Liputan6.com, Jakarta - Dalam vonis kasus e-KTP yang dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, hari ini, banyak nama yang sebelumnya disebut dalam dakwaan dan tuntutan jaksa KPK terhadap Irman dan Sugiharto, kini menghilang.
Di antaranya adalah Ketua DPR Setya Novanto. Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim tak menyebut ada penerimaan uang oleh Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Hakim hanya mengulang percakapan antara Irman dan Sugiharto di kantor Irman. Saat itu, Sugiharto memperlihatkan sebuah catatan pemberian uang untuk pria yang kini ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP, namun tak disebut Setya Novanto menerima uang.
Advertisement
Yang disebut menerima uang bancakan hanya tiga orang, yakni politikus Partai Hanura Miryam S Haryani, politikus Partai Golkar Markus Nari dan Ade Komarudin.
Menurut Hakim Franky Tambuwun, kedua terdakwa telah memberikan uang USD 1,2 juta kepada Miryam, dalam empat kali penyerahan. Uang tersebut berasal dari Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Nama lain yang disebut dalam vonis menerima uang bancakan e-KTP, yakni Markus sejumlah USD 400 ribu. Penerimaan uang tersebut lantaran Markus yang meminta secara langsung. Markus merasa dirinya ikut membantu meloloskan anggaran e-KTP.
"Uang yang diberikan pada Markus Nari bermula saat Markus datang ke Kemendagri dan meminta uang Rp 5 miliar. Atas permintaan itu terdakwa minta uang kepada Anang S Sudiharjo. Kemudian Anang minta uang kepada Vidi Gunawan (adik Andi Narogong)," ujar Hakim Franky di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/7/2017).
Setelah mendapatkan sejumlah uang dari Vidi, Anang kemudian memberikan uang kepada Markus di dekat TVRI. Tapi uang tersebut nilainya tidak seperti yang diminta Markus senilai Rp 5 miliar, hanya Rp 4 miliar.
"Hanya ada Rp 4 miliar. Uangnya enggak cukup," dan dijawab Markus. "Enggak apa-apa," ujar Hakim Franky menirukan percakapan Anang dan Markus.
Sementara itu, aliran uang kepada politikus Golkar Ade Komarudin sebesar USD 100 ribu diserahkan Sugiharto melalui Drajat Wisnu Setiawan.
"Bahwa selain itu, terdapat pihak lain yang diuntungkan oleh para terdakwa yakni Ade Komarudin sebesar USD 100 ribu," ujar Hakim Franky.
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka keempat kasus e-KTP. Penetapan ini setelah penyidik mencermati fakta persidangan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang juga terdakwa kasus yang sama, Irman dan Sugiharto.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN (Setya Novanto), anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan, sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Agus menjelaskan Setya Novanto memiliki peran penting dalam mengatur proyek e-KTP. Penyidik menduga Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama-sama mengatur proyek e-KTP sejak awal.
"Saudara SN (Setya Novanto) melalui AA (Andi Narogong), diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa e-KTP," kata dia.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Terkait statusnya ini, Setya Novanto tegas membantah menerima uang Rp 574 miliar seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa KPK. Dia pun mengutip pernyataan mantan anggota Partai Demokrat Nazaruddin yang menyebut dirinya tidak terlibat korupsi e-KTP.
Setya Novanto berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang menyerang dirinya, terutama dalam kasus proyek e-KTP. "Saya mohon betul-betul, jangan sampai terus dilakukan penzaliman terhadap diri saya," tegas Ketua Umum Partai Golkar itu.
Saksikan video menarik berikut ini: