Ide Liar Penambahan Masa Jabatan Presiden

Wacana tersebut berhembus ketika MPR dan pemerintah berencana mengamandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945.

oleh Putu Merta Surya PutraLizsa EgehamLiputan6.com diperbarui 25 Nov 2019, 00:02 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2019, 00:02 WIB
Sidang Terakhir Anggota MPR
Suasana Sidang Paripurna MPR Akhir Masa Jabatan Periode 2014-2019 di Gedung Nusantara, Kompleks MPR DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (29/7/2019). Sidang paripurna MPR ini dipimpin Ketua MPR Zulkifli Hasan didampingi para wakil ketua. (Liputan6.com/HO/Sopi)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana penambahan masa jabatan presiden mulai mengemuka. Ide liar ini berembus ketika MPR dan pemerintah berencana mengamandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945.

Sejak tumbangnya orde baru dan masuknya reformasi, masa jabatan presiden Pasal 7 UUD 1945 yang isinya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Bisa diartikan presiden dan wakil presiden bisa menjabat dua periode ketika mereka terpilih kembali dalam pemilu.

Tak jelas memang, siapa yang pertama kali mengembuskan wacana ini. Saling tuding antara politikus pun mulai terlihat.

Wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode disebut-sebut berasal dari Partai Nasdem. Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.

Ia meminta, semua pihak untuk menanyakan langsung pada partai yang mengusulkan wacana tersebut, yakni Partai NasDem.

"Tentu ini harus ditanyakan kepada yang melayangkan ini, kan bukan saya yang melayangkan. Ini ada yang menyampaikan seperti ini, kalau tidak salah mulai dari anggota DPR dari Fraksi NasDem tentu kita harus tanyakan kepada yang melayangkan secara jelas apa," kata Arsul di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 22 November 2019.

Wakil Ketua MPR ini menilai, terlalu cepat untuk membicarakan soal penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, saat ini MPR masih terus melakukan audiensi amandemen UUD 1945 keapda masyarakat.

"Di dalam jadwal MPR sendiri di tahun 2020 bahkan 2021 menampung berbagai aspirasi masyarakat yang terkait khususnya dengan rekomendasi dari MPR periode lalu. Mari Kita lihat nanti di ruang publik seperti apa, apakah katakanlah ini mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat atau tidak," ungkapnya.

Usulan soal perubahan masa jabatan presiden juga datang dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ketua DPP PSI Tsamara Amany mengusulkan, jabatan presiden baiknya hanya satu periode saja. Namun, satu periode itu adalah tujuh tahun.

"Jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya," kata Tsamara, Kamis 21 November 2019.

Menurut Tsamara, masa jabatan satu periode akan membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek. Ia berpendapat, presiden dapat lebih fokus untuk melahirkan kebijakan terbaik. Politik akan terbebas dari pragmatisme.

"Selanjutnya, satu periode ini akan menghilangkan konsep petahana dalam pemilihan presiden. Maka tak ada lagi kecurigaan bahwa petahana memanfaatkan kedudukannya untuk kembali menang pemilu," ucap Tsamara.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pro Kontra

Fadli Zon
Perlu Pengawasan Mendalam Terhadap Otsus Papua

Penolakan terhadap penambahan masa jabatan presiden muncul dari berbagai kalangan. Satu di antaranya Anggota DPR, Fadli Zon.

Politikus Partai Gerindra ini menilai, perpanjangan masa jabatan presiden dalam amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 merupakan wacana yang berbahaya.

"Itu wacana yang berbahaya bagi demokrasi kita. Harus dihentikan karena itu akan memicu kontroversi dan kegaduhan," kata Fadli Zon di Jakarta, Sabtu 23 November 2019.

Batas maksimum kepemimpinan dua periode dan setiap masa jabatan selama 5 tahun, menurut dia merupakan bagian dari konvensi bangsa Indonesia.

"Itu sudah tertuang dalam konstitusi. Nanti kalau diubah, itu akan membuka seperti kotak pandora," kata Fadli seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, kotak pandora tersebut berupa persoalan berantai yang akan muncul ketika wacana itu diakomodasi dalam amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945.

"Orang mau mengubah apa nantinya bisa, nanti malah ada mempertanyakan dasar negara dan lain-lain yang membahayakan negara, kan bisa saja orang minta semacam itu," ujar Fadli.

Sebaiknya, menurut dia, siapa pun mesti menyudahi hal-hal yang bisa menimbulkan kegaduhan dan jangan memicu isu-isu yang membuat bangsa kacau.

Di pihak lain, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memandang perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam membahas wacana penambahan masa jabatan presiden tiga periode.

"Kalau memang ada perubahan, jangan kita terkejut-kejut. Wajar-wajar aja. Tapi syaratnya seperti yang saya katakan, libatkan seluruh elemen publik," kata Paloh di sela-sela perayaan HUT Ke-8 NasDem di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu 23 November 2019.

Menurut Paloh, hal itu penting agar peran partisipatif publik tumbuh. Kalau peran partisipatif itu tumbuh, tidak perlu takut akan perubahan itu. Dalam sistem demokrasi di Indonesia, lanjut dia, bukanlah sistem demokrasi tertutup yang tidak bisa menerima masukan-masukan, termasuk di antaranya masukan untuk mengamandemen UUD 1945.

"Ini sebuah diskursus. Kita harus bisa melihat ini sebagai sesuatu hal yang wajar sekali," ucap Surya seperti dikutip Antara.

Menurut dia, demokrasi Indonesia sebenarnya bukan ortodoks konservatif yang monolib, melainkan dinamis, terbuka, dan orang diberikan kebebasan masing-masing untuk menentukan pilihan.

Oleh karena itu, Paloh berharap masyarakat dan elemen lainnya sebaiknya menganggap wajar jika nantinya akan ada perubahan yang signifikan terkait dengan masa jabatan presiden.

PDI Perjuangan pun turut berkomentar mengenai usulan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan, partainya hanya menginginkan amandemen UUD 1945 terbatas dan tidak sampai membahas soal perubahan masa jabatan presiden. Hasto menilai, masa jabatan presiden dua periode atau sepuluh tahun masih ideal.

"Sikap PDIP soal amandemen terbatas hanya terkait haluan negara mengingat bangsa ini memerlukan direction untuk menuju kepada apa yang kita mimpikan sebagai masyarakat adil dan makmur," kata Hasto di Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu 23 November 2019.

"Kami tidak sependapat karena semangat reformasi telah membatasi jabatan presiden sebanyak 2 periode paling lama," sambung politikus asal Yogyakarta itu.

Hasto menyebut, partai banteng memiliki tugas untuk memperjuangkan amandemen UUD 1945 secara terbatas. Salah satu poin yang diinginkan untuk diamendemen adalah menghadirkan kembali GBHN dalam UUD 1945 tersebut.

"Sebagai pedoman bagi seluruh arah perjalanan bangsa 25 tahun 50 tahun dan 100 tahun kedepan," ucap Hasto.

Reaksi MPR

Bamsoet
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menjadi pembicara kunci dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan Posbakum Golkar di Jakarta, Selasa (12/11/2019). Diskusi tersebut membahas mengangkat tema 'Golkar Mencari Nakhoda Baru'. (Liputan6.co/Johan Tallo)

Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet angkat bicara soal wacana usulan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurut dia, sampai saat ini belum ada pembahasan usulan itu.

"Belum ada formal. Saya membahasnya yang formal saja. Tapi belum ada sampai ke saya dibahas di meja pimpinan. Maupun di dalam gedung ini yang mencanangkan itu," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).

Bamsoet mengatakan pimpinan MPR belum pernah membahas soal usulan agar masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Namun, dia menilai masa jabatan presiden dua kali sudah tepat.

"Saya pribadi menyampaikan dengan tegas bahwa apa yang ada saat ini jabatan presiden dua kali. Dan kemudian melalui pemilihan langsung itu sudah pas dan tepat," ujarnya.

Bamsoet menambahkan, sampai saat ini juga belum ada fraksi yang mengusulkan penambahan masa jabatan. Usulan itu baru disebutkan secara tidak resmi.

Kendati demikian, Bamsoet membiarkan hal itu menjadi aspirasi. Kata dia, aspirasi tidak boleh dibatasi.

"Biarkan saja itu berkembang kita melihat respons masyarakat bagaimana. Ini kan tergantung aspirasi masyarakat. Kalau rakyat menghendaki masa kita bendung," ucapnya.

Sedangkan, Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Riza Patria menegaskan, tidak ada wacana penambahan masa jabatan Presiden dengan melakukan amandemen UUD 1945. Riza mengatakan, masa jabatan presiden dua periode sudah final.

"Sudah kita putuskan dua periode cukup. Jadi tidak ada wacana presiden tiga periode, apalagi nanti bisa seumur hidup. Gak bisa. Sudah putus," ujar Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 21 November 2019.

Riza mengatakan, masa sekarang berbeda dengan era Soekarno yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup. Era reformasi, kata dia, semuanya harus dibatasi.

"Pak Soekarno itu luar biasa. Tapi kan sekarang eranya berbeda. Apalagi sekarang era reformasi. Semuanya harus dibatasi. Kewenangan, kekuasaan, apapun di bumi ini harus dibatasi. Kewenangan jabatan apapun harus dibatasi," jelasnya.

Gerindra memandang masa jabatan presiden lima tahun satu periode dengan maksimal dua periode, sudah paling ideal. Riza menyebut, memang ada wacana ditambah menjadi enam tahun atau mengikuti negara lain yaitu satu periode delapan tahun.

Namun, Riza tidak mengungkapkan partai mana yang mengusulkan perubahan tersebut. Dia bilang, pemikiran itu muncul karena diskusi dengan negara lain.

"Ini kan wacana biasa kan kita selalu men-compare teman-teman dari partai lain. Mungkin melihat, kan sering kita diskusi dengan negara lain," kata Riza.

Sementara, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mempersilahkan MPR mengkaji usulan penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Moeldoko tak mau berkomentar banyak, sebab hal itu masih sekedar wacana.

"Itu kan baru wacana ya. Wacana boleh saja. Negara demokrasi semua pandangan, pendapat terwadahi ya. Itu baru suara-suara dari masyarakat. Kita belum punya sikap," ucap Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (22/11/2019).

Menurut dia, usulan masa jabatan presiden itu nantinya bisa dikaji baik lewat diskusi atau wacana akademik. Sehingga, bisa dinilai usulan tersebut tepat atau tidak diterapkan di Indonesia.

"Mungkin nanti lebih ke bagaimana wacana akademik, setelah itu melalui round table discussion diperluas, akan mengerucut apakah pandangan itu pas atau tidak dan seterusnya," kata Moeldoko.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Arsul Sani menilai, terlalu cepat untuk membicarakan soal penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, saat ini MPR masih terus melakukan audiensi amandemen UUD 1945 keapda masyarakat.

"Di dalam jadwal MPR sendiri di tahun 2020 bahkan 2021 menampung berbagai aspirasi masyarakat yang terkait khususnya dengan rekomendasi dari MPR periode lalu. Mari Kita lihat nanti di ruang publik seperti apa, apakah katakanlah ini mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat atau tidak," ungkap Arsul di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya