Berton-ton Sabu Terungkap, Bukti Indonesia Pasar Subur Narkotika

Besaran penyelundupan narkoba memperlihatkan peningkatan pasar narkoba masih besar di Indonesia.

oleh Anendya Niervana diperbarui 21 Feb 2018, 14:03 WIB
Diterbitkan 21 Feb 2018, 14:03 WIB
BNN Gagalkan Penyelundupan 1 Ton Sabu di Batam
Barang bukti sabu seberat 1,037 ton di Gedung BNN, Jakarta, Selasa (20/2). Barang bukti hasil tangkapan BNN, Dirjen Bea Cukai, dan TNI AL tersebut diamankan dari jaringan narkoba internasional asal Taiwan di Perairan Batam. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Liputan6.com, Jakarta - Satuan Tugas Khusus Polri dan Bea Cukai mengungkap upaya penyelundupan narkotika sabu seberat 1,6 ton sabu di Batam, Kepulauan Riau, Selasa, 20 Februari 2018. Empat tersangka warga negara Taiwan dibekuk dalam operasi tersebut.

Jumlah 1,6 ton sabu saat ini merupakan rekor penyelundupan narkotika terbesar di Indonesia. Padahal, beberapa hari sebelumnya, upaya penyelundupan sabu seberat 1 ton berhasil digagalkan di perairan Batam oleh jajaran TNI Angkatan Laut.

Besaran penyelundupan narkoba memperlihatkan peningkatan pasar narkoba masih besar di Indonesia. Penyelundupan dari puluhan yang merangkak ratusan kilo, dan saat ini mencapai ton. Lalu, fenomena apa yang sedang terjadi?

Mantan Deputi Pemberantasan Narkotika BNN Irjen (Purn) Benny Mamoto mengungkap suburnya pasokan narkoba ke Indonesia menunjukkan tingkat konsumsi yang tinggi. Kondisi ini membuat sindikat narkoba terus membanjiri Indonesia.

Untuk menekan angka konsumsi tersebut, Benny menilai pemberantasan narkoba harus dimulai dengan mematikan pasar, bukan terus-menerus mematikan bandar.

"Selama ini kita matikan bandar kapan mematikan pasar?" ujar Benny kepada Liputan6.com, Selasa, 20 Februari 2018.

Apalagi menurut Benny, bisnis narkoba sifatnya ilegal sehingga jaringannya sangat terorganisasi. Bukan perkara mudah mengungkap akar jaringan hingga tuntas.

"Ketika kurirnya ditangkap, kan bosnya masih ada. Mata rantai terputus dari situ," tutur Benny.

Benny menilai upaya mematikan pasar harus diawali dengan merehabilitasi para pencandu. Hal ini juga yang dilakukan kerajaan Thailand saat merehabilitasi satu kawasan di Doi Tung, di mana warga sekaligus petani opium terjerat candu.

Sayangnya, kemampuan pemerintah merehabilitasi pencandu tidak sesuai dengan kebutuhan.

"Saat ini kemampuan rehab 50.000 dalam setahun sementara yang harus direhab sekarang ini 5 juta jiwa," ungkap Benny.

Pengajar kajian terorisme dan ilmu kepolisian Pascasarjana UI ini memandang bahwa kebutuhan untuk mematikan pasar narkoba sudah sangat mendesak. Sebab, pendapatan para bandar narkoba justru semakin meningkat seusai terjadi penggagalan penyelundupan.

"Ketika ditangkap kayak gini maka harga melambung tinggi, bandar semakin kaya ketika pasar tidak ditekan. Kalau pasar tidak bisa diatasi maka kayak petak umpet tangkap sana, lewat sini," jelas Benny.

Benny menggarisbawahi bahwa kebutuhan rehabilitasi harus diwujudkan melalui kerja sama dengan berbagai pihak lantaran Indonesia tengah memasuki fase darurat narkoba.

"Kebutuhan rehab itu perlu kepedulian semua instansi terkait, baik Kemenkes, BNN, dan pemda itu harus kerja sama. Misal bangunan sumbangan pemda, BNN pembina teknis, Kemenkes menyiapkan dokter dan psikolog," papar Benny. Langkah terobosan harus segera digagas sehingga semua pihak perlu turun tangan.

 

Mengapa Indonesia?

BNN Gagalkan Penyelundupan 1 Ton Sabu di Batam
Suasana saat petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) merapikan barang bukti sabu di Gedung BNN, Jakarta, Selasa (20/2). Tangkapan ini hasil kerja sama antara BNN, Dirjen Bea Cukai, dan TNI AL. (Liputan6.com/Arya Manggala)

 

Banyak faktor yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk target penyelundupan narkoba. Layaknya sebuah tanaman yang tumbuh subur karena didukung dengan konsumsi pupuk, air, maupun cahaya matahari yang baik.

Hal ini dikisahkan Benny saat dirinya menginterogasi bandar besar dari Iran yang kala itu menjadi buronan BNN.

"Saya tanya kenapa kamu target Indonesia? Dia jawab karena pasar potensial, harganya bagus dan hukumnya bisa dibeli," kisah Benny.

Dia pun menyesalkan betapa korupnya hukum pemberantasan narkoba di Indonesia sehingga ancaman hukuman mati jelas tak menjerakan siapa pun.

"Putusan mati bisa jadi 15 tahun, bisa jadi 12 tahun. Sekarang dengan adanya putusan MK grasi bisa berkali-kali PK bisa berkali-kali ya udah bandar terus aja ulur-ulur eksekusi dengan upaya itu," sesal Benny.

Bukan hanya menyoroti ancaman hukuman, Benny juga menyayangkan bagaimana lembaga pemasyarakatan (lapas) justru menjadi tempat pengendalian jaringan narkotika.

"Bagaimana mereka melakukan berbagai macam cara untuk pasarkan narkoba, di samping kondisi masyarakat kita (yang memprihatinkan). Ketika ada kemiskinan ada perekrut, kurir. Keluar dari lapas jadi ahli pengedar," ungkap Benny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya