Liputan6.com, Jakarta - Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) Luthfi Jayadi Kurniawan tak mengerti Pasal 5 dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang biasa dikenakan kepada mereka yang terjerat kasus suap.
Luthfi yang mengikuti uji publik di Gedung Sekretariat Negara, tak bisa menjawab saat Wakil Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK Indriyanto Seno Adji bertanya soal perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12.
"Saya tidak paham," ujar Luthfi di hadapan Pansel Capim KPK di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Advertisement
Sebelum ditanya soal perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12, Luthfi yang merupakan akademisi mengaku sudah menjadi pemerhati isu korupsi sejak tahun 98. "Sejak 1998," kata dia.
Namun sayang Luthfi tidak memahami perbedaan kedua pasal tersebut. Hal ini membuat Luthfi terdiam. Begitu juga saat ditanya soal perampasan aset, Luthfi tak menjawab.
Hal ini sangat disayangkan oleh Pansel Capim KPK. Sebab, Pasal 5 dan Pasal 12 kerap dipakai lembaga antirasuah saat menggelar ekspose sebelum menentukan status hukum mereka yang diduga terjerat korupsi.
"Kira-kira paham enggak? Karena sebagai pimpinan di saat ekspose terbatas dan ekspose pleno pimpinan harus kasih pendapat, Pak. Harus pahami hukum, Kalau enggak amburadul itu lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat. Kalau bapak ikut ekspose bisa paham?," tanya Indriyanto.
"Saya akan berusaha untuk memahami," kata Luthfi.
Lantaran mengaku tak paham dan tak hafal pasal yang ada di UU Tipikor, Indriyanto pun tidak melanjutkan pertanyaaan dalam uji publik Capim KPK 2019.
"Sudah saya enggak usah tanya banyak-banyak Pak. Pimpinan harus tahu semua (Pasal) Pak," kata Indriyanto menegaskan.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Perbedaan Pasal 5 dan 12 UU Tipikor
Pasal 5 sendiri biasanya dipakai KPK untuk menjerat para pemberi suap. Sedangkan Pasal 12 untuk mereka yang diduga sebagai penerima suap.
Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor berbunyi, setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 5 ayat (1) huruf b, memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, dijatuhi hukuman pidana maksimal lima tahun penjara.
Sedangkan Pasal 12 huruf a berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dan pasal 12 huruf b, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Advertisement