Liputan6.com, Jakarta - Revan Cio Putra Depati, bocah delapan tahun selamat dari terjangan gelombang tsunami Selat Sunda, 22 Desember 2018. Dia ditemukan sejumlah orang sedang tergeletak tertimbun puing-puing bangunan sambil sesekali merintih dan menggerakkan tangan kirinya.
Kedua kakinya membengkak lantaran tertiban berbagai macam reruntuhan akibat terjangan tsunami. Selain itu, sepotong kayu kecil juga melukai telinganya di bagian dalam, tetapi tim medis langsung menangani itu semua dengan sigap.
Kendati demikian, tak terlihat raut sedih di wajah Revan saat dijumpai Liputan6.com di Menteng, Jakarta, Senin (7/1/2019). Seperti bocah pada umumnya, dia sibuk bermain dengan semua benda yang dia raih tanpa berbicara sepatah kata pun.
Advertisement
Uwak Revan, yang dalam bahasa Sumatera berarti bibi, bercerita seputar kejadian nahas yang menimpa bocah kelas 2 sekolah dasar itu. Diketahui, Revan juga kehilangan sang ibu yang ikut tergulung gelombang tsunami. Mendiang ditemukan tersangkut di atap bangunan.
"Dia nanyain emaknya, dia bilang kangen ibu. Saya bilang ke dia, lagi di jalan nak, lagi di mobil," ujar dia.
Dia mengungkapkan, ibunda Revan meninggal dunia saat dilarikan ke rumah sakit. Sang Bunda Revan sempat menanyakan anaknya ketika masih tersadar dalam ambulans.
"Dia (Ibunda Revan) sempat nanyain Revan, saya bilang ke dia anaknya selamat," kata dia.
Pada keesokan harinya, Uwak bilang, terdengar pengumuman dari masjid setempat bahwa Lenawati, ibunda Revan telah mengembuskan napas terakhir. Revan ternyata menyimak informasi tersebut, lalu bertanya kepada Uwak.
"Itu disebut Mak Lenawati, kenapa?" ucap Revan dengan polos.
Uwak sedikit terkejut dengan pertanyaan Revan. Tanpa langsung mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia, Uwak menenangkan Revan. "Enggak apa-apa, nanti dateng kok, pas sore ambulans datang."
Benar saja, ambulans datang ketika menjelang sore. Pada momentum tersebut, Revan menyaksikan jasad ibunya yang sedang dimandikan beberapa warga setempat. Namun, tak setetes air mata pun mengalir di pipinya.
"Enggak apa-apa, Mak sedang ke surga," kata Uwak menirukan suara Revan saat itu.
Mendiang Lenawati yang merupakan korban tsunami itu kemudian dimakamkan pada malam hari. Saat itu, Revan tak mengikuti prosesi pemakamannya karena sedang tertidur pulas di rumah Uwak yang lokasinya sedikit jauh dari bibir pantai.
Â
Â
Tak Selamatkan Keluarga
Sementara itu, kisah berbeda disampaikan Subandi, seorang nelayan yang biasa melempar jala di Selat Sunda, Lampung Selatan. Dia merupakan orangtua Adit yang selamat dari terjangan tsunami.
Namun nahas, Subandi harus mengikhlaskan satu anak, istri, dan ibunda yang tak selamat. Gelombang tsunami setinggi 9 meter membuat anggota keluarganya itu meninggal dunia. Tinggal Adit yang tersisa.
Pada saat kejadian, Subandi sedang berkumpul dengan sejumlah kerabatnya di rumah tetangga yang berjarak sekitar 50 meter dari kediamannya. Saat memandang laut, dia melihat gelombang setinggi dua meter mulai menyapu badan jalan.
"Setelah itu semakin tinggi hingga sembilan meter, tapi saya tidak kepikiran tsunami. Tiba-tiba temen saya teriak itu tsunami. Saya bingung, seakan tak percaya," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (7/1/2019).
Saat itu, posisi istri, anak, dan ibu Subandi sedang tertidur pulas. Subandi yang tak sempat menyelamatkan keluarga sudah yakin mereka tidak selamat sehingga langsung mencari tempat aman.
Peristiwa ini membuat Adit sangat terpukul. Setelah tsunami surut, putra Subandi itu selalu mencari keberadaan anggota keluarganya. Di kamar tidur dan dapur, Adit tak dapat menemukan kehadiran mereka.
"Saya bilang ke Adit, kamu kuat, kamu laki-laki. Yang lain juga kena, bukan cuma Adit. Kemudian dia merangkul saya dan nangis," cerita Subandi.
Untuk ke depannya, Subandi akan pindah dari tempatnya berteduh itu. Tak hanya Adit, trauma mendalam juga dirasakan Subandi sehingga dia ingin mencari tempat tinggal aman yang jauh dari laut.
Â
Advertisement
Pengobatan Trauma
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Lampung, Asep Sukohar mengatakan, trauma healing sudah dilakukan kepada anak. Caranya dengan mengajak mereka bermain agar lupa dengan peristiwa tsunami.
"Trauma hiling sudah dilakukan. Mengajak bermain bola, berkeliling, itu sesuatu treatment anak karena anak-anak adalah dunia bermain," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (7/1/2019).
Selain itu, pengobatan pada bagian psikis ini juga dilakukan untuk orang dewasa. Tujuannya agar semuanya dapat menerima bencana tsunami Selat Sunda dengan lapang dada.
"Proses pengobatan ini memerlukan waktu yang tidak singkat, lebih dari 2 atau 3 bulan. Kedepan masih dilakukan. Kita beri juga edukasi," katanya memungkasi.
Â
Reporter: Rifqi Aufal Sutisna
Â
Saksikan video pilihan berikut ini: