Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, DPRD atau UU MD3.
"Sebagaimana diuraikan, Mahkamah berkesimpulan mengabulkan permohonan para pemohon, untuk sebagian," kata Ketua Hakim Majelis Anwar Usman di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Kamis (28/6).
Beberapa pasal digugat diurai seperti, pasal 73 terkait pemanggilan paksa pihak yang diperiksa DPR, pasal 122 terkait penghinaan terhadap parlemen, dan pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana.
Advertisement
Terkait pasal 73, MK berpendapat hal tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Pasal 73 ayat 3 ayat 4 ayat 5 dan ayat 6, UU No 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU No 17 tahun 2014 tentang MPR DPR DPD DPRD, lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 No. 29, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187, dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," lanjut Anwar Usman.
Mengenai Pasal 122, disebutkan MKD dapat bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan (menghina) kehormatan DPR dan anggota DPR. Lewat gugatan pemohon yang mencemaskan degradasi kebebasan bersuara, maka dengan itu, MK memutus untuk menolak karena juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
"Pasal 122 huruf l UU no 2 tahun 2018 tentang kedua atas UU no 17 th 2014 tentang MPR DPR DPD DPRD, lembaran negara RI tahun 2018 no 29, tambahan lembaran negara RI no 6187 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," baca Hakim Anwar.
Terakhir, mengenai pasal 245 terkait pertimbangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana. MK tidak memutus untuk menolak hal tersebut seluruhnya.
Melainkan, hanya membenahi frasa 'Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden'.
MK melihat hal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan (saksi) kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak pidana.
"Sehingga, frasa tersebut selengkapnya menjadi, Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden." Hakim Anwar menandasi
Diperlukan
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Sufmi Dasco Ahmad menyayangkan putusan terkait Pasal 245 tentang pemanggilan terhadap anggota DPR harus melalui pertimbangan MKD dalam Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kata dia, pasal itu diperlukan untuk menghindari kriminalisasi.
"Seharusnya menurut saya itu perlu untuk menghindari juga kriminalisasi anggota dewan," kata Dasco saat dihubungi, Kamis (28/6/2018).
Menurut Dasco, jabatan anggota DPR adalah jabatan politis. Pemanggilan melalui MKD, tambahnya, sudah sangat wajar.
"Karena ini untuk menghindari kriminalisasi, karena ini kan jabatan politis gitu. Nah kalau ini kan sudah di UU-nya presiden, tapi presiden minta pertimbangan MKD ya itu wajar menurut kita. Malah itu lebih toleran," dia mengungkapkan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengungkapkan, anggota DPR seringkali dikriminalisasi. Salah satunya melalui mekanisme pelaporan.
"Ini kan jabatan politis, anggota dewan juga kadang-kadang dikriminalisasi. Laporan ini itu tapi kadang-kadang tidak benar," ucapnya.
Dasco menginginkan, anggota DPR bisa memiliki hak imunitas seperti Notaris dan juga Dokter. Karena dua profesi itu memerlukan izin dari mahkamah kehormatan profesi tersebut.
"Notaris itu kalau mau dipanggil penegak hukum harus minta dari semacam ada dia mahkamah kehormatan notaris gitu loh. IDI ikatan dokter Indonesia juga begitu. Nah ini anggota DPR juga seharusnya begitu," tandasnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian memerintahkan UU Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Salah satunya pasal 245 terkait pandangan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana.
MK tidak memutus untuk membatalkan hal tersebut seluruhnya. Melainkan, hanya membenahi frasa 'Pemanggilan dan permintaan nama untuk anggota DPR dengan menggunakan tindak pidana yang tidak dapat dilakukan dengan menggunakan Undang-Undang dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan dari Presiden'.
Reporter: Sania Mashabi
Sumber: Merdeka.com
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement