Journal: Mata Elang Pengintai Penunggak Motor di Jalan

Mata Elang diberi tugas menarik unit oleh leasing. Namun, penjualan motor tetap stabil dan kredit macetnya hanya 2 persen.

oleh Mufti Sholih diperbarui 13 Des 2016, 16:55 WIB
Diterbitkan 13 Des 2016, 16:55 WIB
Penagih Utang Menangkap Nasabah
Mata Elang atau penagih utang mengecek STNK milik nasabah nakal (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Liputan6.com, Jakarta - Bunyi sirine ambulans terdengar mulai mendekat, bersautan dengan bising suara mesin yang berlalu-lalang. Ratusan kendaraan sudah hilir mudik. Jam di tangan menunjukkan pukul 14.30 WIB.

Siang itu, terik matahari sudah tak terlalu menyengat. Mata Hanok Batmaro, yang berada di samping jalan raya, masih gesit mengawasi kendaraan. Sementara, jemarinya cekatan mengetik pelat nomor kendaraan di telepon genggam jenis communicator.

"Di sini, ada nomor polisi semua motor dari seluruh Indonesia," ucap Hanok saat ditemui Liputan6.com, Selasa (29/11/2016).

Sudah dari pukul 09.00 WIB Hanok berada di samping jalan. Sesekali dia berdiri, kemudian kembali duduk di kursi papan yang tergeletak di depan kios kelontong. Sementara, sepeda motor jenis skuter matik miliknya, diparkirkan dekat kios.

Kios tersebut terletak persis di samping pohon rindang. Di dekat pohon itu, lelaki berusia 29 tahun ini sudah terpaku memantau lalu lalang kendaraan selama hampir 5,5 jam. Rutinitas mengawasi kendaraan ini sudah dia jalani hampir empat tahun.

Setiap hari, Hanok mangkal memantau lalu lalang sepeda motor dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Hanok melakukan pekerjaanya ini bersama Karim, Stefanus dan Toto.

Selama delapan jam waktu berjalan, mereka sesekali harus meningkatkan kewaspadaan dan kejeliannya. Sebab terkadang, ada pelat nomor kendaraan yang nyaris sama dengan yang terdapat di handphone communicator-nya. "Ah bukan," keluh Hanok seusai mengecek pelat nomor kendaraan.

Mata Elang atau penagih utang sedang mengecek nomor kendaraan (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Hanok merupakan seorang penagih utang atau debt collector. Pekerjaan yang dilakoninya ini kerap berjuluk mata elang. Pekerjaan ini biasanya dilakukan pihak ketiga dalam industri pembiayaan kendaraan bermotor. Mereka menjadi tenaga alih daya (out source) yang dikontrak perusahaan pembiayaan (leasing).

Meski bergentayangan di jalanan, Hanok dan kawan-kawan tak setiap hari mendapat hasil memuaskan. Apalagi jika sudah menjelang akhir bulan. Nasabah umumnya sudah membayar cicilan. Hanok bercerita, dia dan tiga teman lain biasanya baru mendapat "mangsa" setelah sepekan. Umumnya, mereka bisa mendapat satu atau dua sepeda motor yang pemiliknya sudah lama menunggak.

“Tahun-tahun kemarin, sehari bisa dapat tujuh. Kalau sekarang, dua, satu, kadang kosong. Atau kadang seminggu satu. Kadang pun, seminggu enggak dapat," ucap Hanok.

Mata Elang atau penagih utang menghentikan kendaraan milik nasabah (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Keberadaan mata elang membuat nasabah ketakutan. Ini seperti yang dialami Angger Anjar, salah seorang nasabah yang harus merelakan motornya ditarik debt collector.

Anjar mengatakan, dirinya tiba-tiba diberhentikan saat hendak berangkat kerja. Anjar sadar bahwa ia belum membayar cicilan selama empat bulan. “Saya kaget diberhentikan di tengah jalan. Saya sempat negosiasi, tapi ada tekanan. Karena saya malu juga. Akhirnya saya dibawa ke kantor (leasing), dan diselesaikan di kantor,” ucap Anjar menceritakan kisahnya dicegat mata elang.

Soal keberadaan mata elang ini tak dimungkiri perusahaan pembiayaan. Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, menerangkan banyak perusahaan pembiayaan menggunakan jasa tenaga alih daya ini.

Suwandi beralasan mereka sudah terlalu lelah mencari nasabah yang tak kunjung membayar cicilan kredit. “Mereka melakukan tugas dari perusahaan pembiayaan yang memberi tugas mencari kendaraan,” ucap Suwandi. Dia juga menilai wajar cekcok mulut atau perselisihan antara nasabah dengan mata elang. Menurut dia, itu merupakan konsekuensi. “Itu biasa menurut saya.”

‘Mencokok’ Penunggak

Kami sempat menyaksikan bagaimana Hanok dan teman-temannya mengejar nasabah yang menunggak. Stefanus, salah satu teman Hanok yang memantau sembari duduk di atas motor skuter matik, langsung tancap gas begitu melihat ada pelat nomor kendaraan yang dicari. Namun, mereka tak berhasil menangkap "mangsa" yang diburu.

Menurut Stefanus, mereka kurang cepat mengambil keputusan untuk mengejar nasabah. Sebab, mereka harus memastikan terlebih dahulu apakah nomor polisi yang dicari sama dengan nomor polisi yang ada di communicator mereka. “Kadang pelat sama, tapi jenis motor beda,” kata Stefanus.

Nomor pelat ini kadang menjadi masalah tersendiri buat mata elang. Selain hampir mirip-mirip, pengendara kadang mencopot atau melipat atau menutupi huruf di pelat tersebut.

Mata Elang atau Penagih Utang di Jalanan

Hanok mengakui ulah pemilik kendaraan membikin mereka jadi repot. Sebab, usaha mereka mengejar penunggak menjadi sulit. Ini berakibat ke pendapatan mata elang. Sebab, kata Hanok, mereka baru mendapat penghasilan jika bisa membawa kendaraan yang dicari dan diminta perusahaan pembiayaan. “Ini kan kita dapat unit, baru dapat fee. Kita kan enggak digaji (bulanan),” ucap Hanok.

Ulah nasabah nakal ini membuat mata elang berang. Mereka akhirnya harus memperpanjang jam kerja hingga pukul 18.30 WIB. Sebab, petang menjelang malam merupakan jam pulang kantor dan terjadi kemacetan di sejumlah tempat. Ini membuat mata elang akan lebih gampang menangkap nasabah-nasabah nakal yang masih berkeliaran.

Saat azan Magrib sudah selesai berkumandang, Karim, Stefanus dan Toto tiba-tiba menghidupkan sepeda motor. Mereka langsung tancap gas dan berkelok-kelok di antara kemacetan Jalan dr. Sitanala, Tangerang, Banten.

Ketiga mata elang ini mendapati ada sepeda motor dengan pelat nomor yang sesuai dengan data yang mereka punya. Motor jenis skuter matik berwarna merah tersebut dikendarai seorang lelaki. Stefanus pun langsung memepet motor yang diincar dan memberhentikan sang pengendara di samping jalan.

Seorang penagih utang tengah memperhatikan nomor polisi sepeda motor (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Rupanya, sang pengendara tak menyadari motor yang ditungganginya sudah lama menunggak. Sang pengendara yang enggan menyebutkan namanya itu mengaku, dirinya tengah meminjam dari seorang rekan kerja untuk mengambil barang. Sang pengendara kemudian menghubungi pemilik kendaraan. Apa daya, Hanok dan temannya sudah mengerumuni. Sepeda motor keluaran 2016 itu harus ditarik balik karena sang pemilik sudah lama menunggak.

“Sebenarnya kita sudah berhenti (selesai kerja) karena sore. Tapi karena target lewat, kita kejar dan akhirnya kita bawa ke kantor,” ucap Hanok dengan gembira.

Pasar Motor, Arena untuk Mata Elang

Keberadaan mata elang tak bisa dilepaskan penjualan sepeda motor di Indonesia. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mencatat, Indonesia merupakan pasar penjualan sepeda motor paling besar di Asia Tenggara, dan ketiga terbesar di dunia. Ketua Umum AISI Gunadi Sindhuwinata mengatakan, angka penjualan sepeda motor di Indonesia sempat mencapai delapan juta pada 2012 hingga 2014. Kalah dari Tiongkok dan India.

Menurut Gunadi, kondisi pasar otomotif, khususnya sepeda motor di Indonesia, tak pernah mengalami goncangan signifikan. Meski saat ini penjualan sepeda motor hanya ditarget mencapai enam juta unit. Namun, kata dia, itu tidak berarti pasar sepeda motor anjlok.

“Perkiraan kami dapat mencapai enam juta itu satu hal yang lumayan. Tidak boleh dikatakan jelek, tapi juga tidak bagus,” ucap Gunadi saat ditemui Liputan6.com.

Honda telah menjual sebanyak 430.953 unit sepeda motor sepanjang Agustus 2015.

Tingginya angka penjualan ini, menurut Gunadi, dilatari kebutuhan masyarakat. Sepeda motor, kata Gunadi, menjadi solusi untuk masyarakat memenuhi kebutuhan transportasi pribadi, yang belum bisa diatasi kendaraan umum. Apalagi, kata Gunadi, distribusi pendapatan masyarakat Indonesia masih di bawah 4.300 dolar AS, dengan kata lain, belum mampu untuk membeli mobil.

Gunadi menjelaskan, AISI sebagai organisasi yang menaungi produsen sepeda motor, meyakini penjualan pada tahun mendatang akan lebih meningkat. Pasalnya, kata dia, pemerintah sudah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5,2 persen pada 2017. “Ini yang menjadi harapan kita. Pasar sepeda motor akan berkembang di Indonesia,” kata Gunadi.

Gunadi tak mengingkari ada potensi kredit macet dalam pasar otomotif. Ini didasarkan atas perhitungan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), yang menghitung kredit macet atau non-performing financing dalam industri penjualan otomotif sebesar 2% dari 6 juta penjualan sepeda motor hingga Oktober 2016.

Sejumlah kendaraan melintas saat lampu merah (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno menerangkan, angka 2% ini sebenarnya tak terlalu mengkhawatirkan. Mengingat, kata Suwandi, angka itu masih dianggap lebih rendah dari aturan Otoritas Jasa Keuangan, terkait kesehatan multifinance, yang menerapkan ambang batas 5%. “Kalau kita masih 2%, 98% nasabahnya masih bayar tepat waktu, masih mempunyai pola pembayaran yang sangat baik,” kata Suwandi.

Meski hanya 2%, Suwandi tak memungkiri, NPF tersebut bisa memberi soal di kemudian hari. Sebab, adanya NPF atau kredit macet berimbas pada biaya tambahan yang harus dikeluarkan perusahaan pembiayaan. Hal ini membuat perusahaan pembiayaan harus meminjam dana kembali dari bank. Sementara di sisi lain, kata Suwandi, perusahaan masih bisa mengusahakan dana masuk dari tunggakan kredit yang dimiliki nasabah.

“Saat kita membiayai nasabah, umumnya kita akan mendatangi setiap nasabah itu untuk melunasi cicilannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan,” kata Suwandi. Usaha mendatangi nasabah ini dilakukan petugas penagih utang dari internal perusahaan secara sopan. Namun, Suwandi menyebut, tak semua nasabah mau bekerja sama dengan penagih.

Antrean kendaraan memenuhi jalanan di kawasan Pancoran (Liputan6.com/Balgoraszky Marbun)

Ini membuat perusahaan pembiayaan kebingungan. Akibatnya, kata dia, mereka harus menyewa pihak ketiga atau tenaga alih daya untuk mencari kendaraan yang statusnya dimiliki perusahaan pembiayaan lewat sertifikat fiducia. “Kalau nasabahnya sudah tidak bisa membayar, ya kita cari unitnya,” kata Suwandi menambahkan.

Pekerjaan ini yang dilakukan Hanok bersama tiga temannya. Hanok mengakui tak mudah menjalankan pekerjaan menarik barang dari seseorang. Namun, dirinya hanya menjalankan tugas. Meskipun, dirinya mengakui, terkadang merasa kasihan saat harus memberhentikan seseorang yang tak dikenal di tengah jalan. “Kita kan namanya manusia ada rasa kasihan,” ucap Hanok.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya