Berkaca Kasus Ahok, Kader NU Harap Pasal Penodaan Agama Direvisi

Lakpesdam NU berharap para anggota DPR dapat menjadikan kasus Ahok sebagai bahan evaluasi dari perbaikan pasal penodaan agama.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 04 Mei 2017, 18:24 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2017, 18:24 WIB
Ilustrasi KUHP
Ilustrasi KUHP. (Elsam)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menyampaikan pandangannya terkait pasal penodaan agama yang mudah sekali menjerat siapa saja. Salah satunya terhadap Gubernur DKI Jakarta Ahok yang kini tinggal menunggu vonis hakim.

"Posisi NU dalam kasus ini memang agak repot. Bahkan sampai kemudian terjadi situasi yang tidak mengenakkan secara internal karena kasus ini. Kasus-kasus penodaan agama seperti ini akan terus terjadi," ujar Ketua Lakpesdam NU, Rumadi, di Kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Jalan Wahid Hasyim, Kampung Bali, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2017).

Menurut dia, hal terpenting yang perlu direvisi dari pasal penodaan agama adalah kejelasan dari makna kesengajaan seseorang melakukan penghinaan terhadap keyakinan atau simbol dari agama tertentu. Sebab, baik pasal 156 a dan 156 KUHP, isinya sarat tentang perasaan yang pada akhirnya melibatkan aksi massa.

"Harus memastikan bahwa rumusan pasal penodaan agama itu bisa diterapkan tidak terlalu eksesif. Jadi terlalu meluas. Sekarang itu kan pasal penodaan agama bisa diterapkan ke siapa pun. Bahkan kepada orang-orang yang tidak mempunyai niat menodai agama," jelas dia.

Berdasarkan puluhan kasus penodaan agama yang ada di Indonesia, pada akhirnya mereka yang dijerat tidak dijatuhi dengan pasal 156 a, tetapi pasal 156. Mereka tidak terbukti menodai agama dan hakim menggunakan pasal cadangan itu demi memenuhi desakan massa.

"Makanya kasus Ade Armando di SP3 itu, dibaca dari perspektif itu, tidak ada orang yang demo besar-besaran untuk memenjarakan dia, sehingga polisi ringan saja ketika SP3," ujar Rumadi.

Dia mencontohkan adanya kemiripan antara kasus Ahok dengan Yusman Roy yang melakukan salat dua bahasa di Malang. Roy hanya melakukan ajaran yang diyakininya sehingga di pengadilan tidak terbukti melakukan penodaan agama.

"Tetapi orang-orang di sekitar dia sudah telanjur marah, bahkan padepokannya itu sudah dirobohkan. Oleh karena itu, hukumannya tidak pakai pasal 156a, tapi 156," kata dia.

"Orang tidak peduli sebenarnya, apakah dia termasuk penodaan agama, ujaran kebencian, yang penting dia masuk penjara saja," lanjut Rumadi.

Dia berharap, para anggota DPR dapat menjadikan kasus Ahok sebagai bahan evaluasi dari perbaikan pasal penodaan agama yang dianggap terlalu lentur atau karet.

"Banyak yang kena kenapa? Karena norma yang ada di Pasal 156 a itu memang terlalu lentur. Kemudian bisa ditafsirkan hakim secara luas. Jadi tantangannya menurut saya, membuat pasal penodaan agama jelas dan tidak dikenakan pada orang yang tidak punya niat untuk menghina atau merendahkan agama tertentu," Rumadi menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya