Liputan6.com, Jakarta - Bancakan proyek pengadaan e-KTP kian terkuak dalam fakta persidangan dugaan korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Mantan Direktur Utama Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya mengatakan, kontrak kerja sama dalam proyek e-KTP sembilan kali diubah dengan melakukan penambahan syarat atau adendum.
Menurut Isnu, perubahan dilakukan agar Konsorsium tetap mendapat bayaran meski pengerjaan e-KTP tak sesuai target. Isnu sendiri merupakan pimpinan Konsorsium PNRI yang memenangkan lelang proyek e-KTP.
"Sampai masa tugas saya selesai, ada sampai adendum keenam. Tapi saya dengar sampai sembilan kali adendum," ujar Isnu saat bersaksi dalam sidang e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2017).
Advertisement
Dalam kontrak kerja, Konsorsium seharusnya mendapat bayaran setelah memenuhi tiga target pekerjaan. Yakni pencetakan blanko, personalisasi data penduduk, dan distribusi ke kecamatan.
Lantaran adanya perubahan kontrak kerja, ditambahkan ketentuan bahwa konsorsium sudah mendapat bayaran meski baru bisa mencetak blanko kosong.
"Pada awalnya setelah blanko sampai terdistribusi di kecamatan baru mendapat bayaran. Tapi setelah adendum, kami sudah berhak meski masih blanko kosong," jelas Isnu.
Dia mengatakan, pada 2011 Konsorsium PNRIÂ seharusnya mampu mencetak sebanyak 67 juta keping e-KTP. Namun pada kenyataannya, PNRI hanya mampu mencetak dan mendistribusi 1,6 juta keping e-KTP.
Mendengar pernyataan Isnu tersebut, jaksa KPK Abdul Basyir pun bertanya, "Sebenarnya Konsorsium PNRI bisa nggak sih mengerjakan 67 juta keping?"
Isnu pun mengklaim Konsorsium PNRI mampu mencetak sesuai dengan target yang ditentukan. "Kalau melihat dari waktu kontraknya, seharusnya kita mampu," kata Isnu.
Namun dalam perjalanannya, salah satu perusahaan dalam Konsorsium PNRI, yakni PT Sandipala mengalami kendala pengadaan mesin. Akibatnya target pencetakan tidak mampu dicapai.
"Produksi tak mencapai target karena mesinnya kurang lengkap," kata Isnu.
Tetap Meraih Untung
Kendati demikian, Isnu mengaku perusahaannya bisa menerima keuntungan Rp 107 miliar dari proyek pengadaan e-KTP. "Iya (keuntungan) Rp 107 miliar," ujar Isnu.
Dari proyek senilai Rp 5,9 triliun itu, perusahaannya mendapat sekitar 6,7 persen. "Dalam bisnis (keuntungan) itu lazim. Kami memang mendapat informasi mendapat (keuntungan) 6,7 persen," tegas Isnu.
Dia juga mengatakan, dari keuntungan 6,7 persen tersebut tak ada yang mengalir kepada kedua Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Penasihat hukum Irman dan Sugiharto pun bertanya kepada Isnu terkait anggota Konsorsium PNRI lainnya yang memberikan aliran dana kepada kedua terdakwa. Namun, Isnu mengaku tak tahu.
"Kalau dari PNRI tidak ada. Secara pribadi juga tidak memberikan. Kalau untuk anggota konsorsium PNRI lainnya saya tidak tahu," ucap dia.
Anggota dari Konsorsium PNRI selain Perum PNRI adalah PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra.
Dalam dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Isnu Edhi Wijaya yang merupakan kepala Konsorsium PNRI disebut turut serta dengan dua terdakwa melakukan korupsi e-KTP dan merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.