HEADLINE: Kemarau Berkepanjangan, Indonesia Terancam Bencana Kekeringan?

Musim kemarau dan bencana kekeringan tahun ini diperkirakan berlangsung lama, melebihi tahun-tahun sebelumnya.

oleh RinaldoRatu Annisaa SuryasumiratYopi Makdori diperbarui 24 Agu 2019, 00:09 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2019, 00:09 WIB
Banner Infografis Kemarau Panjang, Indonesia Terancam Kekeringan
Kemarau Panjang, Indonesia Terancam Kekeringan. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Ratusan warga di perumahan Pesona Serpong, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Banten tak lagi bisa menjalani aktivitas keseharian mereka dengan tenang. Setiap pagi, mereka dipusingkan dengan ketiadaan air bersih akibat musim kemarau yang membuat sumber air menjadi kering.

"Orang yang kerja, kuliah, sekolah pada enggak mandi, air susah. Bantuan dari pemerintah buat yang pokok-pokok saja dulu," ucap Minar (44), warga Perumahan Pesona Serpong, Jumat (23/8/2019).

Saat ini, warga hanya bisa mengandalkan bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tangsel melalui PDAM Kabupaten Tangerang yang menyalurkan bantuan air bersih berupa dua mobil tangki berisi 4.000 liter air untuk masyarakat sekitar perumahan Pesona Serpong di pagi dan sore hari.

Jika melihat prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), maka warga Perumahan Pesona Serpong mungkin masih akan lama untuk bisa ke kehidupan normal. Alasannya, musim kemarau dan bencana kekeringan tahun ini akan berlangsung lama, melebihi tahun-tahun sebelumnya.

Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) jauh-jauh hari sudah memetakan wilayah yang terparah mengalami kekeringan akibat pengaruh El Nino ini. BNPB menyebut, wilayah Pulau Jawa akan mengalami kekeringan yang paling parah.

"Wilayah yang cukup serius mengalami kemarau itu ada di wilayah Jawa, meliputi empat provinsi, yakni Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu juga ada di Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur," jelas Kepala Bidang Humas BNPB Rita Rosita kepada Liputan6.com, Jumat (23/8/2019).

Di seluruh lokasi terparah itu, lanjut dia, BNPB siap memberikan bantuan, khususnya mendistribusikan air bersih bagi warga yang membutuhkan. Namun, BNPB tidak serta merta bisa turun ke lapangan, karena harus berdasarkan adanya permintaan.

"Permintaan dari wilayah yang mengalami kekeringan itu dilakukan melalui surat kepada BPBD bersangkutan. Apabila nanti BPBD sudah menerima, mereka akan melakukan pendistribusian air. Itu juga tidak bisa bekerja sendiri, harus bekerja sama dengan Dinas PDAM dan juga dengan Dinas PU yang memiliki mobil-mobil tanki, sehingga air itu bisa didistribusikan ke lokasi terdampak," papar Rita.

 

Infografis Kemarau Panjang, Indonesia Terancam Kekeringan. (Liputan6.com/Abdillah)

Langkah lain yang dilakukan BNPB menghadapi kekeringan ini antara lain dengan menyiapkan tempat penampungan air.

"Ini salah satu antisipasi, termasuk juga membuat sumur bor. Pompa semakin banyak dibuat untuk mengantisipasi. Ini sebagai antisipasi, kalau nantinya kekeringan semakin parah maka air di tempat-tempat itu bisa dimanfaatkan seefisien mungkin. Jangan boros-boros menggunakannya," ujar Rita.

Intinya, lanjut dia, untuk menanggulangi kekeringan ini harus ada koordinasi antara BPBD dengan instansi lain serta masyarakat. Jika dengan instansi lain atau pemerintah daerah BPBD punya koordinasi yang jelas dalam hal distribusi air, peran masyarakat juga tak kalah penting.

"Masyarakat itu harus lebih kooperatif dan informatif, jangan diam. Kemudian, mereka harus bisa efisien dalam pemanfaatan air bersih, karena kemarau tahun ini akan berlangsung lama dan titik puncaknya nanti di bulan September," jelas Rita.

Kendati demikian, tak ada jaminan bahwa semua itu bisa membuat kebutuhan masyarakat akan air bersih di musim kemarau panjang bisa terpenuhi. Karena itu, BNPB menyiapkan strategi lainnya.

"Jika tidak ada lagi air, maka solusi terakhirnya yaitu dengan membuat teknologi modifikasi cuaca (TMC) supaya hujannya turun," Rita menandaskan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ibu Kota Siaga Kekeringan

Musim Kemarau, Anak-Anak Berenang di Banjir Kanal Barat
Anak-anak berenang di Kanal Banjir Barat (KBB) yang hitam di Petamburan, Jakarta, Senin (12/8/2019). Surutnya debit air KBB akibat musim kemarau dimanfaatkan anak-anak untuk bermain sambil mencari ikan. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Indonesia tengah menghadapi ancaman kemarau hingga akhir tahun mendatang. Tak terkecuali dengan ibu kota, kekeringan sudah mulai dirasakan warga sejak dua bulan terakhir. Karena itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merasa ketar-ketir dengan kondisi ini.

"Siapa pun sudah harus menghemat penggunaan air. Apa pun kegiatan kita, sebisa mungkin hemat air," tegas Anies di Polda Metro Jaya, Jumat (23/8/2019) 2019.

Dia mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyiapkan Instruksi Gubernur (Ingub) yang akan dialamatkan kepada Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. Ingub itu terkait penggunaan sumber daya ekstra agar dinas tersebut punya dasar hukum melakukan kegiatan ekstra.

"Kita punya peta, mana wilayah yang sering banjir, mana wilayah yang sering kekurangan air. Di tempat itu dilakukan langkah ekstra, maka harus memiliki dasar hukum dan dasar hukum itulah yang dibuat melalui instruksi gubernur. Ini sedang dilengkapi dan nanti keluar Ingub-nya," jelas Anies.

Jakarta memang layak waspada, lantaran sejumlah wilayahnya diprediksi akan mengalami kekeringan yang ekstrem. Hal itu disampaikan Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini. Menurut dia, kawasan itu umumnya berada di kawasan pesisir Jakarta.

Sementara ini yang sudah terdeteksi itu di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan laut, yaitu di Jakarta Utara, Jakarta Barat.

"Udah mulai deh di sana tuh, kalau di Jakarta Utara terutama daerah Cilincing. Kalau di Barat itu Cengkareng, sekitar situlah," jelas Juaini kepada Liputan6.com, Jumat (23/8/2019).

Sementara di Kepulauan Seribu, dia mengaku pihaknya sudah membangun sejumlah infrastruktur bagi keperluan air bersih, seperti di Pulau Pandan dan Pulau Pramuka. Yang jelas, lanjutnya, sesuai prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun lalu.

"Mungkin agak lebih panjanglah waktunya. Karena itu kita kerja sama dengan PD PAM Jaya. Nanti kita siapkan depo-depo air bersih di lokasi yang sangat parah lokasinya, yang benar-benar kering," ujar Juaini.

Sementara, ketika ditanyakan apa yang harus dilakukan warga Jakarta menghadapi kekeringan yang panjang ini, dia mengatakan arahan sudah diberikan oleh Gubernur Anies Baswedan untuk menghemat penggunaan air.

"Yang kedua, antisipasi soal kebakaran. Nah kita kan musim panas nih, kalau udah kena sedikit itu sudah bisa jadi penyebab kebakaran. Apalagi di lokasi-lokasi yang misalnya ada sungai tapi airnya mulai kering, kan jadi mengganggu kalau nanti pihak pemadam kebakaran mengambil air buat memadamkan api," jelas Juaini.

Dia mengatakan, Jakarta memang rawan dengan musibah kebakaran. Apalagi di musim kemarau, ancamannya lebih tinggi. Khususnya di kawasan yang padat penduduk dan kumuh.

"Cuma, memang agak susah penanggulangannya karena ketika petugas pemadam kebakaran masuk kan daerah padat, mobil nggak masuk kan. Jadi, untuk mempercepat proses pemadaman apinya jadi agak susah dibandingin di lokasi-lokasi yang emang udah teratur, mobil bisa masuk gitu," Juaini memungkasi.

 

3 Bulan Tanpa Hujan

Kekeringan Air Desa Weninggalih Bogor
Seorang ibu mengisi air pada antrean jeriken di sumur Masjid  di Kampung Citapen, Desa  Weninggalih, Bogor, Rabu (24/07/2019). Sekitar 4000 jiwa warga Desa Weninggalih mengalami kesulitan mendapatkan air bersih akibat musim kemarau sejak tiga bulan terakhir. (merdeka.com/Arie Basuki)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan, musim kemarau yang terjadi saat ini diperkirakan masih berlanjut dalam dua atau tiga bulan ke depan. Sementara awal musim hujan baru akan jatuh pada akhir November hingga awal Desember 2019.

"Puncak kemarau di bulan Agustus-September. Itu adalah puncak dan tidak berarti kemarau langsung berhenti, kita masih akan menghadapi September-Oktober, kekeringan dan hujan sedikit masih akan terus kita hadapi dua hingga tiga bulan ke depan," kata Kepala Sub Bidang Analisa dan Informasi Iklim BMKG Adi Ripaldi, Selasa 20 Agustus 2019.

Dia menjelaskan, saat ini sekitar 92 persen wilayah Indonesia mengalami kemarau. Bahkan terdapat beberapa wilayah yang mengalami hari tanpa hujan ekstrem, yaitu tidak ada hujan hingga lebih dari 60 hari seperti di seluruh Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

"Kondisi ini tentu akan memiliki dampak lanjutan terhadap kekeringan pertanian dan kekurangan air bersih masyarakat. Selain itu, ancaman gagal panen bagi wilayah-wilayah pertanian tadah hujan semakin tinggi," jelas Adi.

Adi mencontohkan di wilayah Jakarta Utara sudah mengalami kekeringan di bulan Juli dan Agustus sehingga kualitas air sumur menjadi tidak bagus. Dia menerangkan, kondisi kemarau tahun ini lebih kering dibanding tahun lalu.

Menurut Adi hal tersebut disebabkan oleh siklus iklim El Nino pada akhir 2018 yang membuat kemarau lebih kering. Kendati demikian dia menyatakan kemarau 2019 tidak separah pada kekeringan di musim kemarau 2015.

Selain itu, BMKG melalui Stasiun Klimatologi Tangerang Selatan, Kamis 22 Agustus 2019, merilis peringatan dini terkait bencana kekeringan yang diperkirakan akan melanda wilayah di Banten dan DKI Jakarta.

Peringatan dini itu menyatakan, data hari tanpa hujan (HTH) terbaru, menunjukkan sebagian besar wilayah Banten dan DKI Jakarta akan mengalami kekeringan selama lebih kurang 20 hingga lebih dari 60 hari.

Berdasarkan prakiraan BMKG, peluang curah hujan selama dasarian III Agustus dan dasarian I September 2019 menunjukkan beberapa wilayah akan mengalami curah hujan sangat rendah. Yakni kurang dari 20mm/dasarian dengan peluang hingga lebih dari 90 persen.

Berikut rincian peluang prakiraan kekeringan di sejumlah wilayah Banten dan DKI Jakarta:

Waspada

1. Lebak (Cileles, Panggarangan, Rangkasbitung)

2. Pandeglang (Mandalawangi, Menes)

3. Tangerang (Cisoka)

Siaga

1. Jakarta Pusat (Gambir)

2. Jakarta Selatan (Jagakarsa, Cilandak, Kebayoran Baru, Pasar Minggu)

3. Jakarta Barat (Kedoya Selatan, Grogol Petamburan)

4. Depok (Depok, Pesanggrahan)

5. Tangerang (Sukamulya, Legok, Serpong, Sukamulya, Kresek)

6. Tangerang Selatan (Pondok Aren, Serpong)

7. Serang (Carenang, Cinangka, Kibin, Kramatwatu, Ciomas, Pamarayan, Cilodong, Tirtayasa)

8. Pandeglang (Cipeucang, Banjarsari, Jiput, Labuhan, Munjul, Pagelaran, Pulosari, Sobang)

9. Lebak (Banjarsari, Cibeber, Cihara, Cikulur, Gunung Kencana, Cijaku, Rangkasbitung, Maja, Malingping, Warung Gunung)

Awas

1. Jakarta Pusat (Menteng, Gambir, Kemayoran, Tanah Abang)

2. Jakarta Selatan (Tebet, Pasar Minggu, Setiabudi)

3. Jakarta Timur (Halim, Pulogadung, Cipayung)

4. Jakarta Utara (Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading, Penjaringan)

5. Lebak (Bayah, Cilograng, Cimarga, Malingping)

6. Pandeglang (Cikeusik, Cibaliung, Cimanggu)

7. Serang (Ciruas, Walantaka)

8. Tangerang (Teluk Naga, Sepatan, Mauk, Cengkareng, Ciputat, Kresek, Cipondoh, Kronjo, Kemiri, Pasar Kemis, Tangerang)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya