KWI: Tengoklah Sejarah dan Belajar dari Pendiri Bangsa

KKP KWI mengutuk segala bentuk politisasi agama.

oleh Mevi Linawati diperbarui 14 Mei 2017, 01:26 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2017, 01:26 WIB
20151224-Ibadah Misa Malam Natal di Gereja Immanuel Berlangsung Khidmat-Jakarta
Umat Kristiani menyalakan lilin saat melaksanakan ibadah malam Natal di Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel, Jakarta, Kamis (24/12). Umat Kristiani merayakan Hari Raya Natal pada 25 Desember. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KKP KWI) menyatakan, akhir-akhir ini kehidupan berbangsa sedang terkoyak dengan munculnya isu-isu radikalisme, sektarianisme, dan kepentingan politik jangka pendek. Akibatnya, masyarakat yang masih belajar hidup berdemokrasi dengan mudah digiring masuk dalam sekat-sekat agama, etnis, dan aliran politik yang berbeda-beda.

Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI Romo PC. Siswantoko mengatakan, belakangan energi bangsa ini terkuras habis untuk menyatukan dan menguatkan semangat keindonesiaan yang dari hari ke hari kian pudar. Berbagai kekhawatiran akan masa depan Pancasila, kebinekaan dan NKRI kian membesar dan kegelisahan massal terasa di seantero negeri ini.

Dengan memperhatikan situasi tersebut, Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Indonesia (KKP KWI) menyatakan sikapnya.

"Pertama, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menengok sejarah dan belajar hidup berbangsa dengan para pendiri bangsa ini. Bangsa Indonesia diperjuangkan dan didirikan oleh tetesan darah dan pengorbanan jiwa para pahlawan dari berbagai agama, suku dan bahasa," kata Romo PC. Siswantoko dalam keterangan tertulis yang diterima pada Sabtu 13 Mei 2017.

Dia mengatakan, pendiri bangsa menanggalkan berbagai perbedaan, apalagi egoisme kelompok demi membela dan merebut bumi pertiwi dari tangan para penjajah. Mereka tetap hidup sesuai dengan agama, suku dan bahasanya tetapi mereka juga menghargai dan menghormati agama, suku dan bahasa lain yang ada di luar mereka.

"Bangsa ini didirikan tidak untuk satu agama dan suku tertentu, maka sudah selayaknya semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di negeri ini," kata Romo Siswantoko.

Kedua, KKP KWI mengutuk segala bentuk politisasi agama. Dinamika politik yang terjadi, kata Siswantoko, cenderung menggunakan agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik jangka pendek.

Dia menilai, keagungan agama sebagai sumber kedamaian dan ketenteraman, inspirasi dan pencerahan dalam hidup telah tereduksi sebagai pengumpul suara dan legitimasi kekuasaan. Bahkan dengan kian menguatnya politik identitas, agama telah menjadi pemisah dalam masyarakat.

"Politisasi agama telah merusak agama sebagai ranah yang suci, baik, adil dan damai. Agama harusnya dapat memurnikan dunia politik dan tidak sebaliknya justru membuat politik tampak kotor dan kurang beradab," tutur Siswantoko.

Ketiga, KKP KWI juga mendesak kepada pemerintah untuk bertindak tegas terhadap semua pihak yang ditengarai akan merongrong Pancasila, kebinekaan, UUD 1945, dan memecah belah masyarakat dengan berbagai isu.

"Pemerintah tidak boleh takut, apalagi kalah dengan kelompok-kelompok yang membawa ideologi, ajaran, dan doktrin yang bertujuan untuk menghancurkan bangsa ini.

Dia menilai, kelompok ini dari waktu ke waktu kian berani tampil dan menggunakan ruang publik untuk menunjukkan identitas dan menyebarkan ideologi mereka.

Oleh karena itu, pemerintah harus tegas, independen dan berani pasang badan untuk menghalau kekuatan-kekuatan tersebut yang telah mulai masuk ke berbagai lapisan masyarakat.

Keempat, KKP KWI berharap kepada para penegak hukum agar mereka benar-benar menjaga independensi dan tidak terpengaruh dengan berbagai tekanan dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Apalagi, keadilan bukan buah tekanan apalagi pesanan tetapi merupakan hak bagi semua warga negara, oleh karena itu para penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa harus benar-benar berdiri di atas semua agama, suku, dan golongan.

"Penegak hukum yang tidak tahan tekanan hanya akan melahirkan ketidakadilan dan ketidakadilan akan melahirkan penderitaan bagi masyarakat dan tidak stabilnya kehidupan berbangsa dan bernegara," Siswantoko menandaskan.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya