Media Televisi dan Lembaga Survei Ajukan JR soal Penayangan Hitung Cepat

Penundaan publikasi dinilai akan merugikan dan menghalangi hak media menyampaikan informasi dan hak warga mendapatkan informasi.

oleh Rinaldo diperbarui 15 Mar 2019, 19:46 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2019, 19:46 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah media televisi, yaitu RCTI, TVOne, Metro TV, Indosiar, dan Trans TV serta lembaga survei Indikator dan Cyrus Network mengajukan permohonan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan yang diajukan Jumat (15/3/2019) itu terkait dengan aturan waktu penayangan hasil survei Pemilu 2019.

Para pemohon mengajukan pengujian untuk Pasal 449 Ayat (2), (5) dan (6), Pasal 509 serta Pasal 540 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Demikian pula Pasal 197 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

"Pasal-pasal tersebut berisi larangan publikasi survei di hari tenang, publikasi quick count (hitung cepat) hanya boleh setelah 2 jam tutup pemungutan suara, serta ancaman pidana bagi pelakunya, khususnya lembaga survei dan lembaga yang ikut mengumumkannya," ujar kuasa hukum pemohon, Andi Syafrani dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.

Menurut pemohon, norma pasal-pasal tersebut sebenarnya telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam 3 putusan yg berbeda, yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Maret 2009 jo. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, bertanggal 3 Juli 2009 jo. Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014, bertanggal 3 April 2014.

"Para pemohon merasa dalil dan pertimbangan hukum hakim dalam 3 putusan tersebut masih relevan, bahkan lebih mengingat pembatasan publikasi QC justru akan berpotensi menimbulkan banyaknya hoaks seputar hasil Pemilu," tegas Andi.

Dia melanjutkan, Pemilu 2019 dengan gabungan Pileg dan Pilpres pertama dalam sejarah Indonesia justru semakin mendorong rasa ingin tahu akan informasi yang cepat dan akurat tentang hasil Pemilu. Penundaan publikasi akan merugikan dan menghalangi hak konstitusional media menyampaikan informasi dan hak warga mendapatkan informasi.

"Media sebagai lembaga penyiar dan sekaligus lembaga pers merasa terancam kebebasannya. Warga pun dirugikan karena harus mendapatkan informasi yang tertunda tanpa alasan yang jelas," papar Andi.

Karena Pemilu 2019 sudah sangat dekat, pemohon pun berharap MK dapat menyidangkan dan memutus permohonan ini sebelum 17 April 2019, karena setelah itu permohonan tidak akan lagi bernilai.

"Jika MK tidak dapat memutus akhir dengan cepat, maka dimohonkan agar ada putusan sela yang isinya perintah penundaan norma pasal-pasal yang diuji," harap Andi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Hasil Hitung Cepat

Sebelumnya, KPU menyatakan lembaga survei bisa ikut menyebarkan hasil quick count atau hitung cepat Pemilu 2019. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, yang dapat menyebarkan hasil hitung cepat hanya lembaga survei tercatat secara resmi di KPU.

"Undang-undang juga mengatur tentang kegiatan lembaga survei atau jajak pendapat sebagai bentuk partisipasi. Lembaga survei yang akan berpartisipasi itu harus mendaftar ke KPU. Itu sesuai aturan, selain itu ya melanggar aturan," kata Wahyu di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2019).

Wahyu menyatakan sesuai aturan, lembaga survei baru dapat mempublikasikan hasil pemungutan suara setelah dua jam TPS ditutup.

"Menurut undang-undang bahwa pengumuman hasil survei itu baru dapat disampaikan kepada masyarakat, dua jam setelah TPS ditutup waktu WIB ya," ujar Wahyu.

Apabila ada lembaga survei yang membandel dan mempublikasikan kurang dari dua jam, Wahyu mengingatkan ada sanksi yang menanti lembaga tersebut.

"Bagaimana kalau sebelum dua jam itu hasil survei diumumkan? Ya berarti melanggar hukum. Itu ada sanksinya di UU Nomor 7 Tahun 2017," tegasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya