Epidemiolog: Vaksinasi Covid-19 Bisa Gagal jika Protokol Kesehatan Terus Turun

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengingatkan, upaya pencegahan penularan Covid-19 tidak boleh kendor, meskipun vaksin sudah mulai masuk Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Des 2020, 20:13 WIB
Diterbitkan 19 Des 2020, 19:09 WIB
Sosialisasi Virus Corona di Stasiun Sudirman
Pengguna KRL mengenakan masker saat berada di Stasiun Sudirman, Jakarta, Selasa (4/2/2020). PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) melakukan sosialisasi tentang pencegahan penyebaran virus corona sambil membagikan masker secara gratis kepada penumpang. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, mengingatkan upaya pencegahan penularan Covid-19 tidak boleh kendor, meski vaksin sudah mulai masuk Indonesia. Dia mengatakan, turunnya disiplin protokol kesehatan akan berdampak kegagalan vaksinasi.

"Ingat, contoh terkini, 2018 ebola itu gagal dikendalikan vaksinasi akibat negaranya, penduduknya abai, coverage rendah, angka reproduksi tinggi," ucap Dicky dalam satu diskusi secara virtual, Sabtu (19/12/2020).

Untuk itu, dia terus mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat agar disiplin dan terus meningkatkan kualitas tanggung jawab masing-masing dalam pencegahan penularan Covid-19.

"Kita enggak bisa sambil tunggu vaksinasi tidak melakukan pengendalian upaya 3T, 3M, termasuk pembatasan-pembatasan diabaikan, makin jauh dari keberhasilan program vaksinasi," tutur Dicky.

Menurut dia, upaya ketat mencegah penularan Covid-19 wajib diterapkan pemerintah dan masyarakat. Sebab, untuk membentuk herd immunity, 80 persen populasi Indonesia wajib mendapat vaksin Covid-19.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perlu Strategi Komunikasi

Agar persentase itu tercapai, tugas pemerintah saat ini wajib melakukan strategi komunikasi terhadap masyarakat Indonesia sebelum pelaksanaan vaksinasi massal.

"Ada prasyarat yang harus kita penuhi sebelum kita lakukan vaksinasi antara lain kita harus siapkan komunikasi," ucap Dicky.

"Secara range kasar di atas 70-80 persen dari total populasi," katanya.

Dicky menjelaskan, strategi komunikasi terhadap vaksinasi Covid-19 sangat penting, karena langkah itu menjadi tolok ukur keberhasilan negara mengendalikan pandemi. Terlebih, ia mengamini banyak masyarakat Indonesia tidak mendapat informasi dan penjelasan secara benar terkait vaksin. Akibatnya, banyak teori konspirasi tanpa data ilmiah menjadi alasan mereka menolak vaksin.

"Ini tidak bisa dibiarkan, harus di-counter," ujarnya.

Selain itu, Dicky yang telah berkecimpung sebagai epidemiolog selama 20 tahun itu menilai kapasitas testing Indonesia masih sangat jauh jika dilihat dengan jumlah kasus harian. Menurut Dicky, pemberian vaksin tidak akan berhasil jika kapasitas testing tidak sepadan dengan jumlah kasus.

"Ini PR besar dan saat ini situasi kita buruk secara estimasi epidemiologi paling minimal 20 ribu per hari. Kapasitas kita jauh dari memadai dari kasus yang begitu seriusnya. Sehingga itulah sebabnya, selain masalah testing, perlu ada komunikasi efektif," jelasnya.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa melakukan vaksinasi tanpa diiringi komunikasi yang baik dan pemetaan vaksinasi yang jelas.

"Butuh strategi komunikasi yang tetap, tidak bisa vaksinasi dipaksakan ketika belum jelas berapa yang mau, berapa yang tidak mau, sehingga potensi kegagalannya sangat minim," ungkap Dicky.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya