Liputan6.com, Jakarta - Aktivis yang terlibat demonstrasi pada 1998 mendatangi Komnas HAM pada Senin 21 Mei 2018. Mereka mempertanyakan tindak lanjut penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2 pada saat menjelang jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 silam.
Aktivis yang mendatangi Komnas HAM di antaranya Hengki Irawan, Irwansyah, Abdullah Taruna, Deki Matulessi, dan Wawan Putrandi.
Baca Juga
Dalam pertemuan itu, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyampaikan pihaknya tengah mengupayakan pemanggilan paksa terhadap mereka yang terduga terlibat pelanggaran HAM berat 1998. Namun, upaya ini harus berdasar fatwa Mahkamah Agung.
Advertisement
Fatwa dari MA ini akan menjadi dasar hukum dilakukan pemanggilan paksa. Pihak yang diduga terlibat kuat dalam kasus pelanggaran HAM 1998 ini disebut saat memiliki jabatan strategis di pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Kami harus mendapatkan satu legitimasi hukum yang lebih kuat. Dan ini kami sedang memintakan fatwanya kepada Mahkamah Agung. Ini salah satu alternatifnya seperti itu," jelas Beka usai pertemuan dengan aktivis 1998 di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Beka menambahkan pihaknya telah berkonsultasi dengan MA terkait langkah ini. "Tapi masih harus diskusi beberapa kali lagi," ujar dia.
Pemanggilan paksa ini menjadi salah satu alternatif yang ditawarkan Komnas HAM agar persoalan tragedi 1998 ini bisa segera dituntaskan. Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat menjadi salah satu dari empat prioritas program Komnas HAM periode baru ini.
Sebagai tindak lanjut, gugus tugas atau tim penanganan pelanggaran HAM berat ini telah dibentuk.
"Kami mencoba untuk menempuh segala alternatif yang bisa dilakukan. Jadi apakah sudah progresif atau tidak itu terserah publik. Tetapi kami akan menempuh upaya, segala upaya yang bisa menyelesaikan kasus-kasus yang ada," terangnya.
Beka mengatakan belum tahu apakah langkah pemanggilan paksa ini pernah dilakukan komisioner Komnas HAM sebelumnya. Sampai saat ini belum ada laporan terkait langkah-langkah yang lebih teknis dari status penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut.
Di usia reformasi ke 20 tahun ini, ia berharap semua kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi pada 1998 bisa segera dituntaskan. Upaya perlindungan dan penghomatan HAM aparat pemerintah kepada warganya juga semakin baik.
"Kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat itu bisa diselesaikan. Pun demikian juga pelanggaran-pelanggaran berat HAM yang lainnya seperti intoleransi, kebebasan beribadah dan keyakinan itu juga semakin dilindungi. Terkait juga pemenuhan hak sosial, ekonomi, budaya dari WNI seperti hak atas pendidikan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak pendidikan dan lain sebagainya itu menjadi harapan dari peringatan reformasi," pungkasnya.
Seperti KPK
Sementara itu, aktivis 98, Hengki Irawan menyampaikan apresiasinya atas rencana Komnas HAM melakukan upaya pemanggilan paksa dari pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat.
"Kami mendukung Komnas HAM untuk mendapatkan hak Subpoena yaitu hak pemanggilan paksa terhadap orang-orang yang terindikasi atau perjalanan track recordnya memiliki keterkaitan langsung dalam kasus pelanggaran HAM berat yang saat ini sesungguhnya oleh Presiden Jokowi melalui Nawacitanya menjadi target penyelesaian dalam pemerintahannya," jelasnya.
Hengki mengatakan upaya ini cukup menarik. Hal yang sama pernah dilakukan KPK saat ingin memeriksa Anggota DPR yang diduga terlibat dalam kasus korupsi.
"Saya kira penting sekali ada kewenangan baru Komnas HAM untuk bisa memanggil mereka yang menjadi saksi kunci atau menjadi orang-orang yang bisa dimintai keterangan berkenaan langsung dengan kasus pelanggaran HAM berat. Itu penting buat perjalanan hukum bangsa Indonesia," paparnya.
Pemanggilan paksa ini adalah langkah baru dan menurutnya belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena itulah pihaknya sangat mendukung langkah ini.
"Kami mendukung tegas supaya kebekuan-kebekuan dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang tadi sudah saya utarakan sepertinya secara politik ini semacam sengaja mengalihkan atau menutup diri supaya siapapun presidennya kasus ini tidak terselesaikan," jelasnya.
Â
Jalan Rekonsiliasi
Amnesty Internasional Indonesia melihat selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dan Jusuf Kalla, penuntasan kasus hak asasi manusia (HAM) di masa lalu tidak berjalan baik. Pemerintah terlihat lebih memilih upaya rekonsiliasi daripada mengungkap kebenaran.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, dalam Nawacita pemerintahan Jokowi-JK terdapat komitmen untuk menyelesaikan kasus tersebut secara berkeadilan. Awalnya semua penyelesaian dalam bentuk yudisial dan non-yudisial akan digunakan.
"Seiring waktu penyelesaian non-yudisial tampak menjadi prioritas dan semakin berjalan konsepnya semakin tidak jelas. Bahkan mengerucut menjadi sekadar lewat proses rekonsiliasi tanpa bahkan menyinggung upaya pengungkapan kebenaran," ujar Usman di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/10/2017).
Pertama, lanjut Usman, adalah kasus pembunuhan massal 1965 yang banyak dikenal dengan G30SPKI. Pemerintah Jokowi-JK menggelar simposium nasional dengan mengundang dan memberi ruang bicara bagi kelompok yang berkepentingan, aparat keamanan, akademisi, hingga penyintas peristiwa 1965.
"Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK tidak melanjutkan inisiatif ini setelah menerima banyak tekanan balik dari pihak berwenang di pemerintahannya maupun kelompok yang mengklaim anti-Komunis," Usman menjelaskan.
Advertisement