SAS Institute Yakini RUU Cipta Kerja Bisa Pulihkan Ekonomi Pasca Covid-19

Akibat covid-19, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional turun dari 5,3% menjadi hingga 2,3%. Bahkan bisa mencapai minus 0,4% untuk skenario sangat berat.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 22 Apr 2020, 11:32 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2020, 13:55 WIB
Ilustrasi Omnibus Law
Ilustrasi Omnibus Law. Liputan6.com/Abdillah

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute Imdadun Rahmat meyakini Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dapat menjadi solusi pemulihan ekonomi Indonesia yang terdampak pandemik global virus corona atau covid-19.

Akibat covid-19, proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional turun dari 5,3% menjadi hingga 2,3%. Bahkan bisa mencapai minus 0,4% untuk skenario sangat berat. Hal ini diakibatkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi akibat corona.

"Itu masuk akal. Kasat mata sudah terlihat, PHK naik tajam, pengangguran otomatis meningkat. APBN kita berdarah-darah untuk menangani Covid-19 dan program jaring pengaman sosial agar rakyat kecil tetap bisa makan," kata  Imdadun Rahmat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (17/4/2020).

Menurutnya, dengan kondisi tersebut yang terus terjadi di berbagai daerah, sebagai dampak langsung pandemik Covid-19, Omnibus Law bisa menjadi solusi, terutama untuk memudahkan investasi setelah Covid-19 berakhir.

"Indonesia ini iklim investasinya terkenal buruk. Recovery ekonomi pasca covid-19 sangat berat. Jadi secara teoritis, ya bisa jadi jawaban," ujar dia.

RUU Omnibus Law Ciptaker dirancang untuk memberikan kemudahan dan perlindungan UMKM (usaha menengah kecil dan mikro) serta koperasi, kemudian untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan peningkatan serta perlindungan kesejahteraan pekerja.

"Dalam konteks demikian, kita berharap RUU ini dibahas dengan sungguh-sungguh, memperhatikan kepentingan semua pihak termasuk pekerja, dan digunakan dengan benar ke depannya," kata Imdad.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Semakin Sulit

Imdad menilai, jika pandemi berlanjut hingga Juli, jumlah pekerja yang di-PHK akan semakin membesar. Sehubungan dengan itu, kualitas kehidupan masyarakat dengan sendirinya terus merosot. Hak untuk hidup layak masyarakat sulit terpenuhi.

"Banyak perusahaan gulung tikar atau setidaknya berhenti sementara. Yang memprihatinkan, korban terbesarnya UMKM yang memang tidak memiliki cadangan modal kuat. Oleh karena itulah, birokratisasi dan ekonomi biaya tinggi harus dikurangi," tegasnya.

Selain itu, aturan tentang membangun usaha, perizinan, investasi, aturan kerja, dan pajak perlu diperbaiki. Jika tidak, bisa dipastikan pemerintah dan swasta akan sangat kesulitan keluar dari resesi ekonomi akibat pandemi.

"Banyak persoalan muncul karena aturan-aturan lama tumpang tindih, birokratis, mahal, dianggap menyulitkan wirausahawan yang mau membangun usaha, dan lain sebagainya. Bertahan begini terus, tanpa terobosan, akan sulit. Secara common sense kita dapat melihat ini, tidak hanya ahli ekonomi," paparnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya