Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Setya Novanto mundur sebagai Ketua DPR. Desakan itu muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.
"‌Untuk menghadapi proses hukum, SN harus mundur sebagai Ketua DPR. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara untuk melawan proses hukum sehingga tidak terjadi konflik kepentingan," kata peneliti ICW, Donal Fariz saat dikonfirmasi, Senin, 17 Juli 2017.
Ia mengapresiasi keputusan lembaga antirasuah tersebut yang menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. "Langkah KPK ini patut diapresiasi untuk menunjukkan keseriusan KPK membongkar dalang persekongkolan pengadaan KTP elektronik yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun," ujar dia.
Advertisement
Tidak hanya sampai di situ, Donal meminta Partai Golkar juga harus segera membenahi pucuk pimpinan, yakni ketua umum.
"‌Pada saat yang sama, Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan internal untuk untuk mengganti pimpinannya yang bermasalah (Setya Novanto). Selain itu, Golkar harus mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK agar citra partai tidak semakin terbenam," pungkas Donal.
Tersangka
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Keputusan KPK ini diambil setelah mencermati fakta persidangan Irman dan Sugiharto terhadap kasus e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN, anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.
Novanto diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Atas perbuatannya, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Setya Novanto tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dalam dugaan korupsi KTP elektronik atau kasus e-KTP. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong.
Dia menyatakan tidak pernah menerima apa pun dari aliran dana e-KTP. "Saya tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Nazaruddin bahkan menyampaikan yang berkaitan dengan e-KTP. Bahkan, saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari e-KTP," ujar Setya Novanto usai menghadiri Rakornas Partai Golkar di Redtop Hotel, Jakarta, Kamis 9 Maret 2017.
Â
Saksikan video di bawah ini: