Deretan Ketegasan Hakim MK saat Sidang Sengketa Pilpres 2019

Hakim MK I Dewa Gede Palguna menegur Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Sirra Prayuna yang memberi pertanyaan berbelit.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 24 Jun 2019, 19:33 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2019, 19:33 WIB
Penampakan Kontainer Barang Bukti di Sidang Sengketa Pilpres
Kontainer berisi barang bukti milik BPN Prabowo-Sandiaga dihadirkan ke dapan hakim saat sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di MK, Jakarta, Rabu (19/6/2019). Sidang kali ini beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli terkait sengketa Pilpres 2019. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK telah selesai menggelar sidang sengketa Pilpres 2019. Saat ini, para hakim sedang mengambil keputusan atas sengketa Pilpres 2019.

Sebelum mengambil keputusan, sidang MK pun digelar berkali-kali, mulai dari mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak pemohon kubu Prabowo-Sandi, pihak termohon kubu Jokowi-Ma'ruf Amin, dan pihak terkait KPU.

Selama sidang berjalan, hakim MK kerap kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di luar dugaan. Tak hanya itu, hakim MK juga dinilai tegas saat sidang berlangsung.

Contohnya ketika Hakim MK I Dewa Gede Palguna menegur Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Sirra Prayuna yang memberi pertanyaan berbelit soal Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada saksi kubu Prabowo-Sandiaga, Agus Muhammad Maksum.

Tak berhenti sampai di situ, hakim MK bahkan tegas menegur Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto berpindah-pindah tempat duduk saat sidang lanjutan.

Berikut pernyataan-pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan hakim MK saat sidang sengketa Pilpres 2019 dihimpun Liputan6.com:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


1. Tegas soal Udung, Sosok yang Tak Nyata

Ekspresi Peserta Sidang Sengketa Pilpres di MK
Ekspresi Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) saat memimpin sidang sengketa Pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (18/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan jawaban dari termohon. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tim Hukum Prabowo-Sandiaga mendatangkan saksi fakta Agus Maksum di sidang lanjutan gugatan pilpres di MK. Agus mengatakan ada pemilih tak nyata yang masuk ke dalam daftar pemilih di Pilpres 2019.

Di depan muka majelis persidangan, Agus menyebut mereka tak ada di dunia nyata dan tak akan pernah ditemukan.

"Ada namanya Udung, masuk di DPT HP (daftar pemilih tetap hasil perbaikan) kedua. Kode provinsinya diawali 01, di Indonesia tidak ada nomor itu, adanya diawali 10, maka jelas Dudung itu tidak ada di dunia nyata," kata Agus dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu, 19 Juni 2019.

Kemudian, KPU sebagai pihak termohon diberi kesempatan bertanya terkait sosok tidak nyata tersebut. Komisioner KPU Hasyim Asyari menegaskan bahwa apa yang disangkakan telah diverifikasi ulang datanya.

"Ada verifikasi kami lakukan bersama Bawaslu dan BPN 02, Anda ikut tidak?," tanya Hasyim.

"Tidak," singkat Agus.

"Lalu bagaimana Anda tahu si Udung tak nyata di dunia?" tanya Hasyim lagi.

"Dari laporan data yang dikasih BPN, datanya dari DPT itu sendiri," jawab Agus.

Hakim Majelis Dewa Gede Palguna menginterupsi dengan menegaskan kepada saksi Agus perihal sosok Udung ini.

Hakim MK Palguna merasa bingung lantaran Saksi Agus mengatakan bilang tahu, kemudian mengaku tidak usai tanya jawab dengan pihak termohon, KPU.

"Jadi Anda sebenarnya tau sosok Udung ini atau tidak? Ini memengaruhi catatan kami," tanya Dewa Gede.

"Ya tidak, Yang Mulia, tapi..," kata Agus menjawab yang diputus hakim.

"Tidak, ya sudah tidak, cukup tidak usah ditambahkan. Pertanyaannya tahu atau tidak," tandasnya.

 


2. Tegas Tegur Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin

Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Hakim MK menegur Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Sirra Prayuna yang memberi pertanyaan berbelit soal Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada saksi kubu Prabowo-Sandiaga, Agus Muhammad Maksum.

"Apa yang mau dikejar dengan pertanyaan anda?," tanya Hakim I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 19 Juni 2019.

"Apa perlu sejauh ini? Coba agar lebih efektif," lanjut Palguna.

Sirra Prayuna pun mengaku ingin mengecek konsistensi data yang telah disebutkan saksi. "Inikan seolah-olah membius, seolah-olah ada DPT yang ini itu," kata Sirra.

Hakim Aswanto pun meminta agar pertanyaan yang diajukan disesuaikan dengan status Agus Maksum sebagai saksi.

"Kalau tujuannya untuk menguji validitas, saya ingin mengingatkan juga ini adalah saksi fakta, pertanyaan kita jangan untuk pertanyaan ahli. Pertanyaan juga jangan menjebak untuk berpendapat," kata Aswanto.

 


3. Debat dengan Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandiaga

Saksi Ahli KPU Terangkan Sistem Situng di Sidang Sengketa Pilpres
Majelis hakim memimpin sidang sengketa Pilpres 2019 Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Sidang beragenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Persidangan sengketa Pilpres 2019 di MK sudah memasuki tahap pemeriksaan Saksi Tim Prabowo-Sandi yang dilaksanakan, Rabu, 19 Juni 2019. Pihak Pemohon yang diwakili Bambang Widjojanto lantas menanyakan soal jumlah juru bicara yang boleh angkat bicara dalam persidangan.

Pihak Pemohon yaitu Teuku Nasrullah menanyakan ketegasan majelis hakim MK terkait empat orang yang berbicara di pihak Terkait.

"Yang mulia, kami mohon kepastian juru bicara rekan kita pihak terkait itu siapa soalnya karena tadi saudara Taufik Basari bicara, " katanya saat persidangan.

Namun, pertanyaan tersebut segera dipotong oleh Hakim Aswanto dan langsung diberikan pernyataan yang sama.

"Ya makanya kami ingatkan, Pak. Dari penglihatan kami sudah empat yang bicara. Tolong apa namanya tolong di kordinasikan kembali terkait untuk tetap pada kesepakatan awal hanya ada tiga yang akan juru bicara sehingga jika ada hal-hal lain yang akan disampaikan tim yang lain itu bisa disampaikan melalui juru bicara yang tiga orang itu," ujar Aswanto.

Kemudian, pihak terkait mengutarakan pendapatnya untuk meminta penegasan karena yang diperiksa selain saksi adalah ahli yang membutuhkan spesialisasi yang berbeda.

Pihak terkait menyediakan tiga juru bicara untuk bertanya apa saja yang terkait dengan saksi tapi belum tentu juru tiga orang itu yang bertanya kepada ahli terdapat itu dan membedakannya.

Lalu Aswanto mendebatkannya pada tim Mahkamah Konsitusi apakah dapat diganti juru bicara yang sudah ditetapkan diawalnya.

"Jadi menurut kami, juru bicara untuk saksi tetap tiga dan juru bicara untuk ahli juga tetap tiga dan dapat diganti sesuai dengan yang diinginkan masing-masing pihak dan itu berlaku untuk semua Pemohon, pihak Terkait dan juga pihak Termohon," jawab Aswanto kemudian.

Hal tersebut langsung ditegaskan pihak terkait bahwa juru bicara untuk saksinya adalah Teguh Samudra, Taufik Basari dan Sira Prayuna dan untuk ahli adalah setelah nanti diperiksanya ahli baru akan ditetapkan.

Ketegasan berikut juga disampaikan oleh pihak termohon yang menegaskan bahwa saksi yang ditetapkan dibagi-bagi per tema yaitu tentang DPT, Hasil Situng.

Keputusan dari Hakim tersebut tidak diterima oleh pihak Pemohon. Menurut pihak Pemohon itu sama saja lebih dari kesepakatan yang telah ditentukan yaitu lebih dari tiga orang.

"Kami keberatan yang mulia, itu berarti lebih dari tiga orang yang mulia" Kata Bambang menolak keputusan Hakim.

Meski demikian, pernyataan tersebut langsung dipatahkan oleh Aswanto yang menurutnya jika pihak membawa prinsipalnya yang mau bertanya maka tidak dapat ditolak oleh MK.

"Begini Pak Bambang, bukan soal tidak equal, Pak kalau termohon membawa principal-nya dan mau bicara tentu kita tidak bisa melarang, principal dalam hal ini komisioner KPU mau bicara. Menurut saya ini fair pak" jawab Aswanto.

Saksi kedua yang dihadirkan pihak Pemohon dalam sidang MK bernama Idham. Tidak disebutkan dia berasal dari mana.

Dia hanya menjawab, "dari kampung" saat hakim bertanya soal posisi dia di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

Lantas, Hakim Arief menanyakan soal kapasitas Idham dari kampung dengan kesaksian yang akan diberikan di persidangan Sengketa Pilpres 2019, apakah terkait dengan peristiwa di kampungnya atau tidak.

"Bukan, seluruh nasional," ujar Idham di ruang sidang MK.

Hakim terus mencecar Idham soal dugaan kaitan kesaksian Idham dengan dugaan kecurangan DPT di kampungnya. Idham lantas menjawab bahwa dia mendapatkan DPT dari DPP Partai Gerindra saat dirinya berada di Jakarta.

Belum puas dengan jawaban Idham, Hakim Arief kembali menanyakan soal posisi dia di tim sukses 02. Lagi-lagi Idham menjawab tidak nyambung, "Sebagai orang yang diminta kesaksian tentang kerusakan DPT," ujar Idham.

Hakim memperingatkan, seharusnya Idham bersaksi sesuai fakta yang dia alami di kampungnya terkait dengan dugaan kecurangan seperti yang disampaikan dalam permohonan gugatan sengketa Pilpres 2019.

Tiba-tiba Ketua Tim Pengacara Pemohon, Bambang Widjojanto, menginterupsi, "Majelis mohon maaf. Saya di kampung tapi saya bisa mengakses dunia dari kampung."

"Saya mau menjelaskan, Bapak sudah men-judgement bahwa orang kampung tidak tahu apa-apa," Bambang melanjutkan.

"Bukan begitu," Hakim Arief menyanggah.

"Mohon bapak dengarkan dulu saja apa yang akan dijelaskan saksi," ujar Bambang memotong ucapan hakim.

Hakim Arief dengan nada tinggi dan menunjuk dengan tegas meminta Bambang Widjojanto untuk tidak melanjutkan perdebatan.

"Begini Pak Bambang, saya kira saya sudah cukup dan saya akan dialog dengan dia (saksi). Pak Bambang sudah setop," kata Hakim Arief.

"Tapi saya mohon juga," kata Bambang.

"Pak Bambang setop. Tidak setop Pak Bambang akan saya suruh keluar," ancam Arief.

"Saya mohon maaf, Pak. Kalau dalam tekanan terus saya akan menolak itu. Saksi saya menurut saya ditekan oleh Bapak," ujar Bambang.

"Sudah Pak Bambang diam, saya akan dialog dengan saudara saksi," tegas Hakim Arief.

 


4. Saat MK Pastikan Saksi Persidangan Aman

Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Tim hukum BPN Prabowo-Sandi meminta MKmenyurati Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan saksi yang akan mereka hadirkan dalam sidang lanjutan Rabu besok.

Menurut Ketua Tim hukum Bambang Widjojanto, para saksi sendiri yang mengaku ada ancaman.

"Apakah kita menjamin kekerasan tak akan muncul di sidang ini? Justru kami hadir karena orang yang kami hubungi menyatakan seperti itu. Kami konsultasi ke LPSK dan setelah konsultasi ada dua opsi," kata Bambang.

Pernyataan Bambang tersebut lantas memunculkan perdebatan sengit di ruang sidang, Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, sejak MK berdiri pada 2003, belum ada ancaman apa pun terhadap para saksi saat bersidang.

"Sepanjang MK, belum pernah ada yang terancam sejak 2003. Sidang terbuka. Oleh karena itu seseorang yang memberi keterangan baik saksi fakta atau ahli, selama di dalam ruangan MK tidak boleh satu orang merasa terancam," kata hakim Palguna.

Palguna meminta agar seluruh pihak jangan menjadikan sidang di MK ini menjadi sesuatu yang menyeramkan.

"Hingga saat ini belum ada peristiwa orang akan beri keterangan di MK terancam, belum pernah," tegas Palguna.

Ia menegaskan, keselamatan saksi selama bersidang pasti terjamin. Ia menyebut tidak boleh ada ancaman apapun.

"Selama dia kasih keterangan enggak boleh seseorang terancam ketika hendak melaksanakan hak konstitusional," tegasnya.

 


5. Minta Saksi Berterus Terang

Saksi Pertama dari Tim Hukum Jokowi Bersaksi di Sidang Sengketa Pilpres
Saksi Tim Hukum Jokowi, Candra Irawan (baju batik) saat disumpah sebelum memberikan kesaksian di hadapan hakim konstitusi dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Candra merupakan tenaga ahli di Fraksi PDI Perjuangan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hakim Saldi Isra menegur saksi pertama dari pihak Prabowo-Sandi, Agus Muhammad Maksum agar tidak menginterpretasi suatu peristiwa saat memberikan kesaksian selama sidang MK.

"Kepada saksi, jawab apa yang ditanya hakim jangan diberi penjelasan ujung pertanyaan itu. Begitu Anda memberikan penjelasan, seolah-olah Anda menjadi menginterpretasi data yang ada itu," tegur Saldi.

Hakim Saldi juga mengingatkan Agus agar tidak berbelit-belit memberikan kesaksian guna memudahkan hakim secara objektif mengkonfrontasi keterangan Agus dengan alat bukti yang telah diajukan.

"Kami perlu data konkret dan Anda itu sebagai apa, sebagai saksi agar lebih gampang mengkonfrontasi membuktikan dengan alat bukti yang diserahkan kepada kami," ujarnya.

Sebelum Hakim Saldi, Hakim Aswanto, juga mengingatkan Agus agar berterus terang saat memberikan kesaksian.

Hakim Aswanto awalnya menanyakan ada tidaknya ancaman atau tekanan terhadap Agus. Kemudian ia menjawab ada ancaman berupa pembunuhan terjadi saat April.

Disinggung ancaman terjadi saat hendak memberikan keterangan di Sidang MK, Agus mengaku tidak ada.

Sikap Agus berulang kali ditegur Hakim Aswanto karena enggan menyebutkan pihak mana saja yang mengetahui ancaman tersebut, pun saat ditanya siapa pengancam kepada dirinya.

"Siapa saja yang tahu Anda diancam?" tanya Hakim Aswanto.

"Saya tidak bisa menyebutkan, tetapi salah satunya Hashim Djojohadikusumo," jawab Agus.

Pria asal Sidoarjo itu bergeming tak mau membeberkan pihak yang mengetahui ancaman tersebut. Berkukuh dengan sikap seperti itu, Hakim Aswanto mengingatkan Agus agar berterus terang dalam memberikan kesaksian.

"Saya ingatkan Pak Agus bisa jelaskan dan menerangkan apa yang Anda ketahui, alami dengar, dengan sebenar-benarnya. Kalau memberikan tidak sebenarnya, mahkamah bisa keliru ambil keputusan. Kalau Anda berikan keterangan tidak sebenarnya bisa kena Pasal 242 KUHP, diancam maksimal 7 tahun penjara. Penyampaian ini juga untuk saksi-saksi lain," ujar Aswanto mengingatkan.

 


6. Ibaratkan Situng KPU Bak Tembok China

Begini Suasana Sidang Sengketa Pilpres ke-5
Hakim Konstitusi Anwar Usman dan I Dewa Gede Palguna tertawa saat sidang ke-5 sengketa Pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hakim MK I Dewa Gede Palguna menanyakan kepada ahli yang dihadirkan pihak Termohon, yakni Marsudi Wahyu Kisworo, terkait adanya kemungkinan Situng KPU disusupi pihak luar.

"Tapi bisa bisa enggak itu disusup-susupi, walaupun tadi Pak Luhut (Luhut Pangaribuan, anggota tim hukum Jokowi-Ma'ruf) sudah nanya itu. Bisa disusupi dari luar enggak kalau orang masuk ke situ?" kata Palguna dalam Sidang MK, Kamis, 20 Juni 2019.

"Saya ini bukan intel, jadi enggak tahu," jawab Marsudi.

Hakim MK Palguna lantas bertanya dari kemungkinan Situng dibobol dari sisi teknologi.

"Bisa saja, tapi orangnya harus masuk ke sana. Jadi, orang bertamu ke KPU bisa saja, kan mungkin temannya Pak Ketua, terus masuk ruangan, bisa saja," ucap dia.

Mendengar jawaban dari Marsudi, Hakim Palguna menjawab dengan pepatah yang berisi pihak dapat merobohkan suatu tempat adalah penjaga tempat itu sendiri, bukan pihak luar.

"Kira-kira seperti pepatah lama lah, jadi tembok China itu begitu kuatnya tidak mungkin diruntuhkan kecuali dengan menyuap penjaganya," ucap Palguna.

Selain itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, Situng KPU bukan acuan untuk menentukan hasil akhir resmi pemenang Pilpres 2019. Situng bertujuan sebagai bentuk keterbukaan publik dari KPU selama proses perhitungan suara berjenjang.

Pernyataan Arief tersebut menjawab permintaan dari tim hukum Prabowo-Sandi agar ada perintah dari MK untuk melakukan audit forensik terhadap Situng.

"Harus ingat bahwa untuk menetapkan perolehan suara yang benar bukan dari Situng. Bukan dari itu. Undang-undang jelas mengatakan begini, hasil Situng bukan hasil resmi. Hasil resmi adalah hasil penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang sehingga Situng tidak mempengaruhi atau tidak digunakan untuk penghitungan suara resmi," kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 20 Juni 2019.

Arief menyatakan, keberadaan situng agar masyarakat dapat memantau dan mengoreksi apabila ada kekeliruan. Sementara, rekapitulasi atau penghitungan suara berjenjang yang dipakai untuk hasil akhir, tetap berpatokan dengan formulir C1 yang berhologram.

"Jadi yang dipakai penghitungan suara manual yang dilakukan secara berjenjang dari TPS sampai tingkat nasional," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya