Liputan6.com, Jakarta - Jaksa KPK menghadirkan Iksan Harahap atau Iksan, pengusaha di Singapura yang rekeningnya sering digunakan untuk transaksi fee proyek e-KTP. Iksan dihadirkan untuk bersaksi atas terdakwa korupsi e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Iksan mengatakan, pernah beberapa kali diperintahkan kakak Andi, Dedi Priyono, untuk menampung dan menarik uang yang totalnya hampir 1,5 juta dolar Singapura. Itu terjadi sepanjang 2012.
"Ditransfer melalui rekening saya pribadi. Terus ada yang saya tarik cash lalu saya berikan kepada orang-orang yang diperintahkan Pak Dedi. Ada juga yang saya transfer lagi ke beberapa rekening yang diperintahkan Pak Dedi," kata Iksan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin 21 Agustus 2017.
Advertisement
Iksan mengaku mengenal Dedi Priyono dari Irvanto Hendra Pambudi selaku pemilik PT Mukarabi Sejahtera. Jaksa KPK pun bertanya soal siapa Irvanto.
"Irvanto itu keponakannya Pak Setya Novanto," ujar Iksan.
Dalam kesaksiannya, Iksan juga mengaku mengira uang yang ditransfer ke rekeningnya dan dibagikan hanya untuk investasi sebuah restauran di Singapura.
"Waktu itu mau bentuk perusahaan Tri Star Equator. Pak Andi Narogong, ada Pak Vidi Gunawan, ada Pak Irvanto, ada Pak Dedi (Priyono). Saya tahunya investasi restauran," tutur Iksan.
Mendengar jawaban Iksan, Jaksa KPK lantas membuka bukti aliran rekening Iksan, yang sebagian uang itu ternyata berasal dari Johannes Marliem dari Biomorf selaku penyedia produk automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merk L-1 untuk e-KTP. Johannes sendiri ditemukan tewas dengan dugaan bunuh diri di Los Angeles pertengahan Agustus ini.
Iksan membenarkan bukti-bukti yang ditunjukan jaksa KPK soal arus masuk uang ke rekeningnya. Tapi Iksan mengaku lupa terkait uang yang ditariknya tunai, diberikan kepada siapa saja dan di mana saja.
"Waktu itu hanya diberitahu Pak Dedi, ada yang saya tranfer, ada juga yang saya tarik cash, lalu diberikan kepada orang sesuai perintah Pak Dedi," kata Iksan.
Sementara Majelis Hakim mencecar keterangan Iksan lantaran selalu mengaku tidak tahu terkait aliran uang ke rekeningnya. Padahal uang yang masuk tidaklah kecil. Apalagi uang tersebut akhirnya diserahkan kepada orang lain sesuai perintah Dedi.
"Nggak masuk akal saudara menampung uang jumlah besar berkali-kali, tapi terkait apa tidak tahu. Sudah begitu mau saja jalan bawa uang terus dikasih lagi ke orang lain," kata Hakim.
"Saya cuma mengira untuk investasi restauran tadi majelis," jawab Iksan lagi.
Hakim pun mencecar soal upah yang diberikan Dedi atas jasanya menampung uang di rekeningnya.
Menjawab ini, Iksan mengaku mendapat upah sekitar Rp 10 juta. Iksan kemudian menegaskan, dari jumlah itu dia telah mengembalikan Rp 3 juta ke KPK.
"Sisanya saya akan bayar lagi nanti, kan saya belum gajian Yang Mulia," kata Iksan.
Jaksa KPK mendakwa Andi Narogong dan Dedi Priyono yang disebut sebagai Project Director Tim Fatmawati. Tim itu merupakan bentukan Andi Narogong untuk memenangkan konsorsium PNRI dan mengerjakan proyek e-KTP. Masih dalam dakwaan, disebutkan rinci oleh jaksa uang-uang dari Johannes Marliem dan Bos PT. Sandipala Arthaputra (anggota konsorsium PNRI), Paulus Tannos, yang mengalir ke anggota DPR dan pejabat Kemendagri melalui Andi Narogong.
Pada kesempatan yang sama, Andi Narogong membenarkan soal lalu lintas transaksi melalui rekening Iksan. Hanya saja ia membantah Dedi merupakan orang yang memerintahkannya.
"Saya membenarkan transaksi-transaksi yang diterangkan saksi, tapi sebenarnya Dedi tidak tahu. Itu saya yang follow up untuk meminta saksi lewat SMS," kata Andi Narogong.
Dalam kasus ini, Andi didakwa bersama-sama dengan Setya Novanto merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun dalam proyek e-KTP. Menurut jaksa, Andi diduga terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.
Selain itu, Andi Narogong berperan dalam mengarahkan dan memenangkan Konsorsium PNRI menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.
Saksikan video menarik di bawah ini: