Putusan MK Buka Jalan Kesultanan Yogyakarta Dipimpin Perempuan

Putusan MK tentang uji materi UU Keistimewaan Yogyakarta berdampak luas. Peluang baru terbuka bagi kepemimpinan di Yogyakarta.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 31 Agu 2017, 17:31 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2017, 17:31 WIB
Irman Putra Sidin
Irman Putra Sidin

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi membuka jalan Kesultanan Yogyakarta dapat dipimpin oleh perempuan. Hal itu disampaikan Irman Putra Sidin selaku kuasa hukum pemohon dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

MK sendiri telah mengabulkan uji materi tersebut, yang menghilangkan kata "istri" dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m, sebagai syarat untuk maju sebagai Gubernur DIY. Ini dipandang diskriminatif.

"Ada pasal seolah-olah, pasal di situ hanya laki-laki yang menjadi raja. Putusan MK ini menjadi pesan penting, bahwa perempuan bisa menjadi raja di Yogyakarta. Konstitusi sangat mengharamkan diskriminasi terhadap perempuan," kata Irman di gedung MK, Jakarta, Kamis (31/8/2017).

Masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Pakualam X sebagai Gubernur dan Wagub DIY akan segera berakhir pada Oktober 2017 mendatang. Adapun yang berhak menjadi gubernur dan wagub adalah yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam, seperti diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY.

Sementara itu, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi disebut-sebut disiapkan Sultan Hamengku Buwono X pimpinan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia sendiri notabenenya seorang perempuan.

Menurut Irman, putusan ini menjadi pesan untuk seluruh dunia bahwa di Indonesia sudah tidak ada lagi diskriminasi untuk menduduki suatu takhta.

Dengan adanya putusan ini, lanjut Irman, menegaskan bahwa Raja Yogyakarta bisa menempatkan anaknya, yang diketahui adalah Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi, menjadi pemimpin.

"Raja ini tidak mempunyai anak laki-laki dan hanya mempunyai anak. Putusan ini tidak mengharuskan anak laki-laki menjadi raja, anak perempuan juga bisa menjadi raja," pungkas Irman.

 

Saksikan Video Menarik Di Bawah Ini:

 

Pertimbangan Hakim

Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan pembatasan terhadap pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m, bukan didasari oleh maksud untuk memenuhi tuntutan yang adil yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

Sebaliknya, masih kata hakim, justru untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, pembatasan demikian tidak boleh terjadi.

Dengan kata lain, dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan dalam pasal tersebut, termasuk perempuan, menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur di DIY.

Terlebih, pembatasan berdasarkan kelamin tidak terdapat dalam pengisian jabatan kepala daerah di daerah-daerah lain, baik untuk jabatan kepala daerah di tingkat provinsi maupun kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.

Lebih-lebih jika mempertimbangkan DIY sebagai daerah istimewa yang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernurnya digantungkan pada persyaratan siapa yang bertakhta sebagai sultan berdasarkan hukum yang berlaku di internal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan siapa yang bertakhta sebagai Adipati, berdasarkan hukum yang berlaku di internal Keraton Kadipaten Pakualaman.

"Oleh karena itu, dalil para pemohon bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY bersifat diskriminatif adalah beralasan menurut hukum," jelas Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya