Trauma Anak Korban Gempa Aceh, Tubuh Gemetar dan Jerit Ketakutan

Kemensos melakukan rapid assessment korban gempa Aceh di lokasi pengungsian Kabupaten Pidie Jaya.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Des 2016, 19:14 WIB
Diterbitkan 11 Des 2016, 19:14 WIB
20161208- Tim SAR Terus Cari Korban Gempa Aceh- Eskavator-Aceh- Angga Yuniar
Pemandangan dari atas saat sejumlah eskavator dikerahkan untuk mengangkat puing-puing di Pasar Meureudu, Pidie Jaya, Aceh yang runtuh akibat gempa, Kamis (8/12). Dikabarkan korban meninggal sudah mencapai 102 orang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kementerian Sosial telah melakukan kajian cepat (rapid assessment) korban gempa Aceh di lokasi pengungsian korban gempa Aceh di Kabupaten Pidie Jaya. Yakni di Meunasah Jurong, Meunasah Balek, Meuraksa Barat, dan Paru Keude.

"Saat ini ada 25 orang tim Layanan Dukungan Psikososial. Sebelum mereka melaksanakan tugas mereka harus melakukan assessment terlebih dahulu. Untuk sementara ini tim berfokus di empat titik pengungsian yang jumlahnya cukup besar," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Banda Aceh, Minggu (11/12/2016).

Kajian utamanya dilakukan pada kelompok rentan yakni lansia, disabilitas, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak anak. Selain itu juga warga yang anggota keluarganya meninggal akibat gempa Aceh.

Kofifah mengatakan, hasil kaji cepat ini nantinya akan menjadi dasar pemberian layanan kepada pengungsi terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan data ini, tim juga akan menentukan intervensi atau aktivitas lanjutan untuk mengurangi dampak negatif dari gempa.

"Rapid assessment biasanya dilakukan dalam rentang waktu dari hari pertama sampai ke-4 kejadian bencana. Ini sebagai data awal yang menjadi dasar untuk menyusun program layanan dukungan psikososial selanjutnya," kata Mensos.

Koordinator Tim Layanan Dukungan Psikososial Kemensos Milly Mildawati mengungkapkan hasil kaji cepat pada pengungsi yang kehilangan anggota keluarganya menunjukkan bahwa mereka masih sangat berduka.

Mereka, sambung Milly, juga ketakutan berada di dalam ruangan dan lebih memilih berada di luar rumah, beraktivitas dan tidur di tenda-tenda.

"Kondisi ini agak berbeda dengan warga yang tinggal di pesisir pantai. Ketakutan mereka berbeda, dua kali lipatnya. Mereka takut berada di dalam ruangan dan takut tsunami karena rumah mereka berada di bibir pantai," ujar Milly yang saat ini menjabat Kepala Pusat Kajian Bencana dan Pengungsi Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung seperti dikutip dari Antara.

Terkait korban anak-anak, Milly mengungkapkan, tim dukungan psikososial mendapati anak-anak juga masih mengalami rasa takut dan trauma akibat gempa Aceh, terlebih saat terjadi gempa susulan.

"Mereka umumnya menunjukkan reaksi tubuh gemetar hebat, panik, saling berpelukan dan menjerit karena takut," ucap dia.

"Untuk hasil assessment kepada penyandang disabilitas diketahui jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan kelompok rentan lainnya, akan tetapi mereka tetap kami utamakan. Misalnya ada yang mengalami gangguan berjalan, kami gali kebutuhannya, dan mereka memerlukan alat bantu berjalan (tongkat) atau kursi roda," kata Milly.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya