Cerita Bung Karno Melamar Rahmi untuk Bung Hatta

Hatta pertama kali bertemu Rahmi pada pertengahan 1943. Saat itu, acara santap malam digelar di rumah Mr Sartono di Jatinegara, Jakarta.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 13 Agu 2016, 08:08 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2016, 08:08 WIB
Bung Hatta
Bung Hatta (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Sukarno datang ke rumah keluarga Rachim di Jalan Burgemeester Coopweg 11, Bandung (kini bernama Jalan Pajajaran).

Dalam perbincangan, pria yang kelak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia itu bertanya ke tuan rumah, "Siapa gadis tercantik di Bandung?” 

"Siapa ya? Olek, putri Ibu Dewi Sartika. Meta Sam Joedo, putra dokter terkenal di Bandung. Mieke, yang masih kerabat dokter Sam Joedo. Kenapa? Ada apa, Mas? Kok tanya-tanya tentang gadis cantik…"

"Ah, tidak apa-apa. Tanya-tanya kan tidak salah."

Beberapa waktu kemudian, sesudah kemerdekaan, Sukarno datang lagi. Kali ini bersama dokter pribadinya, dr Soeharto. Hari telah larut malam. Sang tuan rumah terheran-heran.

Sebelum membukakan pintu, Nyonya Rachim meminta dua putrinya, Rahmi dan Raharty, masuk ke kamar. Serdadu Jepang masih berkeliaran meski mereka telah menyerah kepada Sekutu.

"Begini, saya datang mau melamar," kata Sukarno sebagaimana dikutip Ny HSSA Rachim dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.

"Melamar siapa?"

"Melamar Rahmi."

"Untuk siapa?"

"Untuk teman saya, Hatta."

Hatta pertama kali bertemu Rahmi pada pertengahan 1943. Saat itu, acara santap malam digelar di rumah Mr Sartono di Jatinegara, Jakarta. Para aktivis politik datang, juga kerabat dan kenalan Sukarno, pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI).

 

Keraguan Rahmi

Sartono, pengacara dan kolega di PNI memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengucapkan selamat. Sukarno baru pulang dari pengasingan di Bengkulu. Pemerintahan militer Jepang membebaskannya.

Sukarno didampingi istrinya, Inggit Garnasih. Hadir juga suami istri, Rachim dan HSAA Rachim. Pasangan ini membawa dua anak perempuan mereka: Rahmi, 17 tahun, Raharty, 14 tahun. Hatta juga hadir.

Lalu datanglah lamaran itu. Tuan rumah terkejut bukan main dengan lamaran yang tiba-tiba ini. Nyonya Rachim membatin, Hatta bukan sosok sembarangan. Bersama Sukarno, Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

“Mas Karno, mengenai lamaran ini, saya harus menanyakan kepada anak saya dulu. Ia berusia 19 tahun, sehingga saya anggap dia sudah dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri.”

Nyonya Rachim masuk ke rumah. "Siapa yang datang, Mam?" ujar Rahmi ketika Nyonya Rachim masuk ke kamarnya.

"Bung Karno. Dia datang untuk melamar kamu."

"Melamar saya? Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?"

"Ini bukan mahasiswa. Dia orang baik. Mohammad Hatta."

Raharty nyeletuk, "Jangan mau, Yuke, dia sudah tua." Yuke adalah panggilan untuk Rahmi.

  Bung Hatta (Liputan6.com/Trie yas)

Saat itu, Hatta telah 43 tahun. Ia lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Banyak kabar menyatakan, dia memang telat untuk urusan hubungan dengan perempuan. Waktunya habis untuk politik. Sementara, Rahmi baru 19 tahun.

Rahmi ragu-ragu dengan lamaran itu. Dia pun diajak berjumpa Sukarno. "Oom, saya merasa takut," ujarnya.

"Takut apa?" kata Sukarno.

Menikah di Megamendung

"Saya ini orang bodoh, dia terlalu pandai."

"Tidak apa-apa. Pokoknya dia orang baik, pemimpin yang baik. Dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur dan mempunyai prinsip yang tegas."

Sukarno mengenal Hatta sejak belasan tahun sebelumnya. Pada 1920-an, sebagai sesama aktivis pergerakan nasional, mereka berpolemik.

Hatta menilai Sukarno terlampau frontal menghadapi rezim kolonial Belanda, dan hanya fokus mengagitasi massa dengan orasi, namun tak menghiraukan edukasi.

Rahmi pun akhirnya setuju menikah dengan Hatta. Mereka mengikat janji pada 18 November 1945 di Megamendung, Bogor. Hatta memiliki villa di sana – pemberian pemerintahan militer Jepang. Sukarno menjadi saksi pernikahan.

Bukan emas atau peralatan salat sebagai mas kawin. Hatta memberikan buku Alam Pikiran Yunani selaku mahar. Semula, bahan dasar buku ini merupakan materi kursus Bung Hatta untuk sesama tahanan politik di Digul dan Banda Neira.

Kelak, pasangan ini dikarunia tiga putri: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya