Koalisi Masyarakat Sipil Endus Dugaan Pelanggaran HAM di Kasus Penembakan FPI

Koalisi Masyarakat Sipil menemukan banyak kejanggalan terkait kasus penembakan di Tol Jakarta-Cikampek yang menewaskan 6 anggota FPI saat mengawal rombongan Rizieq Shihab.

oleh Yopi Makdori diperbarui 09 Des 2020, 10:50 WIB
Diterbitkan 09 Des 2020, 10:50 WIB
Jenazah Laskar FPI Dibawa ke Rumah Duka di Petamburan
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar Front Pembela Islam (FPI) memasuki Jalan KS Tubun, Jakarta, Selasa (8/12/2020). Sebanyak 6 jenazah laskar FPI yang baku tembak di Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12) lalu diserahkan kepada pihak keluarga untuk disalatkan. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mengendus adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh polisi di Tol Jakarta-Cikampek (Japek) KM 50 pada Senin dini hari 7 Desember 2020.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Muhammad Hafiz menuturkan, bahwa terdapat banyak indikasi yang mengarah ke pelanggaran HAM. Misalnya saja terkait urgensi polisi membuntuti rombongan Pemimpin FPI Rizieq Shihab hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa.

"Koalisi menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara. Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan," kata Hafiz dalam siaran pers tertulis, Rabu (9/12/2020).

Hafiz juga menilai bahwa alasan polisi memuntahkan peluru ke enam laskar FPI bersifat umum, yaitu karena ada penyerangan dari anggota FPI. Menurutnya jika memang ada senjata api dari pihak FPI, mengapa tidak dilumpuhkan saja?.

"Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula. Kejanggalan lainnya adalah CCTV di lokasi kejadian yang tidak berfungsi," urai Hafiz.

Kronologi Berbeda

Kejanggalan juga ditemukan pada kronologis kejadian yang berbeda. Kronologis peristiwa yang disampaikan kepolisian dan FPI saling bertolak belakang.

"Dalam kasus pembunuhan YBD oleh polisi tahun 2011 yang ditangani LBH Jakarta misalnya, polisi berkilah YBD melawan petugas sehingga harus ditembak. Belakangan hasil otopsi menunjukkan bahwa tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli oleh polisi dan pada akhirnya anggota kepolisian yang melakukan pembunuhan dihukum penjara, tapi sangat ringan," paparnya.

Hafiz juga menjelaskan, saat Operasi Pekat jelang Asian Games 2018 silam, kepolisian menembak 77 orang hingga tewas. Ketika diautopsi, ternyata asal tembakan dari belakang. Menurutnya, tindakan penembakan tersebut patut diragukan kegentingannya.

Menurut Hafiz, penggunaan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut.

Atau juga ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya