Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, hoax kerap diperbincangkan di media massa maupun media sosial, karena dianggap meresahkan publik, dengan informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Lantas apa itu hoax dan darimana asalnya?
Menurut Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, istilah hoax atau kabar bohong, merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Diperkirakan pertama kali muncul pada 1808.
Seperti dilansir Antara, Jumat 6 Januari 2016, asal kata 'hoax' diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni 'hocus' dari mantra 'hocus pocus'. Frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa 'sim salabim'.
Advertisement
Alexander Boese dalam bukuny, Museum of Hoaxes, mencatat hoax pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Saat itu, ia meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan publik, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoax beredar.
Penyair aliran romantik Amerika Serikat, Edgar Allan Poe, pun diduga pernah membuat enam hoax sepanjang hidupnya, seperti informasi dari hoaxes.org yang dikelola Boese.
Poe, sekitar 1829-1831, menulis di koran lokal, Baltimore, akan ada orang yang meloncat dari Phoenix Shot Tower pada pagi hari 1 April. Orang itu ingin mencoba mesin terbang buatannya, dan akan melayang ke Lazaretto Point Lighthouse yang berjarak 2,5 mil.
Saat itu, Phoenix Shot Tower yang baru dibangun, merupakan bangunan tertinggi di AS. Berita orang terbang di gedung tertinggi itu menarik banyak peminat, hingga orang-orang berkumpul di bawah gedung untuk menyaksikannya.
Tapi, yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Kerumunan orang kesal dan bubar begitu menyadari hari itu 1 April. Poe lalu meminta maaf di koran sore, menyatakan orang itu tak bisa hadir karena salah satu sayapnya basah.
Salah satu hoax yang sering beredar adalah ancaman asteroid menghantam bumi hingga menyebabkan kiamat. NASA, pada 2015, membantah rumor asteroid jatuh dan mengakibatkan kerusakan besar di bumi.
Menurut mereka, asteroid yang berpotensi berbahaya memiliki 0,01 persen berdampak pada bumi selama 100 tahun ke depan.
"Kalau ada objek besar yang akan merusak pada September, tentu kami sudah bertindak sekarang," kata Manajer Objek Dekat Bumi NASA Paul Chodas, pada Agustus 2015.
Di Indonesia, saat ini kepolisian sedang melacak penyebar berita bohong mengenai jutaan pekerja asal Tiongkok di Indonesia. Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya membantah kabar jumlah pekerja Tiongkok di Indonesia, yang mencapai puluhan juta orang. Jokowi menyatakan, ada 21 ribu pekerja asal Tiongkok di Indonesia.
Mengapa Hoax Menyebar?
Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool Simeon Yates, dalam tulisannya yang dimuat di world.edu, Fake News-Why People Believe It and What Can Be Done to Counter It, menyebutkan ada fenomena bubbles atau gelembung dalam penggunaan media sosial atau medsos.
Pengguna medsos cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung medsos tersebut mencerminkan gelembung 'offline' sehari-hari.
Kelompok tersebut kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut.
Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability), berperan dalam penyebaran berita. Sebagaimana ditekankan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menjadi sulit membedakan mana yang palsu dari fakta, dan sudah banyak bukti serta butuh perjuangan untuk menghadapi ini.
Media digital juga membuat lebih sulit untuk membedakan kebenaran konten. Berita online lebih sulit untuk dibedakan.
Masalah berikutnya adalah bahwa mencabut 'berita palsu' di medsos saat ini kurang didukung teknologi. Meskipun tulisan dapat dihapus, ini adalah tindakan pasif, kurang bermakna daripada pencabutan satu paragraf di surat kabar.
Agar memberi dampak, yang diperlukan tidak hanya menghapus posting-an, tetapi menyoroti dan mengharuskan pengguna untuk melihat dan menyadari bahwa berita yang dimaksud sebagai 'berita palsu'.
Jadi apakah berita palsu adalah manifestasi dari masa media digital dan sosial? Tampaknya mungkin medsos dapat memperkuat penyebaran informasi yang salah.
Ini bukan 'persyaratan' teknologi, tapi pilihan--oleh desainer sistem dan regulator mereka (di mana mereka berada). Dan media mainstream mungkin telah mencoreng reputasi mereka sendiri melalui liputan berita 'palsu', membuka pintu ke sumber berita lainnya.
Pesan nyata dari masalah hoax adalah, tanyakan pada diri sendiri, seberapa sering Anda memeriksa fakta cerita sebelum menyebarkannya?