Liputan6.com, Jakarta - Dikertur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menyebut Omnibus Law RUU Cipta Kerja menyerupai cara VOC atau persekutuan dagang Belanda pada zaman kolonial. Sebab, dengan RUU ini semua dibuat kekuasaan yang terpusat dengan sosok utamanya adalah presiden.
"Ini kan jadi sentralisasi, terutama Presiden, seolah menjadi sumber hukum dari berusaha di Indonesia. Ini sebenarnya sudah menyerupai VOC itu sendiri, untuk kemudian melakukan semua itu harus di tangan satu pihak dan melayani korporasi semangatnya," kritik Nur saat diskusi RUU Cipta Kerja bersama Smart FM di The Maj, Senayan, Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Karenanya, dia menilai jika tujuan Omnibus Law adalah untuk kemudahan investasi, maka jangan sebut hal itu RUU Cipta Kerja.
Advertisement
"Jangan kemudian seolah ingin menciptakan lapangan kerja, seolah berpihak ke rakyat, padahal sebenarnya isinya hanya mengakomodir kepentingan pebisnis besar," tegas Nur.
Seperti diketahui, kelompok pekerja utamanya buruh menolak isi dari RUU Cipta Kerja. Salah satunya yang ditolak adalah soal skema upah tuntutan yang dinilai makin mempersulit hajat hidup pekerja.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Soroti Skema Upah
Menurut paparan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), buruh berpotensi kehilangan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kerja (UMSK). Karena dalam RUU Cipta Kerja skema upah menjadi sentral mengikuti minimum provinsi (UMP).
Dengan skema tersebut, buruh yang memiliki upah lebih tinggi dengan skema UMK dan UMSK akan kehilangan pendapatannya yang umumnya memiliki angka lebih besar dari UMP.
Advertisement