Liputan6.com, Jakarta - Sidang praperadilan Setya Novanto dengan agenda pemanggilan saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dilanjutkan usai diskorsing untuk melaksanakan salat magrib. Suasana sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu pun memanas.
Suasana memanas karena KPK ingin memperdengarkan rekaman kepada ahli hukum pidana, Noor Aziz Said. Sementara, penasihat hukum Novanto keberatan.
"Kami keberatan. Kita tidak bicara materi pembuktian. Ini akan membuat opini publik. Yang bersangkutan tidak berkapasitas untuk menilai alat bukti," ucap penasihat hukum Novanto,Ketut Mulya Arsana dalam persidangan, Rabu (27/9/2017).
Advertisement
Ketut menilai, apa yang dilakukan ahli hukum pidana melanggar asas praduga tak bersalah. Sebab, soal penetapan Novanto masih diujikan sah atau tidaknya.
"Kalau mendengarkan akan memunculkan bermacam-macam dan opini, jangan merugikan orang lain, apalagi klien kami. Apalagi ini masih kita uji. Kami menolak dengan tegas," tegas Ketut.
Keberatan pengacara Novanto, diamini Hakim Tunggal Cepi Iskandar. Menurut sang hakim, kalau diperdengarkan rekaman tersebut melanggar azaz praduga tak bersalah.
"Walaupun itu kepentingan untuk bukti permulaan. Karena ada nama orang di situ. Jadi boleh diajukan sebagai bukti nanti. Dari apa yang sudah dikumpulkan, nanti kami nilai," kata Hakim Cepi.
Namun, Kabiro Hukum KPK Setiyadi menjelaskan, dalam Pasal 44 UU Nomor 30 Tahun 2002 ayat 2, jelas disebutkan, salah satu bukti yang diperbolehkan adalah elektronik.
"Rekaman itu sebagai suatu hasil bukti permulaan, salah satu. Kami informasikan itu bukan bukti diperoleh dari jauh sebelum penetapan pemohon sebagai tersangka," kata Setiyadi.
Senada, Anggota Biro Hukum KPK Evi Laila Kholis juga menegaskan, memperdengarkan rekaman untuk menguji penetapan tersangka Novanto sudah sesuai bukti permulaan yang cukup.
"KPK justru untuk menguji penetapan tersangka itu, maka untuk bukti permulaan tersebut," kata Evi.
Hakim pun menolak permintaan KPK, dan memasukkan rekaman tersebut menjadi bukti tambahan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Saksi Dipertanyakan
Usai memeriksa ahli hukum pidana Noor Aziz Said, KPK kembali menghadirkan ahli informasi dan teknologi dari Universitas Indonesia (UI) Bob Hadiyan.
Namun, lagi-lagi membuat suasana memanas. Sebab, KPK mengubah status Bob sebagai ahli menjadi saksi fakta.
Padahal, di awal persidangan, Bob ditolak karena pernah hadir sebagai saksi untuk penyelidikan maupun penyidikan kasus e-KTP oleh KPK.
"Keberatan yang mulia. Bukan masalah penilainnya. Posisi beliau harus jelas di sini. Kalau saksi fakta itu untuk diri sendiri, tapi ini kan ada izin dari institusi," tutur penasihat hukum Novanto, Ketut.
Namun, pihak KPK menuturkan surat rekomendasi dari UI jelas menyebut saksi atau ahli. Sehingga sudah jelas bisa menjadi saksi fakta.
"Jelas dalam KUHAP disebutkan ahli dihadirkan berdasarkan keahliannya. Bukan karena lembaga," tegas Anggota Biro Hukum KPK Evi.
Hakim lantas menanyakan kepada Bob terlebih dahulu, soal kesediaanya menjadi saksi fakta dan ahli. Hal ini justru membuat binggung akademisi UI tersebut.
"Maksud saya di sini berdasarkan penugasan dari institusi. Tidak mungkin saya bicara atas nama pribadi. Kalau saya keberatan atau tidak, saya tidak keberatan," tandas Bob.
Setelah perdebatan panjang, Hakim Cepi Iskandar mempersilakan mendengarkan keterangan Bob, walaupun tetap mendapatkan penolakan dari penasihat hukum Novanto, yang mempertanyakan legal standingnya dan meminta dicatat panitera.
Dalam keterangannya, Bob yang diperiksa untuk penyelidikan 2014 dan penyidikan 2016, melakukan pendalaman. Di mana, dia menemukan adanya kejanggalan atau penyimpangan.
"Menemukan adanya penyimpangan," ucap Bob.
Advertisement
KPK Tidak Menyerahkan Bukti Rekaman
Karena hakim melarang memutar bukti rekaman, KPK tidak menyerahkan bukti tersebut ke persidangan. Kabiro Hukum KPK Setiyadi menuturkan, barang bukti yang dimaksud adalah rekaman 2013 sebelum penyelidikan. Rekaman itu digunakan sebagai dasar penetapan tersangka Novanto.
"Kami mohon kesempatan memperdengarkan satu di antara rekaman yang kami bawa," ucap Setiyadi dalam persidangan.
Namun, Hakim Tunggal Cepi Iskandar menuturkan jika rekaman itu menyebutkan nama orang, maka bisa saja melanggar hak asasi manusianya. Sebab, keabsahan penetapan tersangka tengah diuji disidang praperadilan ini.
"Majelis berpendapat kalau menyangkut sudah ada orang di situ, menyangkut hak asasi orang itu ke sidang ini," tutur hakim.
Dia pun menyarankan, tidak diperdengarkan ke publik, namun diserahkan sebagai barang bukti tambahan.
"Jadi saya berpendapat bukti itu disampaikan dan dianggap sudah," kata hakim.
Namun, akhirnya KPK menolak menyerahkan barang bukti tersebut. Mereka memilih menyerahkan bukti tambahan hanya dalam bentuk dokumen, dan bukan rekaman ataupun transkipan percakapan.
"Karena tidak diberikan izin. Kami tidak memperdengarkan. Kami tidak jadi berikan," tandas Setiyadi.
Sidang praperadilan Setya Novanto pun dilanjutkan dengan pembacaan kesimpulan Kamis 28 September besok, yang akan dimulai sekitar pukul 15.00 WIB.