HEADLINE: Vonis 2 Tahun, Babak Akhir Drama Kebohongan Ratna Sarumpaet?

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis Ratna Sarumpaet 2 tahun penjara karena terbukti menyebar hoaks dan berdampak keonaran. Vonis jadi akhir cerita?

oleh Nanda Perdana PutraRita AyuningtyasAdy Anugrahadi diperbarui 13 Jul 2019, 00:06 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2019, 00:06 WIB
Ratna Sarumpaet
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (11/7/2019). Ratna Sarumpaet sebelumnya dituntut jaksa penuntut umum dengan pidana enam tahun penjara. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pagar kayu di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatasi peserta dan pengunjung sidang, tak jadi penghalang bagi Ratna Sarumpaet. Kedua tangannya segera meraih pundak sang putri, Atiqah Hasiholan. Dia memeluk erat anaknya tersebut sesaat setelah hakim mengetok palu. 

Hal yang sama dilakukan terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks tersebut ke putra-putrinya yang lain, Mohamad Iqbal, Fathom Saulina, dan Ibrahim. 

"Nanti kita ketemu lagi ya," kata Ratna. Air mata tak terbendung seketika. Ruang sidang mendadak haru. 

Kamis kemarin, majelis hakim PN Jakarta Selatan memvonis dua tahun penjara Ratna Sarumpaet. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, 6 tahun penjara.

Hakim menilai aktivis itu sengaja menyebarkan hoaks sehingga memancing benih keonaran. Ratna dinyatakan terbukti bersalah sesuai Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Menyatakan terdakwa Ratna Sarumpaet telah terbukti secara sah bersalah menyebar pemberitaan bohong. Menjatuhkan terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun," kata hakim anggota Joni saat membacakan vonis.

Usai palu diketok, Ratna Sarumpaet tidak berkomentar terkait putusannya itu. Sementara di sisi kanan, para pendamping hukum Ratna tampak menyimak tajam tiap kalimat yang dilontarkan hakim.

Saat berhadapan dengan wartawan, barulah dia mengungkapkan isi hatinya. Ratna Sarumpaet tetap berkeyakinan perbuatannya bukanlah keonaran, dia mengaku sejak awal kasusnya adalah politik.

"Jadi gini ya, karena dia eksplisit menyatakan saya melanggar pasal keonaran itu buat saya menjadi sinyal bahwa Indonesia masih jauh, masih harus berjuang sekuat-kuatnya untuk menjadi negara hukum yang benar," kata Ratna usai vonis.

"Kalau ada alasan lain mungkin saya lebih bisa menerima, tetapi karena di dalam logika dasar saya keonaran itu bukan seperti yang saya lakukan ya. Saya rasa memang seperti yang saya katakan di awal persidangan ini bahwa ini politik jadi saya sabar saja," sambung Ratna.

Kendati demikian, tim pengacaranya menyatakan pikir-pikir atas putusan majelis hakim, pun dengan jaksa.

"Kita masih pikir-pikir. Kita juga belum ketemu Bu Ratna. Kira-kira Senin kita akan bicarakan dengan Bu Ratna," ujar pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi, ketika dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat 12 Juli 2019.

Dia mengaku akan mempelajari lebih dalam lagi aspek-aspek hukum dalam putusan kasus Ratna Sarumpaet itu. Juga konsekuensi dalam mengajukan banding.

"Kita kan harus pertimbangkan dulu aspek hukumnya seperti apa, terus biar ada pertimbangan keluarga juga, anak-anak, seperti apa," kata Desmihardi.

Infografis Babak Akhir Drama Kebohongan Ratna Sarumpaet
Infografis Babak Akhir Drama Kebohongan Ratna Sarumpaet. (Liputan6.com/Abdillah)

Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, berbohong tidak termasuk tindak pidana. Meski, lanjut dia, berbohong tetap tidak dibenarkan.

Dia tidak sependapat dengan majelis hakim yang menyatakan kebohongan Ratna Sarumpaet menimbulkan keonaran.

"Di sidangnya Ratna itu membuktikan keonarannya saja menurut saya tidak terbukti. Hakim bilang "benih-benih keonaran", menurut saya itu artinya "potensi". Belum terjadi keonarannya," kata Abdul Fickar kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat 12 Juli 2019.

Fickar mengatakan, suasana politik saat peristiwa terjadi membawa tafsiran keonaran menjadi luas. Dia menduga, keonaran tersebut terjadi karena keriuhan di media sosial sebagai dampak kebohongan yang dirancang terdakwa.

"Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 itu yang dimaksud keonaran itu keributan di dalam masyarakat. Anarkisme, sebenarnya itu. Tapi itu enggak terjadi. Kalau perbedaan pendapat di media sosial itu kan biasa," kata Abdul Fickar.

Menurut dia, Pasal 14 ini merupakan pasal karet. Oleh karena itu, dia menyarankan agar Ratna mengajukan banding.

Hal yang sama diungkapkan pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir. Dia menilai Ratna perlu maju ke peradilan tingkat selanjutnya.

"Iya perlu. Berilah argumen yang yakin kepada hakim jadi kita kritik atau evaluasi hakim menafsirkan itu," kata Mudzakir.

Dia pun menilai perbuatan Ratna tidak termasuk tindak kriminal. Ini juga terkait poin-poin hukum dalam Pasal 14. 

"Pertama, karena Bu Ratna itu tidak bermaksud menyiarkan ya. Menyampaikan bukan menyebarkan lho itu. Menyiarkan itu siaran dan dia tidak melakukan siaran dalam konteks itu," ucap Mudzakir.

Kedua, lanjut dia, konferensi pers yang digelar Ratna bertujuan untuk meminta maaf menyangkut pernyataannya tentang pengeroyokan. Bukan untuk menyiarkan berita bohong.

Dia juga beranggapan, kebohongan Ratna tidak menimbulkan keonaran. Dia mengatakan, "onar" dalam bahasa hukum berarti kerusuhan. Jika tidak ada kerusuhan, sambung dia, tidak bisa dikatakan onar.

Namun, apakah kasus Ratna Sarumpaet ini bisa memberi efek jera agar masyarakat tidak menyebar kebohongan?

"Bukan efek jera, mencederai keadilan. Karena apa, orang perbuatannya tidak memenuhi unsur keonaran dan tidak ada maksud menyiarkan kok dihukum karena melakukan Pasal 14. Pasal 14 itu ancaman hukumannya maksimal 15 tahun. Artinya apa? Kalau diancam 5 tahun itu perbuatan yang berat kualifikasinya. Setara dengan mematikan orang," kata Mudzakir.

Menurut dia, idealnya kasus ini tidak perlu disidangkan karena tidak termasuk kriminalitas. 

"Cukup sampai sanksi sosial. Jangan sampai masuk penjara seperti itu. Kalau bohong masuk penjara, harus berlaku ke semuanya. Semua orang yang membuat statement itu bohong, semua masuk penjara. Entah pejabat atau bukan, entah penegak hukum atau bukan," ujar dia.

 

 

Analisa Yuridis Hakim

Ratna Sarumpaet
Terdakwa kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2019). Majelis hakim memvonis Ratna Sarumpaet dengan hukuman 2 tahun penjara atas kasus penyebaran berita bohong yang menjeratnya. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara, dalam analisis yuridisnya, majelis hakim meyakini cerita penganiayaan yang dikarang Ratna mengandung maksud tertentu.

Hakim anggota, Krisnugroho menyebut, hoaks penganiayaan sengaja dibuat Ratna Sarumpaet dengan maksud propaganda. 

Menurut dia, wajar jika terdakwa hanya berbohong kepada anaknya. Tapi, ketika kebohongan itu disebarkan ke teman seperjuangannya, majelis meyakini Ratna ingin mencari simpati, mempengaruhi dan propaganda.

"Tetapi juga diceritakan kepada orang-orang seperjuangan seperti tim badan pemenangan capres-cawapres, menurut hemat majelis terdakwa telah memiliki maksud tertentu untuk menarik simpati, mempengaruhi dan propaganda di mana terdakwa sebagai aktivis dan pejuang HAM mendapat perlakuan kekerasan yang tidak wajar," tutur hakim Krisnugroho.

Apalagi berita penganiayaan yang dialami terdakwa itu menjadi viral dan trending topic di media sosial dan media massa. Sejumlah reaksi keras dari berbagai kalangan juga muncul setelahnya.

Bahkan, Prabowo Subianto didampingi petinggi BPN Prabowo-Sandi melakukan konferensi pers di Jalan Kertanegara terkait kejadian yang menimpa Ratna.

Krisnugroho pun menilai perbuatan tersebut dapat disebutkan sebagai menyebarkan dan mempropagandakan. "Unsur menyebarkan berita bohong telah terpenuhi," ujar dia.

Majelis juga menganggap cerita bohong yang dikarang Ratna Sarumpaet telah menimbulkan benih-benih keonaran. Hal itu dilihat dari perdebatan yang terjadi di dunia maya serta demonstrasi di berbagai daerah.

Menurut Krisnugroho, terdakwa telah membuat resah masyarakat terutama di media sosial juga di media mainstream sehingga menimbulkan pro dan kontra serta silang pendapat.

Selain itu, cerita bohong terdakwa juga disikapi oleh masyarakat. Mereka melakukan demonstrasi di Polda Metro serta adanya pertemuan sekelompok orang di restoran cepat saji guna menyikapi kejadian yang dialami terdakwa.

Krisnugroho menyebut itu sebagai bibit keonaran.

"Keonaran itu belum benar-benar terjadi, tapi bibit-bibit untuk terjadinya keonaran itu telah tampak dan muncul ke permukaan," ujar dia.

Sebab, jika kondisi tersebut tidak cepat teratasi oleh kepolisian maka kerusuhan, keributan dan keonaran bisa terjadi.

"Dan hal tersebut tentunya akan sangat merugikan kita semua dan fungsi hukum untuk menjaga ketertiban di masyarakat menjadi tidak mempunyai arti," ucap Krisnugroho.

Hal tersebut diperkuat dengan kenyataan, bibit keonaran ini mereda setelah Ratna Sarumpaet melakukan konferensi pers mengakui kebohongannya dan minta maaf.

"Kala itu polisi menunjukkan bukti lebam dan bengkak di wajahnya setelah operasi plastik," ujar dia.

Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara. Vonis yang diyakini hakim dapat membuat jera Ratna Sarumpaet.

 

Perjalanan Kasus Ratna

Ratna Sarumpaet
Terdakwa kasus penyebaran hoaks Ratna Sarumpaet usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2019). Majelis hakim memvonis Ratna Sarumpaet dengan hukuman 2 tahun penjara atas kasus penyebaran berita bohong yang menjeratnya. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Media sosial mendadak ramai pada 2 Oktober 2018. Kala itu, beredar foto lebam dan bengkak wajah aktivis perempuan Ratna Sarumpaet di media sosial yang mengaku habis dipukuli orang tak di kenal di Bandung.

Ragam komentar pun mengalir. Politikus, akademisi, hingga publik figure lewat akun media sosial masing-masing mengecam peristiwa tersebut.

Nanik Sudaryati misalnya, melalui akun facebook bernama Nanik S Deyang membagikan foto dan cerita kronologi penganiayaan Ratna Sarumpaet.

"Mbak Ratna Sarumpet sebagai salah satu anggota Tim Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi sore ini setelah agak pulih ia melaporkan kepada Pak PS kejadian yang menimpanya Pak PS didampingi Pak Amien Rais dan Pak Fadli Zon. Mbak Ratna dihajar habis 3 orang 21 September di sekitar Bandara Husein Sastranegara Bandung ceritanya malam itu seusai acara konferensi dengan beserta beberapa negara asing di sebuah hotel Mbak Ratna naik taksi dengan peserta dari Srilanka dan Malaysia akan naik ke Soetta berapa sebetulnya agak curiga saat tiba-tiba taksi dihentikan agak jauh dari keramaian saat 2 temannya dari luar negeri turun berjalan menuju bandara Mbak Ratna ditarik 3 orang ke tempat gelap dan dihajar habis oleh 3 orang dan diinjak perutnya setelah di hajar Mbak Ratna dilempar ke pinggir jalan aspal sehingga bagian samping kepalanya robek menurut Mbak Ratna kejadian sangat cepat sehingga Mbak Ratna sulit mengingat bagaimana urutan urutan kejadian karena semua begitu cepat dan Mbak Ratna masih sedikit sadar saat dia kemudian dibawa pulang sopir taksi dan dimasukkan ke dalam taksi oleh sopir taksi Mbak Ratna di turunkan di pinggir jalan di daerah Cimahi dengan sisa tenaga tertatih-tatih Mbak Ratna mencari kendaraan untuk ke RS di Cimahi lalu Mbak Ratna menelpon temannya seorang dokter bedah akhirnya Mbak Ratna ditangani kawannya di sebuah RS Ratna malam itu juga langsung balik ke Jakarta dan dalam situasi trauma habis dia harus berdiam diri selama 10 hari."

Pun begitu Mardani Ali Sera. Pada 1 Oktober 2018 pukul 21.25 WIB, lewat akun twitter pribadi mencuit.

"Pemukulan Ratna Sarumpaet berencana demokrasi dan kemanusiaan ini penghinaaan terhadap Pancasila menginjak2 pemerintah yang demorkatis, Munir dan Novel Baswedan belum selesai sekarang @RatnaSpaet #TolakKekerasangayaPKITwetter.com/LawanPolitikJW. Mardani: Ratna Sarumpaet dianiaya untuk dibungkam."

Tak cuma itu, pada 1 Oktober 2018 pukul 21.52 WIB, artis dan juga politikus Partai Gerindra Rachel Maryam juga memposting foto wajah terdakwa yang dalam keadaan lebam dan bengkak dengan memberikan kicauan di akun twitter pribadinya.

"Setelah konfirmasi kejadian penganiayaan benar terjadi hanya saja waktu penganiayaan bukan semalam melainkan tanggal 21 kemarin, bunda @RatnaSpaet ketakutan dan trauma. Mohon doa."

Sama halnya dengan Dr Rizal Ramli di akun twitternya pada tanggal 1 Oktober 2018 pukul 22.05 WIB.

"Ratna Sarumpaet @RatnaSpaet dipukulli sehingga babak belur oleh sekelompok orang. Ratna cerdas, kritis, dan outspoken, tapi tindakan brutal & sadis tsb tidak dapat dibiarkan ! Tlg tindak @BareskrimPolri. Penghinaan terhadap demokrasi! kok beraninya sama ibu-ibu?"

Kemudian ditimpali Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, di akun twitter memposting foto berdua terdakwa. Ia menulis caption.

"Mba @RatnaSpaet memang mengalami penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum yang belum jelas jahat n biadab sekali."

Kabar ini terus menyebar hingga membuat Prabowo Subianto, angkat bicara. Pada tanggal 2 Oktober, Prabowo mengundang awak media hadir ke kediamanya di Jalan Kertanegara No 4 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Turut hadir Muhammad Amien Rais, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Joko Santoso.

Dalam konferensi pers, Prabowo meminta pemerintah mengusut tuntas pengandaian yang dialami oleh terdakwa Ratna Sarumpaet.

Masyarakat juga memberikan reaksi atas foto lebam. Selasa, 3 Oktober 2018 di Jalan Gatot Subroto samping Polda Metro Jaya Jakarta Selatan ada unjuk rasa yang mengatasnamakan Lentera Muda Nusantara. Pertama, menuntut dan mendesak kepolisian untuk menangkap pelaku penganiayaan Ratna Sarumpaet. Kedua, kepolisian harus tegas tangkap dan adil.

Setelah melalui perdebatan panjang di sosial media dan media massa, pada 3 Oktober 2018, Ratna Sarumpaet menyatakan telah berbohong tentang penganiayaannya. Dia pun meminta maaf.

Tapi, Polda Metro Jaya tetap menyelidiki kasus tersebut. Ratna pun diseret ke meja hijau.

Di sana, terungkap berbagai fakta. Bahwa Ratna bengap wajahnya merupakan efek dari operasi plastik di RSK Bedah Bina Estetika, Menteng Jakarta Pusat. Menurut hasil rekam medis Ratna Sarumpaet. Tercatat, Ratna mulai mendatangi RSK Bedah Bina Estetika, Menteng Jakarta Pusat sejak 2013.

Setiap berkunjung Ratna selalu ditangani oleh dr Sidik Setiamihardja, SpB SpBP. Terungkap juga Ratna juga sudah empat kali melakukan operasi plastik. Terakhir rekontruksi wajah Ratna Sarumpaet pada 21 September 2018 mulai jam 19.00 WIB hingga jam 22.45 WIB.

Kala itu, Ratna mengaku menjadi korban penganiayaan. Ratna malu saat operasi keempat itu karena usianya sudah terlalu uzur.

Hal itu terungkap dalam pledoi pribadi Ratna. Ia mengatakan tidak pernah menyangka bahwa kebohongan yang dirangkai akan menyeretnya ke meja hijau.

Apalagi, JPU mendakwa dengan melakukan perbuatan dengan menyiarkan berita bohong yang berakibat dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.

Oleh karena itu, Ratna melalui pembelaan ini merasa perlu mengklarifikasi. Ia tegaskan tidak bermaksud untuk membuat keonaran.

Ratna menuturkan, kebohongan yang dibuat sangat jauh dari menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya