Fraksi PSI Minta Pemprov DKI Buka Notulen Rapat TSP Soal Formula E ke Publik

Ara menilai, kejanggalan surat Kepala Dinas Kebudayaan bukan hanya persoalan administrasi, tetapi juga membuktikan rendahnya keseriusan Pemprov DKI dalam menjalankan fungsi mengelola situs cagar budaya.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Feb 2020, 11:03 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2020, 11:03 WIB
Formula E
Suasana balap Formula E 2018/19 putaran 12 yang digelar di Brooklyn Street Circuit, AS, Sabtu (13/7)(AFP/David Dee Delgado)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Anggara Wicitra Sastroamidjojo melihat ada kejanggalan terkait pengakuan Dinas Kebudayaan yang telah mendapatkan rekomendasi Tim Sidang Pemugaran (TSP) terkait penyelenggaraan Formula E.

Karena itu, dia meminta Pemprov DKI Jakarta membuka notulen rapat TSP terkait pembahasan Formula E.

"Saya mempertanyakan proses rapat pembahasan oleh TSP. Jika ada rapat pembahasan, seharusnya ada surat keputusan TSP dan anggota tim membubuhkan tanda tangan di gambar layout sirkuit. Karena itu, kami akan kirim surat kepada Dinas Kebudayaan untuk meminta dokumen-dokumen terkait rapat pembahasan ini. Misalnya absensi, notulensi rapat, surat keputusan TSP dan lampiran-lampirannya," kata Ara, sapaan Anggara kepada wartawan, Sabtu (15/2/2020).

Menurut Ara, di dalam surat Kepala Dinas Kebudayaan tidak ada referensi nomor surat keputusan TSP sebagai bukti telah dilakukan rapat pembahasan. Padahal, Kepala Dinas Kebudayaan mengklaim telah melakukan rapat pembahasan pada 20 Januari 2020.

Kejanggalan, kata di juga terlihat dari rapat pembahasan TSP yang hanya berlangsung 1 hari. Padahal, kata Ara, rapat pembahasan teknis oleh TSP biasanya berlangsung beberapa kali untuk memastikan bahwa rencana konstruksi telah sesuai peraturan.

"Untuk minta IMB gedung yang bukan cagar budaya saja butuh beberapa kali sidang Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) di PTSP. Aneh kalau rapat pembahasan cagar budaya bisa selesai 1 hari. Apalagi, setahu saya, ada beberapa revisi layout sirkuit balapan hingga versi terakhir tanggal 5 Februari yang diajukan ke Setneg," tutur Ara.

Ara menekankan bahwa kejanggalan-kejanggalan surat Kepala Dinas Kebudayaan ini bukan hanya persoalan administrasi, tetapi juga membuktikan rendahnya keseriusan Pemprov DKI dalam menjalankan fungsi mengelola situs cagar budaya.

"Jika melihat surat tersebut, tampak bahwa Pemprov DKI seperti memaksakan pelaksanaan Formula E. Padahal anggarannya ratusan miliar dan bisa dipakai untuk mengatasi banjir dan rehab sekolah yang lebih mendesak," pungkasnya.

Kejanggalan lain dari surat itu adalah surat permohonan dikirimkan oleh Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Padahal, sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 83 Tahun 2019, penyelenggara Formula E adalah PT Jakarta Propertindo. Menurut Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 1513 tahun 2019, Dispora ditunjuk sebagai sekretaris Panitia Pendukung Penyelenggaraan Formula E 2020.

"Ini tidak wajar. Di mana-mana kalau ada acara musik atau olahraga, biasanya penyelenggara acara atau event organizer (EO) yang minta izin ke Pemprov DKI. Jadi, seharusnya yang minta izin adalah Jakpro sebagai penyelenggara, bukan Dispora," tutupnya.

 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Klaim DKI Kantongi Rekomendasi TSP

Resmi, Kawasan Monas Bakal Dijadikan Lintasan  Formula E
Petugas membersihkan rumput di kawasan Monumen Nasional (Monas) yang akan dijadikan arena lintasan balapan Formula E 2020, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menggelar ajang bertaraf internasional Formula E di kawasan Monas, Jakarta Pusat. (merdeka.com/Imam Buhori)

Sementara itu, Pelaksanaan Formula E masih menyisakan perdebatan, antara pantas tidaknya digelar di kawasan Monumen Nasional (Monas). Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi DKI Jakarta Mundardjito bahkan mengaku tidak tahu ada rekomendasi pelaksanaan Formula E di Monas.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kebudayaan Iwan H Wardhana mengatakan, saran atau masukan dilakukan oleh Tim Sidang Pemugaran (TSP) bukan TACB. Perbedaan keduanya menurut Iwan ada dalam kapasitas dan keahlian.

Anggota yang masuk ke dalam TACB, kata Iwan, wajib memiliki sertifikasi nasional mengenai cagar kebudayaan sedangkan TSP tidak ada kewajiban memiliki itu.

"Memang dia (Mundardjito) sebagai anggota tim ahli cagar budaya. Mestinya yang memberikan advisory Formula E bukan tim ahli cagar budaya, tapi tim sidang pemugaran," kata Iwan di Balai Kota, Kamis (13/2)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya