Muhammadiyah: Revisi KUHP Operasi Senyap Lemahkan KPK

Manager menjelaskan, tidak ada pentingnya memasukkan tindak pidana korupsi.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jun 2018, 14:12 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2018, 14:12 WIB
Ilustrasi KUHP
Ilustrasi KUHP (elsam.or.id)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Maneger Nasution menyatakan, masuknya tindak pidana korupsi dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), merupakan operasi senyap untuk melemahkan KPK.

Manager menjelaskan, tidak ada pentingnya memasukkan tindak pidana korupsi. Hal tersebut justru bakal terjadi tumpang tindih kewenangan antara KPK dan Pengadilan Tipikor dengan kepolisian dan kejaksaan.

"Dalam keyakinan hukum dan HAM kami, tidak ada mandat konstitusinya untuk kodifikasi memasukkan tindak pidana khusus tersebut. Dalam pandangan kami kalau delik pidana khusus itu masuk, agak sulit dibayangkan bahwa tidak ada overlapping penanganan," ujar Manager di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/6).

PP Muhammadiyah menduga perancangan KUHP baru itu hanya agenda untuk melemahkan lembaga antirasuah. Maneger mengingatkan kalau publik tak kritis maka revisi KUHP ini menjadi pertanda lonceng kematian bagi KPK.

"Kami menganalisa sulit untuk membantah bahwa dengan masuknya tindak pidana korupsi ke KUHP ini operasi senyap untuk melemahkan KPK," imbuhnya.

Hukuman Minimum

Sementara itu, salah satu poin yang diduga bakal memperlemah KPK adalah perbedaan hukuman minimum. Dalam Pasal 2 UU Tipikor mengatur paling sedikit hukuman kurungan 4 tahun. Sedangkan, Pasal 687 RKHUP mengatur paling singkat 2 Tahun. PP Muhammadiyah menduga ada upaya melemahkan melalui sanksi kepada koruptor.

Maka demikian, PP Muhammadiyah menolak memasukkan Tipikor dalam RKUHP. Presiden diminta untuk turun tangan mencabut usulan tersebut.

"PP Muhammadiyah berharap presiden berkenan untuk mempertimbangkan mencabut usulan pemerintah masuknya tindak pidana khusus dalam RKUHP kita," kata Maneger.

Tidak Ada Keterbukaan

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdullah Dahlan, mengatakan  menyebut dalam penyusunan RKUHP tidak ada asa keterbukaan karena beberapa pemangku kepentingan diabaikan dalam prosesnya.

"Ada proses tidak terbuka. Kritik KPK acapkali diabaikan penyusun UU," kata Dahlan.

Pihaknya menduga kalau memang penyusunan RKUHP ini dibutuhkan, seharusnya pemerintah dan DPR bersikap terbuka dan mengajak pemangku kepentingan lainnya seperti KPK. Abdullah menduga ada agenda tertentu dalam perumusannya.

"Ada dugaan motif apa yang mendasari, kalau bahwa butuh RKUHP baru, sudah pasti tidak masuk ke ranah abu-abu dan tertutup," kata dia.

Abdullah menyebutkan memasukan delik tindak pidana korupsi itu hanya akan melemahkan KPK. Dia mencontohkan dengan bagaimana sanksi minimum yang berbeda, dari dalam UU Tipikor 4 tahun, menjadi 2 tahun dalam RKUHP.

"Memasukan klausul tindak pidana khsusu korupsi konkritnya rkuhp ini dalam penilaian kami bukan justru menguatkan justru melemahkan," kata dia.

Reporter: Ahda Bayhaqi 

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya