Liputan6.com, Jakarta - Tim jaksa penuntut umum (JPU) mencecar saksi ahli toksikologi forensik yang dihadirkan kubu terdakwa Jessica Kumala Wongso, Michael David Robertson terkait perbedaan proses absorpsi atau penyerapan zat di mulut dengan lambung. Hal itu untuk mendalami dugaan masuknya racun sianida ke tubuh Wayan Mirna Salihin usai minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Rabu 6 Januari 2016 lalu.
"Apa bedanya absorpsi mulut dan lambung?" tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2016).
Baca Juga
Ahli yang dihadirkan dari Australia itu lantas menjabarkan, bahwa absorpsi mulut terjadi ketika sesuatu dimasukkan ke mulut dan tetap tinggal di mulut. Zat tersebut juga tidak turun ke lambung.
Advertisement
"Tetapi itu tetap masuk ke aliran darah, karena kalau untuk dapat membunuh, ia harus masuk ke jantung, hati, dan otak," jelas Michael.
Tak berhenti di situ, JPU kemudian menanyakan kemungkinan terjadinya dua absorpsi dalam kematian Mirna. Apalagi dalam kasus ini, putri Edi Darmawan Salihin itu tewas usai minum es kopi Vietnam yang diduga mengandung senyawa sianida.
"Iya itu mungkin, karena ketika seorang minum, maka akan tertelan melalui mulut dan tertelan di lambung. Sebagian besar masuk ke lambung dan usus serta tertinggal di mulut," jelas Michael.
Namun, toksikolog lulusan Monash University itu tetap meyakini bahwa Mirna tewas bukan karena sianida. Sebab, jika benar Mirna tewas akibat sianida, seharusnya di urine korban terdapat racun tersebut.
"Kalau absorpsi di mulut tidak akan meninggal cepat," tandas dia.
Sianida Mematikan
Dalam persidangan ini, Michael juga menjelaskan soal kadar sianida di tubuh manusia yang dapat menyebabkan kematian. Menurut dia, sianida yang masuk ke dalam tubuh harus sebesar 2,95 miligram per kilogram berat badan manusia.
Mendengar keterangan tersebut, hakim anggota Partahi Tulus Hutapea pun tertarik untuk mencecarnya. Partahi ingin ahli menjelaskan maksud penghitungan tersebut.
"Iya itu per kilogram tubuh. Sehingga untuk orang seberat 60 kilogram harus ada 180 miligram sianida baru bisa mati, begitu kira-kira," ucap Michael.
Selanjutnya, Partahi mengonfirmasi antara sianida dengan kafein di dalam tubuh. Terlebih di barang bukti kelima, berupa sampel lambung Mirna tidak ditemukan kafein. Michael pun menjawab tegas bahwa kafein lebih lama mengendap di dalam tubuh daripada sianida.
"Kafein, saya mengatakan tidak ada bukti toksikologi bahwa sianida ada yang masuk ke mulut," kata dia.
Mendengar paparan itu, hakim menggali keterangan bahwa apakah setiap kasus keracunan bisa terdeteksi. Namun, Michael memilih uji temuan tersebut juga dibarengi dengan ilmu patologi forensik.
"Tidak, mungkin ada alasan racun tidak terdeteksi. Mungkin racun itu masuk ke tubuh sebelum yang bersangkutan meninggal dunia, mungkin juga terurai, atau metode yang digunakan tidak dapat menentukan racun," pungkas Michael.