Kisah WNI di Tapal Batas yang Memilih Jadi Warga Negara Malaysia, Mengapa?

Banyak masyarakat asli Dusun Gun Tembawang lebih memilih untuk berganti kewarganegaraan Malaysia.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 03 Nov 2018, 06:20 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2018, 06:20 WIB
Dusun Gun Tembawang di perbatasan Indonesia-Malaysia
Dusun Gun Tembawang di perbatasan Indonesia-Malaysia. (Liputan6.com/Lizsa Egehem)

Liputan6.com, Jakarta - Bukan hal yang mudah untuk menetap di daerah perbatasan Indonesia. Akses jalan yang minim, fasilitas terbatas, dan kurangnya perhatian dari pemerintah daerah harus dialami oleh warga tapal batas.

Dusun Gun Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat adalah satu dari sekian desa yang berada di daerah perbatasan.

Dusun ini lokasinya berhadapan langsung dengan Malaysia. Bahkan, jarak antara Dusun Gun Tembawang dengan Kampung Speed, Malaysia hanya 6 kilometer saja.

Masyarakat asli Dusun Gun Tembawang pun lebih memilih untuk berganti kewarganegaraan Malaysia. Tak heran memang, kehidupan negeri jiran dinilai lebih menjanjikan.

"Sebenarnya di Gun Tembawang ini kami merasa rakyat Indonesia, tapi karena Pemda tak mengerti kami anak Indonesia, maka kami tak punya jalan, sekolah. Kalau orang bilang Indonesia sudah merdeka, kami ndak pernah rasa merdeka. Maka jangan heran, orang Gun ini banyak yang pindah ke Malaysia," ujar Kepala Dusun Gun Tembawang Marselus Gaut saat ditemui di Dusun Gun Tembawang, Sanggau, Selasa 30 Oktober 2018.

Benar saja yang dikatakan Marselus. Saat Liputan6.com mengunjungi Gun Tembawang, terlihat dusun tersebut memiliki akses jalan yang sangat minim sekali, begitu juga fasilitas lainnya amat terbatas.

Untuk menuju ke Kecamatan Entikong, butuh waktu tiga hingga empat jam menggunakan jalan darat yang terjal dan menyeberangi sungai.

Perjalanan menuju ke kota pun sangat sulit dan bergantung kepada cuaca. Apabila cuaca hujan, waktu tempuhnya bisa mencapai dua kali lipat. Tak hanya itu, masyarakat Gun Tembawang yang ingin ke Kecamatan Entikong harus menyiapkan kocek Rp 500 ribu.

"Ongkosnya tergantung kalau carter ndak bawa barang Rp 500 ribu (pulang-pergi). Kalau bawa barang lain ceritanya, ditimbang 1 ringgit (Malaysia) 1 kilo," terang Marselus.

Selain akses jalan yang tidak memadai, sedikitnya lapangan pekerjaan juga menjadi alasan warga Gun Tembawang di daerah perbatasan memilih untuk berganti kewarganegaraan.

 

Hanya Ada 1 SD

Sekolah dasar di Dusun Gun Tembawang perbatasan Indonesia-Malaysia. (Liputan6.com/Lizsa Egehem)
Sekolah dasar di Dusun Gun Tembawang perbatasan Indonesia-Malaysia. (Liputan6.com/Lizsa Egehem)

Untuk bertahan hidup, Marselus menyebut, warga Gun Tembawang yang mayoritas petani lebih memilih menjual hasil kebunnya ke Malaysia.

"Setiap hari hasil kebunnya jual ke Malaysia hasil kebunnya pertama sahang, terung asam, jahe, cabe, bawang kucai pokoknya apa yang berharga kami jual ke Malaysia," tuturnya.

Begitu pun dengan fasilitas pendidikan, amat terbatas di dusun ini. Hanya ada satu sekolah dasar, itu pun hanya memiliki beberapa kelas saja. Siswanya juga tak banyak, begitu juga tenaga pengajar masih honorer.

"Sekolah ada, cuma tenaga guru semuanya masih honorer," tutur Marselus.

Sementara untuk fasilitas kesehatan, tidak ada sama sekali. Warga Gun Tembawang yang sakit mau tak mau harus berobat ke Malaysia karena jarak yang ditempuh lebih dekat.

"Kalau ada yang sakit mendadak, harus ke Malaysia. Karena akses dekat, cuma biaya mahal," imbuh dia.

Kendati begitu dia dan 170 warga Gun Tembawang masih merasa sebagai Warga Negara Indonesia. Marselus berharap agar Pemda Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dapat lebih memperhatikan daerah perbatasan seperti Gun Tembawang.

"Harapan saya biar seperti desa-desa lain harus diperhatikan, untuk sekolah, kesehatan harus diperhatikan. Akses jalan yang penting dengan yang lain-lainnya masih banyak, sarana air bersih bukan dari pemerintah dari swadaya masyarakat," Marselu berharap.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya