Pansus: Pemerintah Harus 1 Suara Pelibatan TNI Berantas Terorisme

Panglima TNI mengirimkan surat kepada DPR RI agar dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme melibatkan TNI.

oleh Ika Defianti diperbarui 30 Jan 2018, 08:58 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2018, 08:58 WIB
Evaluasi Kinerja 2017, Komisi I DPR Rapat dengan Menhan dan Panglima TNI
Suasana rapat kerja Menhan Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Komisi I DPR di Jakarta, Senin (29/1). Rapat membahas evaluasi kinerja 2017, program kerja 2018 serta realisasi anggaran 2017 Kemhan dan TNI. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Antiterorisme Hanafie Rais menyatakan, pihaknya tidak bisa mengabaikan surat dari Panglima TNI ke DPR mengenai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun, pemerintah harus satu suara terlebih dahulu.

"Kita melihat sampai sekarang terkait masukan Panglima TNI, Kemenkumham yang maju mewakili pemerintah tampaknya belum diramu jadi sikap resmi pemerintah. Kita menganggap surat itu tidak bisa diabaikan begitu saja," kata Hanafie dia Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 29 Januari 2018.

Dia mengatakan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus berdasarkan persetujan presiden dan DPR. Sebab, undang-undang itu merupakan keputusan politik negara.

Hanafie menjelaskan, apabila Presiden menyetujui, Badan Negara Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga langsung di bawah koordinasi presiden, dapat datang ke DPR untuk dimintai persetujan. Apalagi, BNPT bertugas untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, eskalasi ancaman, termasuk dalam menangani terorisme.

"Ketika pada level yang bahkan darurat, ini bisa masuk ke sana. Saya berharap bisa satu suara," jelas Hanafie.


Pelibatan TNI

Evaluasi Kinerja 2017, Komisi I DPR Rapat dengan Menhan dan Panglima TNI
Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto rapat kerja dengan Komisi I DPR di Jakarta, Senin (29/1). Rapat membahas evaluasi kinerja 2017, program kerja 2018, serta realisasi anggaran Kemhan dan TNI 2017. (Liputan6.com/JohanTallo)

Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto, mengusulkan agar dalam revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, melibatkan TNI dalam penanggulangan aksi terorisme berskala besar.

Menurut Hadi Tjahjanto, TNI memiliki fungsi penangkalan dan penindakan aksi terorisme, yang merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi TNI dalam menjaga kedaulatan NKRI.

"TNI memiliki kemampuan dalam menanggulangi ancaman terorisme," katanya.

Karena itu, Panglima TNI mengirimkan surat kepada DPR RI agar dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme melibatkan TNI.

Dalam surat tersebut, Hadi Tjahjanto juga menjelaskan, ancaman terorisme dari sudut pandang TNI.

Hadi juga mengusulkan, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namanya diubah menjadi RUU Penanggulangan Aksi Terorisme.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan tidak setuju dengan usulan perubahan judul Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Penanggulangan Aksi Terorisme.

"Karena revisi itu namanya juga rencana UU Tindak Pidana Terorisme sudah jelas. Tidak mungkin kita revisi judul," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018).

Yasonna menyebut revisi judul membutuhkan waktu yang lama dalam revisi UU di DPR. "Jadi akhirnya ini tidak jadi-jadi. Kalau mau nanti ada perbaikan ke depannya silakan," ujar dia.

Sementara, terkait keterlibatan TNI dalam penindakan terorisme, Yasonna menyarankan untuk meminta persetujuan Presiden terlebih dulu. Ini sama seperti saat melaksanakan perang, menurut dia, harus ada izin dari Presiden. Prosedur itu diatur dalam Undang-Undang TNI.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya