Soal Masjid Terpapar Paham Radikal, PKS: Tugas BIN Bukan Tampil di Media

Mardani pun tak ingin BIN membuat curiga dan tidak takut untuk membuka data 41 masjid yang terpapar radikalisme ke publik.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Nov 2018, 19:07 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2018, 19:07 WIB
20160209-Sejumlah Simpatisan ISIS Jalani Vonis di PN Jakarta Barat
Para Terdakwa teroris saat akan memasuki ruang tahanan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (9/2). Salah satu tersangka didakwa telah menyebarkan paham radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) melalui internet. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Intelijen Negara (BIN) merilis bahwa ada 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar paham radikal. Merespons itu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan baiknya BIN menjelaskan secara detail 41 masjid yang dimaksud.

"Yang pertama BIN ini punya tugas tidak membuat gaduh, rilis ini bisa membuat gaduh. Cara paling baik sebutkan mana masjidnya, nanti orang bisa menilai benar tidak masjid ini. Terus parameternya apa? Jangan sampai pertanyaan yang menjebak dijawab dengan tidak terlalu akurat dijadikan dasar untuk mengkategorisasi," kata Mardani di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (20/11/2018).

Mardani pun tak ingin BIN membuat curiga dan tidak takut untuk membuka data 41 masjid yang terpapar radikalisme ke publik. Menurut dia, BIN mesti menjaga energi sosial masyarakat yang selalu positif.

"Jangan sampai justru masyarakat jadi saling curiga. Kalau sudah ketahuan 41, tugas BIN memastikan 41 itu berubah tidak radikal, bukan malah mengungkap ke publik, BIN itu salah kalau begitu," ujarnya.

Mardani meminta lembaga yang dipimpin Komjen Budi Gunawan itu merinci apakah karena penceramah atau hal apa yang membuat masjid itu terpapar radikalisme.

BIN, kata dia, juga salah mengangkat tema terkait ke media. Dia mengatakan, cara kerja BIN mencari mana masjid yang radikal dan intoleran sudah benar. Sayangnya, cara BIN mempublis ke media membuat gaduh.

"Apa dasarnya terbuka saja, buat saya kalau BIN punya niat baik jangan bikin gaduh. BIN itu punya tugas intelijen, intelijen itu tugasnya bukan di media loh, intelijen kesuksesannya tidak dengan tampil di media, tapi masalah selesai," ucap Mardani.

Dia pun mengatakan bahwa definisi radikal saat ini belum seragam. Dia menginginkan para stakeholder duduk bersama mendefinisikan apa makna radikal sehingga semua sepakat dan tidak salah paham. Menurutnya ini hanya masalah komunikasi yang belum sinkron.

"Jangan sampai masing-masing punya kategori sendiri, PKS sendiri sedang mengkaji ini dan dalam waktu dekat akan segera mengumumkan, tapi intinya ceramah-ceramah itu dalam banyak hal niatnya baik tetapi di dalam konteks kelewatan nah dipanggil diajak bicara, pendekatanya bukan korektif tapi edukatif," papar Mardani.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini

Data Paham Radikal

Sebelumnya, Kasubdit di Direktorat 83 Badan Intelijen Negara (BIN) Arief Tugiman mengungkap ada 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar radikalisme. Menurut Jubir Kepala BIN Wawan Hari Purwanto, data itu merupakan hasil survei terhadap kegiatan khotbah yang disampaikan beberapa penceramah.

Survei itu, sambung Wawan, dilakukan P3M NU yang hasilnya disampaikan kepada BIN sebagai early warning dan ditindaklanjuti dengan pendalaman dan penelitian lanjutan oleh BIN.

"Keberadaan masjid di Kementrian/Lembaga dan BUMN perlu dijaga agar penyebaran ujaran kebencian terhadap kalangan tertentu melalui ceramah-ceramah agama tidak mempengaruhi masyarakat dan mendegradasi Islam sebagai agama yang menghormati setiap golongan," ujar Wawan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Minggu (18/11/2018).

"Hal tersebut adalah upaya BIN untuk memberikan early warning dalam rangka meningkatkan kewaspadaan, tetap menjaga sikap toleran dan menghargai kebhinekaan," imbuh dia.

Selanjutnya, sambung Wawan, perlu dilakukan pemberdayaan Da'i untuk dapat memberikan ceramah yang menyejukkan dan mengkonter paham radikal di masyarakat.

Terkait tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terpapar radikalisme, dan 39 persen mahasiswa di 15 provinsi tertarik dengan paham radikal, Wawan juga membenarkannya.

"Namun data PTN dimaksud hanya disampaikan kepada pimpinan universitas tersebut untuk evaluasi, deteksi dini dan cegah dini, tidak untuk konsumsi publik, guna menghindari hal-hal yang merugikan universitas tersebut," kata Wawan.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya