HEADLINE: Pertarungan Jokowi Vs Prabowo Jilid 2, ke Mana PAN dan Demokrat?

Polarisasi politik Pilpres 2019 mulai mengerucut kedua calon. Bila tak ada aral, Prabowo dan Jokowi kembali bertarung. Ada partai yang belum tentukan sikap.

oleh Ady AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroLiputan6.com diperbarui 13 Apr 2018, 00:02 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2018, 00:02 WIB
Jokowi dan Prabowo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/1/2015). Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Prabowo Subianto dalam Rakornas Partai Gerindra di Hambalang, Bogor, Rabu (11 April 2018), meramaikan kontestasi politik menuju Pilpres 2019. Dalam pidatonya, purnawirawan Letnan Jenderal itu menerima amanat kader yang mendorongnya kembali maju menjadi capres. 

Prabowo sudah setengah jalan masuk ke gelanggang berhadapan dengan Jokowi, yang terlebih dulu menyatakan akan kembali maju menjadi calon presiden.

Yang masih kurang tinggal hitung-hitungan suara persyaratan administratif untuk maju di Pilpres 2019. Gerindra berharap dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah membatasi kriteria dukungan bagi calon presiden.

Ambang batas pencalonan presiden dipatok 20-25 persen. Dengan demikian, hanya parpol atau gabungan parpol dengan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional yang bisa mencalonkan presiden.

Sokongan PKS dengan 8,6 persen kursi DPR dan PAN bermodal 7,1 persen kursi DPR akan memuluskan langkah Prabowo. Ada pun Gerindra punya 13 persen kursi DPR di kantungnya.

Pengamat Politik Saiful Mujani Research and Consulting, Sirajuddin Abbas berpendapat, PKS sudah hampir dipastikan bergabung dengan Gerindra.

"PKS sudah partner lama dengan Gerindra," kata Sirajuddin dihubungi Liputan6.com, Kamis (12/4/2018).

Infografis Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019
Infografis Prabowo Vs Jokowi di Pilpres 2019

Lain halnya dengan PAN. Menurut Sirajuddin, partai itu masih galau memilih di dua kubu yang akan berkontetasi. Masalahnya adalah problem internal berupa dualisme kepemimpinan di partai berlambang matahari.

Secara struktural, kuasa ada di tangan Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN, tapi kepemimpinan simbolik berada pada Ketua Dewan Kehormatan, Amien Rais. Sirajuddin mengatakan, Amien kritis dan sinis terhadap Jokowi.

Sikap itu membuat Zulkifli bergabung koalisi pendukung Jokowi. Bila PAN memilih mendukung Joko Widodo, menurut Sirajuddin, akan muncul kompleksitas masalah. Bisa jadi hal itu akan memunculkan ongkos politik besar berupa perpecahan yang akan berdampak di Pemilu 2019.

"Paling aman PAN memilih berkoalisi dengan Gerindra," Sirajuddin berujar.

PAN bukan satu-satunya partai yang belum menentukan dukungan. Ada pula Partai Demokrat yang belum menjatuhkan pilihan.

Menurut Sirajuddin, Demokrat masih terbuka. Namun, beberapa sinyalemen mulai ditunjukan. Ia merujuk pidato Jokowi di Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, 11 Maret 2018.

Sirajuddin mengatakan, Jokowi dan Demokrat tampak memperlihatkan upaya saling mendekat.

Yang jelas, Demokrat diprediksi tak akan mengulang langkah politik di 2014 yang memilih abstain dalam mendukung calon presiden.

Namun peluang Demokrat bergabung ke dua kubu koalisi, menurut dia, akan sama besar. Baik PAN mau pun Demokrat masih diplomatis soal rencana koalisi di Pilpres 2019.

Sekjen PAN, Eddy Soeparno mengatakan, masih membuka komunikasi dengan semua pihak. Sejauh ini, PAN berpegang pada hasil Rapat Kerja Nasional 2017 yang memberi mandat pada Ketua Umum, Zulkifli Hasan, maju di pilpres 2019.

Putusan akhirnya akan diketok di Rakernas PAN 2018. "Kita lakukan pembicaraan yang seluas-luasnya dengan semua parpol, tokoh, capres, termasuk juga kita dapatkan masukan dari akar rumput kita dan konstituen," Eddy menjelaskan.

Sementara, Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, politik saat ini masih cair. Komunikasi politik masih dilakukan.

"Kita kan punya mekanisme. Ada ketum partai, majelis tinggi, ada elite-elite partai yang terus berkomunikasi," katanya di sela safari AHY Sowan ke Jateng, Kamis (12/4/2018).

 

Saksikan video di bawah ini:

Kandasnya Calon Alternatif

Jokowi dan Prabowo
Pertemuan kedua ini tak lepas dari makin gencarnya ajakan demo menuntut penegakan hukum penistaan agama.

Demokrat sebelumnya sempat menjajaki kemungkinan membentuk poros ketiga untuk memunculkan calon alternatif di luar Prabowo dan Jokowi. Namun, rencana itu kandas.

Sirajuddin mengatakan, PKB yang sudah setengah kaki mendukung Jokowi menjadi penyebabnya. Walaupun Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar sempat menyebut, syaratnya adalah, wajib mengusung dirinya sebagai cawapres di Pilpres 2019.

Seolah, keberadaan menjadi calon wakil presiden merupakan syarat dukungan pada Jokowi. Sirajuddin menilai manuver itu hanya cara untuk memobilisasi basis dukungan di Nahdlatul Ulama dan PKB.

"Cak Imin ingin menunjukan bahwa NU dan PKB punya tokoh yang sedang diperjuangkan," Sirajuddin menganalisis.

Ia memastikan poros ketiga yang menawarkan calon presiden alternatif tak akan terwujud. Wacana poros ketiga mendapat momentum ketika pejabat teras Demokrat, PKB, dan PAN berkumpul Awal April lalu.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, Sekjen PAN (Partai Amanat Nasional) Eddy Soeparno, dan Wasekjen PKB Lukmanul Hakim berbincang santai di bilangan SCBD, Jakarta Selatan.

"Kalau istilah radio frekuensinya sama. Soal poros ya kita bicarakan juga, sebut nama belumlah," kata Hinca santai kala itu.

Usai pertemuan itu, retorika ketiga partai malah bersimpang jalan. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengatakan pembicaraan tiga petinggi partai hanya bersifat informal.

Belum ada keputusan resmi soal pembentukan poros ketiga. Meski demikian, Zulkifli berhati-hati bersikap. Ia tetap membuka peluang kemungkinan itu.

Dalam hitung-hitungannya, peluang poros ketiga cukup berat. Baginya, butuh keajaiban bila poros ketiga ingin terbentuk.

"Secara rasional dua poros, kalau poros ketiga itu keajaiban baru bisa terjadi," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 12 Maret 2018.

PKB malah mengumbar pesimisme. Di satu sisi, PKB juga belum punya niatan membentuk poros ketiga.

"Kemungkinan itu sangat tipis," ungkap Sekjen PKB, Abdul Kadir Karding kepada Liputan6.com, Rabu 14 Maret 2018.

Hitung-hitungan itu tak lepas dari kuatnya dorongan internal untuk mendukung Jokowi. 

Alhasil, tinggal Demokrat yang masih getol mendorong poros ketiga. Perpecahan Demokrat, PAN dan PKB belakangan makin tampak.

Komunikasi Mandek

Komunikasi politik PAN, Demokrat dan PKB mandek. Demokrat menuding dua partai lain tak serius.

Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan mengungkap, beberapa kali pertemuan dengan PAN dan PKB gagal. Gara-garanya dua pemimpin partai lain tak hadir.

"Enggak serius karena tidak dilanjutkan," kata Hinca di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 5 April2018.

Ia mengungkapkan tiga kali pertemuan urung terlaksana. Ketua Umum PAN dan PKB berhalangan. Padahal, Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, sudah meluangkan waktu.

Pertemuan pernah direncanakan di Bandung. Lagi-lagi komunikasi tingkat ketua umum tidak terjadi.

"Terus kita atur lagi, (tapi) enggak pas (waktunya), memang soal waktu enggak mudah untuk mengatur ketum," jelas Hinca.

Namun, Demokrat masih percaya diri dengan nasib poros ketiga. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto menegaskan, pihaknya serius memunculkan poros ketiga di Pilpres 2019.

"Enggak ada yang bercanda. Kita semuanya sangat serius," kata Agus di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 6 April 2018.

Tertutupnya peluang poros ketiga akhirnya makin nyata. PKB menyatakan dukungan untuk Joko Widodo atau Jokowi di Pemilihan Presiden 2019.

Gabungan kursi--seandainya--Demokrat dan PAN bergabung hanya mencapai 19,5 Persen. Jumlah itu tak memenuhi syarat 20 persen kursi di DPR untuk mengusung calon presiden. 

Amunisi Jokowi Versus Prabowo

20161031-Presiden Jokowi Temui Prabowo Subianto-Bogor
Presiden Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersantai sambil menaiki kuda di halaman kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor, Senin (31/10). Keduanya usai melakukan pertemuan tertutup selama hampir 2 jam. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tak ada lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Meski sudah mengerucut ke dua calon, Joko Widodo alias Jokowi dan Prabowo Subianto, bukan berarti arah angin tak bisa berubah. 

Namun, jika memang seandainya Jokowi akan bertarung melawan Prabowo pada 2019, niscaya hal itu akan mengulang kontestasi yang pernah terjadi pada Pilpres 2014.

Lantas, amunisi apa yang akan disiapkan dua kubu? 

Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno meyakini, mantan Gubernur DKI Jakarta itu lebih siap menghadapi kontestasi Pilpres dibandingkan saat 2014.

"Bila lima tahun lalu saja sudah siap dan menang, tentu dalam kontestasi 2019 Pak Jokowi akan lebih siap," kata Hendrawan saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Kamis (12/4/2018).

Dia mengibaratkan Jokowi pada 2019 itu seperti seorang olahragawan yang staminanya sudah prima. Kemampuan membaca langkah dan gerakan lawan lebih baik.

"Penguasaan data lebih bagus, pokoknya lebih siap pada semua dimensi kontestasi. Ibarat olahragawan 2019 merupakan puncak kematangan seorang pemain," jelas dia.

Saat dihubungi terpisah, Wakil Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria mengatakan, Prabowo merupakan pemimpin yang konsisten dan sosok yang memiliki konsep yang jelas.

"Menurut saya secara pribadi Pak Prabowo orang yang memiliki bobot, bibit dan bebet yang baik. Beliau juga pemimpin yang konsisten dalam perjuangan-perjuangannya," kata Riza.

Tak hanya itu, Wakil Ketua Komisi II DPR ini juga menyatakan selain cerdas mantan Danjen Koppasus itu juga berwawasan luas dan suka berdiskusi atau berdialog dengan banyak tokoh.

"Jadi beliau meyakini akan konsep yang dimiliki bisa dapat mempermudah konsep pembangunan bangsa ke depan. Dan beliau ini ada kekhawatiran dengan bangsa yang kaya dan besar ini, sehingga harus dapat dikelola secara baik dengan konsep yang komprehensif," jelas Riza.

Beda Jokowi dan Prabowo

Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan Joko Widodo atau Jokowi sebagai capres petahana dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memiliki elektabilitas di atas rata-rata kebanyakan kandidat. Meskipun selisih elektabilitas keduanya terpaut jauh.

"Jokowi kisaran 50 persen sementara Prabowo sekitar 22 persen, elektabilitas adalah modal utama untuk nyapres 2019," kata Adi saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Kamis (12/4/2018).

Dia juga menyebut kedua calon peserta Pilpres ini juga sama-sama memiliki dukungan partai politik lebih 20 persen. Sementara calon-calon capres yang sering muncul seperti Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, Anies Baswedan hingga Tuan Guru Bajang tidak memiliki kendaraan politik yang memadai.

Tak hanya itu, Adi juga menyebut keduanya yakni Jokowi ataupun Prabowo telah memiliki jaringan politik yang solid. Sebab keduanya pernah bertemu juga di Pilpres 2014.

"Kalau dibilang sama-sama kuat enggak bisa, karena elektabilitas Jokowi dan Prabowo terpaut cukup jauh," jelasnya.

Senada dengan itu, Pengamat Politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman menyatakan, untuk kekuatan politik, Jokowi sudah mulai mengkonsolidasikan dengan partai pendukung.

Sementara, Prabowo dari Partai Gerindra tampak siap berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan. Partai Amanat Nasional (PAN).

Amunisi kedua menurut Airlangga, yaitu terlihat pada kekuatan politik teritorial di wilayah strategis yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak seperti halnya di Pulau Jawa.

"Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah di mana hasilnya sangat menentukan dukungannya," ucap dia.

Airlangga menilai untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur suaranya akan lebih cenderung ke Jokowi sedangkan Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten suara pemilih lebih mudah ke mantan Danjen Koppasus.

"Sampai saat ini Jabar kemungkinan agak berat dirangkul Jokowi, bisa jadi ke Prabowo," katanya.

Untuk dukungan dalam kekuatan politik Islam, Airlangga menyebut koalisi Jokowi gencar merangkul satu kelompok Nahdlatul Ulama atau NU. Sedangkan Prabowo ke kelompok Islam Muhammadiyah dan lainnya.

Tak hanya itu, dia mengatakan keduanya baik Jokowi ataupun Prabowo juga memiliki pendekatan ke kalangan militer aktif ataupun purnawirawan.

"Kubu Jokowi ada Purn Moeldoko, ada Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto, ada juga kepolisian. Sedangkan Prabowo lebih mengandalkan pada kekuatan purnawirawan yang memiliki pengaruh besar seperti Gatot Nurmantyo dan kolega di TNI," jelas Airlangga.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya