahatan HAM 1965

Ketua DPR Akom juga menilai tak perlu Indonesia meminta maaf terkait peristiwa 1965 tersebut.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 22 Jul 2016, 16:30 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2016, 16:30 WIB
Ketua DPR Ajak Pelajar Bekasi Hindari Mentalitas 'Tetapi'
Untuk menuju masa depan yang lebih baik, Akom menyampaikan bahwa ada dua mentalitas kontradiktif yang harus diperhatikan generasi muda.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Ade Komarudin mendukung pemerintah yang menolak keputusan majelis hakim di International People's Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional. Dalam putusan itu disebutkan, Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966.

Menurut pria yang karib disapa Akom, dalam sistem hukum Indonesia tak ada keharusan mengakui hasil putusan IPT.

"Silakan saja mau apa saja (putusannya), kita punya sistem kedaulatan sendiri. Tidak ada kewajiban untuk ditaati karena kita tidak mengenal pengadilan semacam itu. Jadi tidak ada kewajiban kita untuk jalankan putusan apapun," ujar Akom di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (22/7/2016).

Lalu terkait dengan permintaan maaf terkait peristiwa 1965, Akom menilai hal itu tidak perlu dilakukan. Bangsa Indonesia dinilainya sudah cukup banyak mengalami peristiwa yang menguras energi, emosi, bahkan memakan banyak korban.

"Cukup sudah bangsa ini mengalami peristiwa yang kurang baik, bangsa ini sudah banyak tragedi politik. Kita ambil hikmahnya saja bahwa kejadian ini tidak boleh terjadi lagi di masa yang akan datang mengalami semacam itu," ujar Akom.

"Kita harus sama-sama solid secara nasional baik parpol dan masyarakat menghadapi dampak ekonomi global yang menurun. Kalau kita tidak pandai-pandai, tidak akan survive. Bukan soal parpol dan kelompok manapun, tapi soal survive bangsa ini," imbuh dia.

International People's Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional di Belanda sebelumnya menyatakan, Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966. Salah satunya mengenai pembunuhan besar-besaran atau genosida.

IPT juga merekomendasikan pemerintah Indonesia meminta maaf kepada korban dan keluarga peristiwa 1965. Hasil keputusan IPT 1965 itu rencananya juga akan disampaikan ke PBB dan Pemerintah Indonesia untuk ditindaklanjuti.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan ‎menyatakan, hasil putusan tersebut tidak perlu ditanggapi. Sebab IPT bukan institusi resmi.

"Jadi, tidak perlu ditanggapi. Bagaimana dia mau bicara tentang Indonesia kalau dia tidak tahu Indonesia? Kita tidak perlu bereaksi macam-macam," tegas Luhut.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya