Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) telah membacakan dakwaannya terhadap terdakwa dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Bagi penasihat hukum, dakwaan JPU tidak jelas.
"Surat dakwaan bersifat prematur karena diajukan tanpa mekanisme peringatan keras sebagaimana diatur dalam UU PNPS 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama hukum positif yang masih berlaku," kata salah satu penasihat hukum Ahok saat membacakan Nota Keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2016).
Selain itu, ia menambahkan UU tersebut belum pernah dibatalkan keberlakukannya baik secara legislative review maupun judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Advertisement
Kedua, menurut dia, surat dakwaan penuntut umum terhadap Ahok telah melanggar dan mengabaikan asas hukum lex specialis derogat legi generalis tentang UU PNPS 1965 sebagai ketentuan khusus yang bersifat inperatif dan limitatif dalam mengesampingkan pasal 156 a sebagai ketentuan yang bersifat umum.
Ketiga, Pasal 156 KUHP a huruf a dan b satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, huruf a adalah perbuatan pidana, sementara huruf b merupakan akibat dari perbuatan dari huruf a.
"Sementara dalam surat dakwaan tidak dijelaskan adanya akibat dan perbuatan yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama, yaitu adanya orang tidak menganut agama juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa," ujar dia.
Dakwaan yang disampaikan JPU, menurut pengacara Ahok, tidak menjelaskan secara tegas siapa subjek korban dalam dakwaan alternatif kedua Pasal 156 KUHP.
"Sehingga surat dakwaan penuntut umum secara hukum harus dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima sebagaimana dalam pasal 143 ayat 3 KUHAP," tegas pengacara Ahok.