18 Desember 1771: Perang Besar Kerajaan Blambangan Melawan Invasi VOC

Perang ini mengubah peta demografi di kawasan Blambangan dan sekitarnya, dari yang awalnya dihuni mayoritas etnis Jawa Osing menjadi etnis suku Madura.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 18 Des 2020, 07:33 WIB
Diterbitkan 18 Des 2020, 07:33 WIB
Ilustrasi perang Puputan. (Wikimedia)
Ilustrasi perang Puputan. (Wikimedia)

Liputan6.com, Jakarta - Tidak banyak yang mengetahui adanya satu pertempuran besar di Nusantara yang membuat Belanda sangat kewalahan. Bukan Perang Jawa atau pun Perang Aceh, melainkan Puputan Bayu, perang di Blambangan atau yang kini dikenal dengan Banyuwangi.

Berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang lahir pada 1295 atau dua tahun setelah Majapahit berdiri. Raja Majapahit Raden Wijaya memberikan wilayah tersebut kepada Arya Wiraraja alias Adipati Sumenep dengan ibu kota Lumajang, sebab telah membantu perjuangan mendirikan Majapahit.

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 13 September 2010, Kerajaan Blambangan terekam mampu bertahan hingga abad ke-18, setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15. Namun, riwayatnya tidak pernah disebut dalam sejarah nasional Indonesia.

Hanya sedikit sejarawan yang meneliti Blambangan, peninggalannya pun bisa dihitung dengan jari. Riwayat kerajaan ini mayoritas berupa cerita rakyat yang kental dengan legenda atau mitos, seperti kisah Damarwulan Menakjingga yang kerap dibawakan dalam seni pertunjukan.

Peneliti dan dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, Edi Burhan Arifin mengatakan, bukti-bukti seperti prasasti Kerajaan Blambangan terbilang minim, sehingga silsilah para pemangku kekuasaannya pun nyaris tak terdeteksi.

"Kerajaan Blambangan adalah kerajaan terakhir yang ditaklukkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda dengan perlawanan paling gigih," tutur Edi melihat kembali historis Kerajaan Blambangan.

Eksistensi Kerajaan Blambangan berawal dari sebutan Balumbungan yang berarti lumbung. Blambangan merupakan pusat logistik yang kaya sumber daya alam dengan wilayah terbentang dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Lumajang.

Atas dasar itu, Kerajaan Blambangan menjadi rebutan. Hal itu bisa dilihat dari upaya penaklukan atau pencaplokan Blambangan oleh banyak pihak. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Mataram Islam, hingga VOC.

Invasi VOC 1767

Tahun 1743, Raja Mataram Pakubuwana ll menyerahkan Blambangan kepada VOC sebagai imbalan telah merebut ibu kota Kartasura dari tangan pemberontak. Hanya saja, VOC belum melakukan pendudukan lantaran masih terseret konflik Mataram hingga 1757.

Invasi atau ekspedisi militer ke Blambangan baru dilakukan pada Februari 1767. VOC juga menyertakan sekutunya dari Kerajaan Mataram, Pasuruan, Banger, Surabaya, dan Madura.

Awalnya, kedatangan pasukan ini disambut hangat rakyat Blambangan yang ingin melepaskan diri dari Bali. Mereka menggantungkan masa depan lebih baik kepada VOC. Kemudian, terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap orang Bali, terutama oleh orang-orang Bugis di Blambangan. Cukup satu bulan VOC dengan mudah menduduki Blambangan.

Euforia kemenangan VOC pun berlangsung singkat. Empat bulan setelah menjalankan pemerintahan di Blambangan, muncul pemberontakan yang dipimpin Wong Agung Wilis, saudara tiri dan mantan patih raja terakhir Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat.

Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun rupanya itu siasat belaka. Dia lantas memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang nantinya digunakan menyerang VOC.

Rakyat Blambangan nyatanya menahan murka. Terlebih, orang-orang asing itu bersikap kasar dan semena-mena, dan memicu bentrokan fisik di sejumlah tempat. Pemberontakan Wilis pun berlangsung setahun dan berakhir dengan penangkapannya pada 1768. Wilis dan pengikutnya kemudian dibuang ke Pulau Banda.

Dalam buku berjudul Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa yang ditulis Benedict R Anderson, dituliskan kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi sepeninggal Wilis. Bahan pangan milik penduduk dirampas, petani dipaksa menanam padi yang hasilnya harus diserahkan kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa tanpa upah.

Kondisi tersebut membuat warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri. Yang menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati yang sebelumnya ikut dalam pemberontakan Wilis pun nyatanya ada di sana bersama para pengikutnya yang masih tersisa.

Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, ribuan rakyat Blambangan lantas berbondong-bondong meninggalkan desanya untuk bergabung.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Perang Habis-habisan 1771

Mengenal Lebih Dekat Suku Osing Asli Banyuwangi
Suku Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi, karena masyarakatnya hidup pada pemerintahan kerajaan Blambangan.

Pemberontakan terbesar pun meletus di bawah kepemimpinan Susuhunan Jagapati yang membangun benteng di Bayu. Rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan atau pertempuran habis-habisan. Kerajaan Mengwi turut mengirimkan bantuan pasukan.

Pada 18 Desember 1771, tepat hari ini 249 tahun silam, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Ini merupakan puncak dari peperangan yang sudah berlangsung sejak awal Agustus 1771 yang dikenal dengan nama Puputan Bayu.

Para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Prajurit Blambangan di bawah kepemimpinan Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh hasil rampasan dari tentara VOC.

Menghadapi itu, VOC mengerahkan 10 ribu personel dilengkapi senjata canggih termasuk alat-alat berat. Mereka menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.

Kemudian, terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC.

Saat itulah pasukan VOC banyak yang terperosok dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas. Belanda menyatakan serangan ini sebagai de dramatische vernietiging van Compagniesleger (kehancuran dramatis pasukan kompeni).

Pertempuran berakhir dengan kemenangan pasukan Jagapati. Pemimpin VOC, Vaandrig Schaar dan Comet Tinne, tewas. Ratusan prajurit Madura yang dibawa VOC juga nyaris tanpa sisa.

Perang Tersadis Nusantara

Kemenangan Blambangan dibalas VOC setahun kemudian. Serdadu Belanda mendatangkan ribuan prajurit tambahan dari Madura, Surabaya, dan Besuki. VOC juga mendirikan benteng di dekat Bayu untuk mengontrol pasukan Jagapati.

Lumbung-lumbung padi milik pasukan Jagapati dibakar hingga kelaparan menyerang, disusul kematian, dan penyakit mewabah. Pasukan Jagapati terus berkurang. Oktober 1772, pasukan Jagapati dipatahkan.

Pangeran Jagapati tewas dalam pertempuran tersebut. Tubuh dan kepala para prajurit Blambangan yang tewas digelantungkan di pepohonan sekitar benteng. Menurut Sejarawan Sri Margana, ini adalah peperangan tersadis dalam sejarah Indonesia.

Benedict R Anderson dalam bukunya mengatakan, akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, atau pun menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan diri dari VOC. Angka tersebut dianggap sangat besar karena jumlah penduduk Blambangan waktu itu 65.000 orang.

Tanggal terjadinya peperangan ini, 18 Desember, pada akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi karena menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah tersebut.

Perang ini juga mengubah peta demografi di kawasan Blambangan dan sekitarnya. Dari yang awalnya dihuni mayoritas etnis Jawa Osing menjadi etnis suku Madura. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang.

Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga. Sebelum perang berlangsung, Blambangan berpenduduk 65 ribu jiwa, yang 60 ribu orang telah meninggal dunia akibat perang puputan Bayu. Penduduk Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.

Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan ketika perang. Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk terutama masuknya etnis Madura setelah perang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya