Soal SP3 Kasus BLBI, Abdullah Hehamahua: KPK Sedikit Lagi Meninggal

Dia mengungkapkan adanya potensi surat SP3 yang akan dikeluarkan lagi KPK, termasuk kasus Harun Masiku.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Apr 2021, 05:33 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2021, 05:33 WIB
Nasib Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua saat diskusi Bincang Senator dengan tema “Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Jakarta, Minggu (15/3/2015). (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Dengan penerbitan SP3 ini, banyak pihak mengkritik atas langkah dari komisi anti rasuah, lantaran secara otomatis melepas status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim.

Salah satu kritik itu dilontarkan oleh Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua yang menilai akan permasalahan muncul SP3 ini, akibat revisi undang-undang No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Lantaran, aturan yang tertuang dalam Pasal 40 ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Kemudian Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3. KPK juga wajib mengumumkan kepada publik.

"Ya, Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang KPK dimana Amandemen Undang-Undang itu memungkinkan untuk SP3. Sementara kalau Undang-Undang No 3 Tahun 2002 itu kan tidak membenarkan SP3," kata Abdullah ketika dihubungi merdeka.com, Minggu (4/4/2021).

Dia pun mebeberkan terkait alasan kepada KPK seharusnya tidak diberikan kewenangan untuk menerbitkan SP3, karena perkara korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga penanganannya butuh kehati-hatian dan waktu.

"Maka itulah UU No 30 Tahun 2002 itu tidak dibenarkan untuk adanya SP3 sehingga KPK itu super hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Pengalaman saya selama menetapkan orang sebagai tersangka di KPK itu 99 persen pasti dijatuhi hukuman pengadilan. Artinya bahwa seseorang menetapkan tersangka itu super hati-hati sehingga tidak lolos di pengadilan," jelasnya.

Terlebih penangan kasus perkara korupsi membutuhkan waktu yang lama dalam proses pembuktian. Karena membutuhkan waktu, hingga bertahun-tahun, batas waktu dua tahun sebagai syarat diperbolehkannya terbitkan SP3 dinilai tidaklah tepat

"Korupsi itu kan bersifat kejahatan luar biasa transnasional tidak hanya dalam negeri tapi sampai luar negeri. Yang kedua pembuktian itu lebih sulit, kalau misalnya pencuri ayam bisa langsung ditangkap ada sidik jarinya, CCTV, tapi kalau korupsi itu tidak ada itunya," terangnya.

Padahal, kata Abdullah, tidak adanya keputusan untuk penerbitan SP3 menjadi suatu pembeda antara penanganan korupsi di KPK dengan instansi lainnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh karena itu, dia menegaskan kalau akar masalah ini terjadi pada revisi UU KPK.

"Pada saat diajukan revisi UU KPK sudah berkali-kali saya katakan, bahwa UU itu bukan melemahkan KPK, tapi mensakaratulmautkan KPK. Karena kalau melemahkan orang minum herbal bisa sehat lagi, tapi kalau KPK sudah sakaratulmaut itu tinggal hitung aja, sedikit lagi meninggal," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Merembet ke Kasus Lain

"Kenapa, karena kemudian masyarakat akan berfikir apa beda KPK dengan Kejaksaan, apa beda dengan Kepolisian. Sehingga itu nanti hanya menghabiskan APBN miliaran, ya udah bubarkan saja. Karena tidak ada bedanya KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian," sambungnya.

Atas hal itu, Abdullah berharap agar judicial review yang diajukan oleh para pegiat antikorupsi untuk membatalkan revisi undang-undang tersebut haruslah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kemudian nanti kalau sudah ini lolos, maka seharusnya MK kalau serius ingin menegakkan hukum maka harus merima judicial review dari berbagai pegiat antikorupsi yang meminta supaya UU KPK yang baru dibatalkan dan kembali ke UU KPK lama. Kuncinya di UU KPK," tuturnya.

Lantas ketika disinggung adakah kemungkikan atau potensi surat SP3 yang akan dikeluarkan lagi KPK. Abdullah sangat menyakini hal itu, termasuk kasus-kasus seperti Harun Masiku yang belum ditemukan titik terangnya, kemingkinan akan dikeluarkan SP3.

"Memang begitu ujungnya (terbitnya SP3), karena UU juga yang mengatakan kan setelah dua tahun tidak ditangani, KPK boleh terbitkan SP3. Itu bisa merambat ke perkara-perkara lainnya, seperti Harun Masiku," pungkasnya.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya