Analisis Lapan soal Pemicu Banjir Bandang di Luwu Utara Sulsel

Sehari sebelum banjir, hujan turun secara persisten sejak siang hari hingga esok paginya, Senin 13 Juli 2020 di Luwu Utara.

oleh Arie Nugraha diperbarui 19 Jul 2020, 17:37 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2020, 17:37 WIB
Dilanda Banjir Bandang, Begini Kondisi Luwu Utara yang Porak Poranda
Penduduk desa berjalan melalui daerah banjir di desa Radda di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan (14/7/2020). Akibat musibah banjir bandang ini setidaknya sekitar 15 orang tewas dan belasan lainnya dinyatakan hilang. (AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Atariksa Nasional (PSTA-Lapan) menerbitkan hasil anasilis pemicu banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang terjadi pada 13 Juli 2020.

Sehari sebelum terjadi bencana tersebut hujan turun secara persisten sejak siang hari hingga esok paginya, Senin 13 Juli 2020.

Menurut Koordinator Tim Reaksi dan Analisis Kebencanaan (TREAK) PSTA-Lapan Wendi Harjupa, hujan lebat bahkan turun pada dini hari Senin 13 Juli. Hujan dengan intensitas sedang kembali turun pada siang hingga sore harinya.

"Akumulasi hujan harian berdasarkan pantauan satelit hujan GSMap pada 13 Juli 2020 mencapai 60 mm (BMKG:56 mm)," ujar Wendi dalam keterangan resminya soal banjir Luwu Utara, Bandung, Minggu (19/7/2020).

Berdasarkan prediksi cuaca Satellite-Based Disaster Early Warning System (SADEWA)-Lapan, lanjut dia, hujan yang turun secara persisten itu terkonsentrasi di sekitar Teluk Bone. Penguatan monsun timuran yang mentranspor kelembapan, terjadi karena penghangatan suhu permukaan laut di Teluk Bone dan pembentukan sirkulasi tekanan rendah di Selat Makasar.

Wendi menjelaskan bentuk garis pantai yang cekung, turut berperan mengonsentrasikan hujan diurnal di sekitar Teluk Bone (Luwu).

Padahal, seharusnya, Sulawesi Selatan mengalami puncak hujan pada April dan Desember.

"Menunjukkan kondisi anomali musim yang disebut dengan kemarau basah," ucap Wendi soal banjir Luwu Utara.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kemarau Basar dan Penyebabnya

Wendi menuturkan kemarau basah pada tahun ini dipicu oleh tiga faktor utama. Pertama, fenomena daerah pertemuan massa udara antartropis atau yang dikenal Intertropical Convergence Zone (ITCZ) ganda yang sering terbentuk sejak Mei hingga Juli.

Selanjutnya, kata Wendi, aktivitas gelombang atmosfer yang menjalar dari utara ke selatan yang berkaitan dengan aktivitas musim panas bernama Boreal Summer Intra-seasonal Oscillation (BSISO) di Samudra Hindia pada 12-13 Juli. Ini mempengaruhi pembentukan konvergensi luas yang memanjang dari Samudra Hindia hingga wilayah Sulawesi.

"Ketiga, pemanasan suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia yang terkonsentrasi di Laut Maluku, Arafuru, dan Teluk Bone," terang Wendi.

Sulsel Waspada hingga Mid Juli

Prediksi musim KAMAJAYA-Lapan menunjukkan, Sulawesi masih harus waspada terhadap potensi kejadian ekstrem hingga pertengahan Juli.

Pada Agustus wilayah Sulawesi akan lebih kering namun kembali basah yang berpotensi ekstrem pada bulan September 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya