Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Profesional Bagi Kemanusiaan Rohingya menyuarakan tuntutannya di depan Kedutaan Besar Myanmar. Ada sejumlah tuntutan yang mereka serukan. Salah satunya meminta Myanmar segera menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Rakhine.
Koordinator aksi, Andi Sinulingga, mendesak rezim militer dan sipil Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan genosida pada etnis Rohingya. Dia juga meminta pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi berusaha keras menghentikan aksi pengusiran dan pembantaian atas dasar persamaan kemanusiaan.
Baca Juga
"Jika tidak, Aung San Suu Kyi sangat tidak pantas menerima Nobel Perdamaian. Untuk itu kami mendesak Panitia Nobel mencabut penghargaan tersebut," kata Andi di depan kantor Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2017).
Advertisement
Kedua, mendesak negara-negara ASEAN untuk menekan rezim militer Myanmar agar menghentikan praktek genosida (pembantaian besar-besaran terhadap suatu kelompok) terhadap etnis Rohingya.
"Kami mendesak agar status keanggotaan Myanmar di ASEAN dibekukan. Sebagai sesama negara ASEAN, Pemerintah Myanmar seharusnya ikut bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan yang sama bagi etnis Rohingya," tegas Andi.
Mereka juga meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk ikut menangani secara sungguh-sungguh, mengambil alih tragedi kemanusiaan yang telah lama di Myanmar. Sudah terbukti secara meyakinkan pemerintah militer Myanmar tidak bersedia menghentikan praktek genosida terhadap etnis Rohingya.
"Mendesak para aktivis HAM dan kemanusiaan di seluruh dunia, khususnya ASEAN, untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus genosida etnis Rohingya sehingga tragedi ini bisa diakhiri. Kelima, mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas praktik genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar," tutur Andi.
Yang terakhir, mereka mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk menerima para pengungsi Rohingya untuk sementara waktu sambil melakukan langkah-langkah diplomatik yang lebih tegas terhadap Myanmar, agar mereka menerima kembali dengan jaminan keamanan.
"Pasalnya, ini berpotensi mengancam situasi keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara," pungkas Andi.
Saksikan video berikut ini:
Awal Mula
Pada 1 September 2017, umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Idul Adha. Sejatinya, dirayakan dengan penuh suka cita. Namun, tidak bagi 26 perempuan dan anak-anak Rohingya. Mereka justru tewas tenggelam ketika mencoba kabur melalui pantai barat Myanmar.
Dari keterangan Komandan Pasukan Perbatasan Bangladesh Letnan Kolonel Ariful Islam, ada sekitar tiga kapal yang membawa warga Rohingya yang tenggelam di Teluk Belangga.
Seluruh jenazah telah ditemukan. Korban tewas terdiri dari 15 anak-anak dan 11 perempuan. Kapal itu diduga tenggelam pada Kamis, 31 Agustus 2017, namun baru ditemukan keesokan harinya.
Hingga kini, belum bisa dipastikan warga Rohingya tersebut berencana kabur ke mana.
Kelompok Rohingya kembali mendapat sorotan dunia, usai pertempuran mereka melawan militer di Negara Bagian Rakhine menyebabkan 100 orang terbunuh.
Peristiwa itu, membuat sentimen anti-Rohingya meningkat di Myanmar. Aparat keamanan dan beberapa kelompok masyarakat menggunakan kekerasan demi mengusir etnis minoritas tersebuut.
Salah satu kericuhan besar terjadi di Desa Chut Pyin. Sebanyak lebih dari 200 warga Rohingya tewas dalam peristiwa tersebut.
Advertisement