Liputan6.com, Jakarta Kementerian Sosial mengumumkan bahwa nama Presiden RI ke-2 Soeharto masuk dalam daftar 10 usulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025. Kabar ini disambut pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Pihak yang mendukung menekankan jasa-jasa Soeharto dalam pembangunan Indonesia, sementara penentang menyoroti pelanggaran HAM berat dan korupsi di masa pemerintahannya.
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menjelaskan bahwa usulan tersebut berasal dari masyarakat melalui berbagai jalur, termasuk seminar dan masukan dari sejarawan serta tokoh daerah. Proses pengusulan, menurutnya, melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga pusat.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, menyatakan bahwa usulan tersebut wajar dan mengajak masyarakat untuk fokus pada prestasi Soeharto, bukan hanya kekurangannya. Ia menekankan pentingnya menghargai jasa para pemimpin pendahulu dalam membangun Indonesia, meskipun mengakui adanya berbagai pandangan terkait figur Soeharto.
Advertisement
Namun, kontroversi ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak, termasuk keluarga korban pelanggaran HAM, menolak keras pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Mereka menganggap hal tersebut sebagai pengabaian atas penderitaan yang dialami banyak orang di masa pemerintahannya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menawarkan solusi untuk menyelesaikan polemik ini. Ia mengajak semua pihak untuk melakukan dialog kebangsaan yang terbuka dan menyeluruh.
"Semua harus ada dialog dan titik temu. Perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tetapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," kata Haedar Nashir di Yogyakarta, Selasa (23/4/2025), yang dikutip dari Antara.
Haedar mencontohkan kasus Presiden Soekarno yang sempat tertunda mendapat gelar Pahlawan Nasional karena perdebatan serupa. Ia juga menyebut tokoh-tokoh lain seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka yang mengalami kesulitan dalam proses pengusulan gelar pahlawan.
Ia berharap polemik Soeharto dapat menjadi pembelajaran kolektif agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam konflik yang kontradiktif di masa depan.
Melihat Tokoh Bangsa Secara Utuh
Â
Haedar menekankan pentingnya melihat tokoh bangsa secara utuh dan menjadikan proses penilaian kepahlawanan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional. "Ke depan, coba bangun dialog untuk rekonsiliasi. Lalu, dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pembelajaran dari jatuhnya tokoh-tokoh besar karena godaan kekuasaan. "Saya selalu berpesan bahwa jatuhnya setiap tokoh bangsa yang besar itu karena godaan kekuasaan yang tak berkesudahan. Nah, di sinilah semua harus belajar tentang nilai-nilai kepahlawanan bahwa tokoh bangsa saat ini dan ke depan harus sudah selesai dengan dirinya," tuturnya.
Advertisement
Daftar Usulan Pahlawan Nasional 2025
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Mira Riyati Kurniasih, mengungkapkan bahwa selain Soeharto, terdapat sembilan nama lain yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Beberapa nama yang kembali diusulkan antara lain Abdurrahman Wahid, Bisri Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, dan Abbas Abdul Jamil. Sementara itu, terdapat empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, dan Yusuf Hasim.
Proses pengusulan dan penetapan gelar Pahlawan Nasional masih terus berlanjut. Perdebatan seputar Soeharto menunjukkan betapa kompleksnya menilai tokoh-tokoh sejarah yang memiliki kontribusi besar namun juga kontroversial. Dialog dan rekonsiliasi nasional menjadi kunci untuk menyelesaikan polemik ini dan membangun pemahaman sejarah yang lebih komprehensif.
Infografis
Advertisement
