Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, TNI dibutuhkan untuk menangani aksi-aksi terorisme.
Hal ini disampaikannya saat berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (29/7/2020) kemarin.
Baca Juga
"Inilah pro dan kontra. Komprominya, terorisme pidana, tetapi karena banyak yang tak cuma pidana dan hukum, maka dicantumkanlah TNI bisa ikut tangani aksi terorisme, dan keterlibatan TNI diatur Perpres," kata Mahfud dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (30/7/2020).
Advertisement
"Rancangannya sudah jadi, sudah ke DPR, perdebatan cukup seru. Kita juga sudah bicara dengan sejumlah kalangan, termasuk teman-teman LSM. Bahwa teror itu bukan urusan hukum semata, tidak semuanya diselesaikan hanya oleh polisi," sambungnya.
Dia mengklaim, semua pihak telah memahami pertimbangan pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme di Indonesia. Saat ini tinggal diharmoniskan saja semua masukan tersebut.
"Akhirnya semuanya memahami. Saya sudah ditugaskan Presiden mengharmoniskan. Tinggal beberapa yang perlu diperbaiki. Dalam waktu tidak lama DPR segera memproses," ungkap Mahfud.
Mahfud optimistis, TNI akan bersikap professional saat diberi tanggung jawab menangani terorisme.
"Kalau kita lihat, akan sangat rugi kalau ada pasukan hebat tidak digunakan untuk mengatasi terorisme. Denjaka, Kopassus dan pasukan elite lainnya, punya kemampuan penanggulangan terorisme, tentu sesuai dengan skala, jenis kesulitan, dan situasi tertentu," pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penolakan Perpres TNI Tangani Terorisme
Sebelumnya, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mendapat penolakan dari aktivis dan tokoh masyarakat. Mereka pun membuat petisi bersama masyarakat sipil.
“Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Mengganggu Criminal Justice System, Mengancam HAM dan Demokrasi,” kata Direktur Imparsial sekaligus juru bicara Petisi, Al Araf, Rabu (27/5/2020).
Dijelaskannya, 4 Mei 2020 lalu pemerintah akhirnya menyerahkan draf Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, sebelum nantinya disahkan atau tidak oleh Presiden.
“Kami menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power,” tegas Al Araf.
“Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap ”security of person” lanjutnya.
Lebih jauh Al Araf beserta aktivis dan tokoh masyarakat yang menandatangani petisi menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam draf peraturan presiden terlalu berlebihan, sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri.
“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perpres). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan ‘operasi lainnya’,” papar Al Araf.
Dengan Pasal ini menurutnya, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia. Dalam kesempatan yang sama ia mengingatkan, secara konsepsi, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43 UU nomer 5 tahun 2018), yang kewewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan.
“Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga. Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum,” ungkapnya.
“Kami menilai, rancangan Perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia,” timpalnya.
Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dikhawatirkan dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum.
Advertisement