Liputan6.com, Jakarta - Irjen Napoleon menegaskan, tidak menerima uang Rp 7 miliar dari Djoko Tjandra untuk mengurus penghapusan status red notice. Hal itu disampaikannya usai menjalani sidang praperadilan atas status tersangka yang disematkan padanya di kasus tersebut.
"Tadi saya sempat melihat itu seperti yang diberitakan di media selama ini, rupanya tidak betul sepenuhnya. Mungkin Djoko Tjandra sudah kasih orang duit," tutur Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/9/2020).
Kuasa Hukum Napoleon, Gunawan Raka menambahkan, dalam alat bukti yang digunakan penyidik memang ada rentetan terkait uang Rp 7 miliar.
Advertisement
"Uangnya tapi nggak ada, hanya ada tanda terima dari Djoko, yang terima Tommy. Nah tidak ada ini," jelas Gunawan.
Termasuk juga Tommy yang disebut-sebut menjadi perantara dalam mengerahkan uang kepada Napoleon. Gunawan menegaskan hal tersebut tidak benar.
"Ceritanya tidak ada, ceritanya stop, pokoknya ceritanya stop, duit itu diserahkan dari Djoko kepada Tommy, tapi di BAP-nya Djoko nggak ada omong-omongan ngasih, itu adanya di urusan untuk ngurus red notice," ujarnya.
Â
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perjalanan Dugaan Suap Rp 7 Miliar untuk Irjen Napoleon dari Djoko Tjandra
Tim Divisi Hukum Mabes Polri mengungkap proses kronologi kasus suap yang dilakukan oleh Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte guna menghapus red notice terhadap Djoko Tjandra.
Tim Divisi Hukum Mabes Polri membeberkan kronologi suap tersebut terjadi pada bulan April sampai awal Mei yang dilakukan secara bertahap, sampai bertemu kesepakatan Rp 7 miliar antara Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte untuk menghapus red notice Djoko Tjandra.
Menurut Tim Divisi Hukum Mabes Polri, kejadian bermula saat tersangka lain dalam kasus ini, Tommy Sumardi datang ke ruangan Napoleon pada 13 April 2020. Pertemuan tersebut dilakukan untuk membicarakan terkait red notice.
"Setelah menerima Tommy Sumardi, pemohon memerintahkan saksi KBP. Thomas Arya untuk mengadakan rapat yang dilakukan tanpa undangan dan notulen rapat," kata tim Divisi Hukum Mabes Polri dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9).
14 April 2020
Setelah rapat, Napoleon disebut menerbitkan Berita Faksimile ke Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung RI. Faksimile yang ditandatangani pada 14 April 2020 memiliki nomor surat NCB-DivHI/Fax/529/IV/2020 perihal konfirmasi status red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan.
"Faksimile tanggal 14 April 2020 inilah yang sebenarnya mengawali terjadinya tindak pidana tersebut, dikarenakan pemohon selaku Kadiv Hubinter jelas-jelas mengetahui bahwa pada 2019 red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra sudah expired, karena Divhubiter terkoneksi dengan system di Lyon Perancis," ujar Tim Divisi Hukum.
"Di samping itu pula pada tahun 2014 red notice tersebut memang sudah di grounded mengapa Divhubinter harus membuat Faksimili tersebut untuk bertanya khusus untuk perkara Joko Soegiarto Tjandra saja tidak untuk untuk mengurus Red Notice lain," lanjutnya.
16 April 2020
Kemudian, Anna Boentaran (istri Joko Tjandra) diskemakan membuat surat permohonan kepada pemohon perihal permohonan pencabutan interpol red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra.
"Dengan dalil surat permohonan itu, Napoleon disebut menerbitkan surat-surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham. Justru di sinilah, ujar Tim Divisi Hukum Mabes Polri, terbuka konsistensi Napoleon untuk membantu secara pribadi Djoko Tjandra," kata dia.
Kemudian, Tim Divisi Hukum Mabes Polri menyatakan bahwa dari April hingga Mei 2020, Tommy Sumardi menyerahkan uang Rp 7 miliar kepada Napoleon secara bertahap. Uang tersebut diberikan dalam bentuk Dolar Amerika Serikat dan Dolar Singapura.
"Perbuatan pemohon pada akhirnya dalam rangka memberikan prestasi atas suap yang diterimanya adalah berdasarkan Surat Kadiv Hubinter kepada Dirjen Imigrasi u.p Dirwasdakim Nomor: 1036/V/2020/NCB Div HI tanggal 5 Mei 2020 bertujuan menguntungkan pihak Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan," kata Tim Divisi Hukum Mabes Polri.
1 September 2020
Sementara, Termohon menyampaikan pada persidangan bahwa penyidikan perkara atas nama Pemohon telah disusun dalam berkas Perkara Nomor: BP/BP.10.04/IX/2020 Tipikor tunggal 1 September 2020, dan Termohon telah mengirimkannya kepada Jaksa Penuntut Umum berdasarkan Surat Nomor B/169/IX/RES.,2/2020/Tipikor tanggal 1 September 2020.
"Bahkan Kejaksaan Agung RI telah memberikan petunjuk (P-19) melalui Surat Nomor B.1029/5.3/1.1/09/2020 tanggal 11 September 2024 dan termohon telah memperbaiki sesuai dengan petunjuk Jaksa Penuntut Umum serta telah mengirimkannya Kembali berdasarkan Surat Nomor B/177 IX/RES 32/2020 V Tipikor tanggal 21 September 2020," kata mereka.
"Bahwa pada penyidikan perkara aquo Laporan Polisi Nomor LP/A/43/VIII/2020 tanggal 5 Agustus 2020, penutupan Pemohon sebagai Tersangka sudah didasarkan pada Alat Bukti sebagaimana penjelasun termohon diatas dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU XII/2014 tanggal 24 April 2015. Maka haruslah dinyatakan SAH," lanjutnya.
Advertisement