Wakil Ketua KPK: Terlibat Korupsi, Perusahaan Bisa Dipidanakan

KPK sudah berkoordinasi dengan MA demi mencari kesepahaman untuk memberikan hukuman kepada korporasi sebagai pelaku korupsi.

oleh Oscar FerriPutu Merta Surya Putra diperbarui 10 Agu 2016, 03:48 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2016, 03:48 WIB
Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi Korupsi (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia, bukan hanya aparatur negara menjadi sasaran. Namun, para pengusaha atau pihak swasta juga dapat terjaring lantaran telah menguntungkan perusahaannya. 

Meski membawa keuntungan, para perusahaan jarang mendapat hukuman dari aparat penegak hukum. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum pernah sekalipun, memberikan hukuman sebuah perusahaan.

"Sebetulnya di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyangkut barang biasa itu tidak hanya pribadi tetapi juga korporasi (perusahaan). (Terlibat korupsi), Korporasi bisa dipidanakan," ucap Wakil Ketua KPK Alex Marwata di kantornya, Jakarta, Selasa 9 Agustus 2016.

"Memang sejauh ini KPK belum pernah membawa suatu korporasi itu sebagai pelaku pidana korupsi meskipun UU telah membuka peluang itu," komisioner KPK itu menambahkan.

Karena itu, lanjut dia, KPK sudah berkoordinasi dengan Mahkamah Agung (MA) demi mencari kesepahaman. Terutama untuk memberikan hukuman kepada korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Surat Edaran MA

"Memang kita harus ada kesepahaman dengan MA dan jajaran pengadilan untuk mengatur atau tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Saya rasa mungkin enggak lama lagi ada Surat Edaran dari MA yang mengatur pidana korporasi sebagai pelaku korupsi," tutur Alex.

Dia pun mengungkapkan, jika dilihat dari terdakwanya di KPK, sektor swasta lebih banyak dipidanakan daripada sektor swasta. Karena itu, ia setuju jika perusahaan harus dijerat pidana.

"Ya saya setuju, setuju sekali. Sebetulnya banyak yang menikmati keuntungan itu korporasi, jadi beberapa BUMN kadang-kadang kita tidak berhasil memulihkan kerugian negara itu karena kerugian negaranya dinikmati korporasi," tutur Alex.

"Ini gimana caranya supaya kita bisa menarik kerugian negara itu dari sektor korporasi. Kalau pelakunya itu melakukan tindak pidana atas nama korporasi atau melaksanakan tugas selaku pegawai atau pejabat sebuah korporasi perusahaan," ujar Alex.

Kolaborasi Penguasa-Pengusaha

Korupsi di Indonesia semakin lama semakin akut. Di antara makin menjamurnya korupsi itu, KPK menilai, 90 persen lebih korupsi terjadi karena ada kolaborasi antara penguasa dan pengusaha.

Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) belum mengatur tentang penjeratan terhadap korupsi di tubuh swasta.

"Korupsi kita itu sebagian besar 90 persen lebih itu karena adanya kolaborasi antara penguasa dengan pengusaha, sekalipun Undang-Undang Tipikor kita belum mengatur korupsi swasta," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 9 Agustus 2016.

Jeratan UU Tipikor

Meski begitu, lanjut Alex, dalam praktiknya sudah banyak pihak swasta yang dijerat KPK dengan menggunakan UU Tipikor. Sebab, korupsi yang melibatkan swasta itu juga turut melibatkan penyelenggara negara.

"Dalam praktiknya kita sudah banyak sekali memproses kalangan dunia usaha swasta dengan menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi. Dari jajaran direksi atau pengurusnya. Itu karena apa? Karena ada kerja sama dengan penyelenggara negara," ucap Alex.

Atas dasar itu, lanjut Alex, KPK bersama sejumlah kementerian, lembaga negara dan asosiasi pelaku bisnis sepakat membangun praktik bisnis berintegrasi yang bebas korupsi. Kesepakatan ini lahir dalam pertemuan Multi-Stakeholder Dialog Forum.

"Kita undang, kita cari solusi bagaiamana mencegah korupsi di sektor swasta, kita kaji. Banyak yang kita diskusikan," kata Alex.

Ada lima sektor usaha yang kini menjadi perhatian KPK karena rawan terjadinya korupsi. Kelima sektor itu, yakni kesehatan, migas, kehutanan, infrastruktur, dan pangan.

"Kita mendorong integritas dan profesionalitas. Dalam mencari keuntungan harus profesional, tanpa harus berikan suap atau bermain mata dengan birokrasi," komisioner KPK itu memungkasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya