22 Maret 1946, Mesir Jadi Negara Pertama Akui Kemerdekaan Indonesia

22 Maret, ternyata tak hanya menjadi tanggal yang menandai peluncuran pesawat ulang alik milik NASA bernama Columbia dari Pusat Antariksa Kennedy.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 22 Mar 2019, 07:30 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2019, 07:30 WIB
Tolak Reuni 212, Massa Bentangkan Bendera Raksasa di Depan Balai Kota
Massa GJI membentangkan bendera Merah Putih raksasa saat menggelar aksi menuntut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut izin penyelanggaraan Reuni 212 di depan Balai Kota, Jakarta, Kamis (29/11). (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - 22 Maret, ternyata tak hanya menjadi tanggal yang menandai peluncuran pesawat ulang alik milik NASA bernama Columbia dari Pusat Antariksa Kennedy. Pada tanggal itu, berpuluh tahun sebelumnya, menjadi hari yang tak terlupa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tepat pada 22 Maret 1946, pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI. Mesir pun menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Pengakuan kedaulatan ini berawal dari kuatnya dukungan rakyat Mesir kepada NKRI. Berhari-hari, media massa Timur Tengah menampilkan pernyataan dari partai politik dan ormas setempat yang mencela sikap Belanda.

Mereka menilai, "Belanda tidak berperikemanusiaan," tulis M Zein Hassan Lc dalam bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia Di Luar Negeri seperti dikutip Liputan6.com

Kalimat, "Lebih baik menderita kelaparan daripada mengkhianati Tanah Air dan bangsa," menggaung di seantero Mesir. Sebab, pada saat itu, Belanda masih saja membayangi Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Demonstrasi besar-besaran pun digelar oleh pemuda dan mahasiswa di Mesir sehingga Kedutaan Belanda di Kairo merasa terancam keamanannya.

Dalam ketakutan itu, Kedutaan Belanda menghubungi Kementerian Luar Negeri Mesir supaya menghentikan unjuk rasa mahasiswa Indonesia dan Mesir.

Kemudian, pada 22 Maret 1946, Sekretaris Jenderal Keamanan setempat, Kamil Abdurahim Bey, memanggil perwakilan Indonesia yang bertanggung jawab pada WNI di Mesir, yakni Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia.

Dia tidak menanyakan soal kedaulatan Indonesia dalam pertemuan itu. Tetapi, hanya menanyakan apakah Indonesia dalam konfrontasi dengan Kedutaan Belanda telah bertanya pendapat ahli hukum internasional. Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia pun mengaku sudah berkonsultasi dengan Dr Muhammad Salahuddin Pasya.

Bey kemudian meneleponnya.

Setelah itu, dia mengatakan, pemerintahnya akan mengikuti pendapat Salahuddin Pasya yang dihormati Kementerian Luar Negeri Mesir itu.

Zein Hassan menyebut, dengan sederhana Sekjen Kemlu Mesir menyatakan, "Dari saat ini juga, Pemerintah Mesir menganggap warga Indonesia di Mesir tidak ada hubungan lagi dengan Perwakilan Belanda. Semua urusan yang menyangkut warga negara Indonesia itu, Pemerintah Mesir akan menghubungi Panitia."

Pernyataan Kamil Abdurahim Bey ini berarti tiga hal. Pertama, pengakuan de facto kebebasan warga Indonesia di luar negeri dari 'perwalian' Belanda. Kedua, Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia de facto Perwakilan RI untuk sementara itu. Ketiga, pengakuan de facto kedaulatan RI atas Indonesia.

Keputusan Mesir ini kemudian diikuti oleh negara anggota Liga Arab. Konsekuensinya, mereka mengakui kartu pengenal yang dikeluarkan Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia bagi WNI di Timur Tengah. Juga mengakui surat perjalanan yang dikeluarkan Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia.

Mesir juga memberikan utangan kepada Indonesia untuk membayar utang ke Belanda.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Hubungan Mesir-Indonesia Kini

Suasana Khidmat Pengibaran Bendera Merah Putih di Pembukaan Asian Games 2018
Pengibaran bendera Merah Putih saat pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Sabtu (18/8). Acara pengibaran bendera berlangsung khidmat. (Liputan.com/Fery Pradolo)

Hubungan Indonesia dan Mesir hingga kini terjalin dengan apik. Pada laman resmi Kementerian Luar Negeri, Indonesia dan Mesir memiliki hubungan bilateral di tiga bidang, yakni politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Keharmonisan keduanya, salah satunya, ditunjukkan pada 2016 lalu. Kala itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dan Menlu Mesir Sameh Soukry sepakat akan mengangkat hasil Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (KTT LB OKI) ke-5 tentang Palestina dan Al Quds hingga ke PBB dan pertemuan internasional lainnya.

"Mesir memainkan peran yang signifikan dalam pembahasan masalah Palestina, dan dengan dukungan dari Mesir, konferensi ini akan dapat menghasilkan resolusi dan deklarasi yang sangat bagus," kata Menlu Retno Marsudi dalam pernyataan pers bersama usai pertemuan bilateral di sela KTT LB OKI di Jakarta Convention Center (JCC), seperti dikutip dari Antara, Minggu 6 Maret 2016.

Saat itu, Perdana Menteri (PM) Mesir Sharif Ismail lah yang membuka KTT LB OKI ke-5 tentang Palestina dan Al Quds di Jakarta karena negara tersebut masih menjadi negara Ketua Konferensi OKI ke-12, sebelum menyerahkan keketuaannya kepada Turki pada April mendatang. 

"Kami bermaksud untuk melanjutkan bekerja sama dengan Indonesia pada waktu-waktu mendatang, untuk mengangkat hasil dari pertemuan ini dan berbagai masalah tentang hak-hak Palestina ke sidang PBB dan pertemuan internasional lainnya," kata Menlu Mesir Sameh Soukry yang khusus membahas masalah status Al Quds (Yerusalem) dan hak-hak rakyat Palestina.

"Pertemuan ini adalah sikap yang sangat penting untuk menunjukkan kesatuan solidaritas dalam dunia Islam terhadap negara Palestina yang menyatakan kemerdekaannya pada 1967," imbuh Soukry.

Soukry juga mengapresiasi langkah Indonesia yang mengundang tidak hanya anggota OKI dan negara peninjau, tetapi juga anggota Kuartet negosiasi Palestina-Israel serta anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

"Indonesia mengundang semua pihak sehingga kita akan dapat mengkombinasikan langkah untuk mendukung Palestina dalam proses negosiasi," ucap Soukry.

Dalam gelaran yang juga kerap disebut KTT OKI, kedua menlu juga membahas kerja sama bilateral di berbagai bidang. Terutama kerja sama pendidikan terkait kesuksesan kunjungan Imam Besar Universitas Al Azhar ke Indonesia dan hubungan ekonomi.

Menlu Retno melaporkan, bahwa Indonesia telah selesai membangun asrama mahasiswa di Al Azhar Mesir, tempat sekitar 3 ribu mahasiswa Indonesia belajar di sana.

Di bidang ekonomi, kedua menlu sepakat untuk meningkatkan nilai perdagangan yang pada periode Januari hingga November 2015 mencapai US$1,28 miliar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya