Puputan Bayu, Perang Paling Mematikan yang Melahirkan Banyuwangi

Akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, ataupun menyingkir ke hutan.

oleh Rinaldo diperbarui 18 Des 2018, 08:16 WIB
Diterbitkan 18 Des 2018, 08:16 WIB
Ilustrasi perang Puputan. (Wikimedia)
Ilustrasi perang Puputan. (Wikimedia)

Liputan6.com, Jakarta - Bukan Perang Jawa atau Perang Aceh yang paling meninggalkan trauma mendalam bagi Belanda selama menduduki wilayah Nusantara. Tak banyak yang mengetahui satu pertempuran besar yang konon membuat Belanda sangat kewalahan. Namanya Puputan Bayu, perang di Blambangan atau yang kini dikenal dengan nama Banyuwangi.

Dalam buku berjudul Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan kebudayaan Jawa yang ditulis Benedict R Anderson, akibat perang ini sekitar 60.000 rakyat Blambangan (Banyuwangi) gugur, hilang, ataupun menyingkir ke hutan untuk menyelamatkan diri dari VOC. Angka tersebut dianggap sangat besar karena jumlah penduduk Blambangan waktu itu 65.000 orang.

Penyebab terjadinya Puputan Bayu ini lantaran warga Blambangan geram dan tak tahan dengan aturan penjajah Belanda yang mencekik kehidupan mereka.

Belanda mempekerjakan paksa warga dan tidak menyediakan makanan bagi mereka. Kesengsaraan, kelaparan, serta serba hidup kekurangan yang kemudian memicu penyakit dan berakhir pada kematian yang sangat tinggi.

Kalbe kenalkan destinasi di Banyuwangi ke media. (foto: dok. Kemenpar)

Ekpedisi militer Belanda di Blambangan resmi dimulai pada 27 Februari 1767 dengan mendirikan benteng pertahanan di Panarukan. Dari situ, pasukan VOC bergerak melalui jalur darat di bawah pimpinan Letnan Erdwijn Blanke dari Semarang. Dalam 22 hari, mereka tiba di Banyualit yang sudah termasuk wilayah Blambangan.

Kedatangan orang-orang VOC beserta para sekutunya ternyata membuat rakyat Blambangan marah. Terlebih, orang-orang asing itu bersikap kasar dan semena-mena, yang memicu bentrokan fisik di sejumlah tempat.

Pasukan VOC mampu merebut satu demi satu wilayah di Blambangan. Sementara rakyat Blambangan terus berusaha menghambat pergerakan musuh meski sering mengalami kegagalan, termasuk perlawanan yang dipimpin Pangeran Puger.

Pangeran Puger adalah putra Wong Agung Wilis, penguasa Blambangan saat itu. Wilis sebenarnya orang yang ditunjuk VOC memimpin Blambangan, namun rupanya itu siasat belaka. Ia memanfaatkan posisinya sebagai penguasa untuk menghimpun kekuatan yang nantinya digunakan menyerang VOC.

Wilis merupakan anak pemimpin Blambangan sebelumnya, yakni Pangeran Danureja, dengan seorang putri dari Kerajaan Mengwi di Bali. Selain bisa menyatukan kekuatan Blambangan dan Mengwi, Wilis juga dibantu orang-orang Madura, Bugis, dan kaum pedagang Cina, berkat relasinya yang sangat luas.

Pada Oktober 1767, Wilis bersiap menyerang. Di Ulu Pampang, ia membagi wilayah pertempuran menjadi dua bagian. Sebagian dipimpin Pangeran Jagapati dan sebagian lagi dipimpin langsung oleh dirinya.

Kendati telah menghimpun kekuatan, pasukan Blambangan di bawah pimpinan Wong Agung Wilis tetap belum mampu mengungguli Belanda yang dipersenjatai alat-alat mutakhir. Wilis dan pengikutnya akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Banda, Kepulauan Maluku, pada 1768.

Sepeninggal Wilis, kesewenang-wenangan VOC terhadap rakyat Blambangan semakin menjadi-jadi. Bahan pangan milik penduduk dirampas, petani dipaksa menanam padi yang hasilnya harus diserahkan kepada Belanda, kaum muda dipekerjakan paksa tanpa upah, dan seterusnya.

Kondisi ini membuat banyak warga pergi dari kampungnya untuk menyelamatkan diri. Yang menjadi tempat tujuan adalah suatu daerah bernama Bayu (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi) yang terletak di lereng Gunung Raung. Pangeran Jagapati juga datang ke tempat ini bersama para pengikutnya yang masih tersisa.

Mendengar Pangeran Jagapati berada di Bayu, semakin banyak rakyat Blambangan yang berdatangan ke tempat itu. Mereka yakin, Pangeran Jagapati mampu melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis untuk menghentikan kekejian Belanda.

Di bawah komando Pangeran Jagapati, rakyat Blambangan sepakat untuk melakukan perang puputan atau pertempuran habis-habisan. Mereka memilih gugur di medan laga ketimbang harus menyerah kepada VOC.

 

Puputan Bayu Pecah

Pada 18 Desember 1771, tepat hari ini 247 tahun silam, seperti dituliskan Lekkerkerker dalam catatannya yang menjadi rujukan utama dalam penulisan sejarah tentang Puputan Bayu, ribuan prajurit Blambangan bergerak menuju arena pertempuran. Ini merupakan puncak dari peperangan yang sudah berlangsung sejak awal Agustus 1771.

Para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Prajurit Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara VOC.

Sementara pihak VOC mengerahkan 10 ribu personel, dilengkapi senjata canggih termasuk alat-alat berat. Mereka juga menghabiskan 8 ton emas untuk biaya perang. VOC dalam hal ini sebenarnya merugi, karena apa yang dikeluarkan ternyata tak sepadan dengan apa yang didapat. Blambangan tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda selama berkuasa di Indonesia.

Dan terjadilah Puputan Bayu, perang besar-besaran di tanah Banyuwangi. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC.

Saat itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas.

Belanda menyatakan serangan ini sebagai de dramatische vernietiging van Compagniesleger (kehancuran dramatis pasukan kompeni). Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan serdadu Eropa lainnya tewas dalam perang itu. Hanya beberapa serdadu yang tersisa. Sementara, warga Blambangan harus kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur satu hari kemudian, 19 Desember 1771, karena terluka akibat perang.

Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21, sebagai berikut:

"Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura. Keduanya tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari jenis biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap roboh tetapi masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung ke perkemahan, lalu meninggal. Jagapati yang luka parah dibawa ke benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati masih mampu mengatur strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya pertempuran dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit Bayu mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal. Babad Tawang Alun xii.1-2 melanjutkan: Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan sangat marah karena kematian Alap-alap. Pasukan Madura dan Kompeni bertempur lagi dan kehilangan 2.000 orang sebagai akibat amukan orang Bayu."

Tanggal terjadinya peperangan ini, 18 Desember, pada akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Banyuwangi karena menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah tersebut.

Perang ini juga mengubah peta demografi di kawasan Blambangan dan sekitarnya. Dari yang awalnya dihuni mayoritas etnis Jawa Osing menjadi etnis suku Madura. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang.

Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga. Sebelum perang berlangsung, Blambangan berpenduduk 65 ribu jiwa, yang 60 ribu orang telah meninggal dunia akibat perang puputan Bayu. Penduduk Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.

Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan ketika perang. Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk terutama masuknya etnis Madura setelah perang.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya