Pakar Ungkap Alasan Konflik Papua Tak Pernah Usai

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menyebut, Pemerintah melihat akar konflik di Papua hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan.

oleh Yopi Makdori diperbarui 07 Mei 2021, 12:38 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2021, 12:38 WIB
Teroris KKB merusak dan membakar sejumlah fasilitas umum di Puncak, Papua
Teroris KKB merusak dan membakar sejumlah fasilitas umum di Puncak, Papua. (dok Polda Papua)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengungkap ada sejumlah alasan Pemerintah Indonesia tak kunjung selesai memadamkan api konflik di Papua.

Dia menilai, selama ini, Jakarta memandang konflik di Papua dengan cara pandang yang keliru. Pemerintah, kata dia, melihat akar konflik di Papua hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan. Menurut Al Araf, itu bukan satu-satunya akar masalah di Papua.

"Ada banyak dimensi persoalan, sebab dan latar konflik di Papua. LIPI dan beberapa penulis lainnya menyebutkan paling tidak ada empat atau lima. Soal ekonomi, marginalisasi, soal isu historis dan isu kebebasan serta pelanggaran HAM jadi bagian," ucap Al Araf dalam sebuah diskusi daring oleh LIPI, Kamis, 6 Mei 2021.

Al Araf memandang negara juga selama ini selalu bertumpu pada cara-cara komando dalam menyelesaikan konflik di sana.

Dia menyebut, pemerintah seakan-akan paling paham soal Papua sehingga pelibatan aktor lokal untuk menangani konflik di sana justru dinihilkan.

"Nah cara pandang yang sifatnya top-down ini kadangkala tidak sejalan dengan cara pandang di bawah, di masyarakat bahwa yang terbaik dalam penyelesaian konflik adalah seperti ini," ucap dia.

"Kebijakan-kebijakan yang sifatnya top-down iniah yang sebabkan pemerintah tidak pernah bisa selesaikan konflik di Papua," sambung Al Araf.

Karena memandang konflik secara sepihak, maka ramuan-rumuan yang ditawarkan pemerintah untuk meredam konflik di Papua pun kurang sesuai.

Misalnya, kata Al Araf, lewat pendekatan keamanan yang cenderung represif atau pendekatan ekonomi lewat gelontoran dana-dana Otonomi Khusus (Otsus).

"Yang kita butuhkan, kalau ada dua pihak berkonflik maka menyelesaikannya harus dengan konsensus bersama di antara kedua belah pihak bagaimana mengatasinya. Bukan sifatnya top-down," papar Al Araf.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Masalah Saling Percaya

militer
Upacara militer penerimaan jenazah Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha di terminal cargo jenazah Bandara Soekarno Hatta, Senin (26/4/2021). (Ist)

Al Araf membaca faktor lain yang sebabkan konflik di Bumi Cenderawasih tak kunjung reda adalah masalah saling percaya. Menurut mantan Direktur Imparsial itu ada masalah ketidaksaling percayaan di Tanah Papua.

"Faktor ketidakpercayaan antara Jakarta-Papua dalam bentuk saling mencurigai. Pemerintah Pusat selalu mencurigai setiap gerakan di Papua, sebaliknya Papua juga tidak mempercayai Jakarta. Ini problem trust yang tidak selesai," ucap dia.

Masalah ini semakin menguat dengan keputusan Jakarta melabeli Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai teroris.

"Hal ini kemudian memperkuat prasangka dan stigma sparatis terhadap orang Papua dan ini juga menimbulkan konflik yang terus berlanjut," tekan Al Araf.

Stigamatiasi terhadap orang Papua, lanjut dia, membuat konflik di sana makin menguat. Padahal membangun rasa saling percaya dalam menyelesaikan konflik merupakan prasyarat mutlak.

"Dan tentu pemerintah harus melakukan itu. Menurut saya yang terjadi dengan labeling (teroris) rasa distrust itu semakin tinggi dan semakin sulit untuk membangun kembali," pungkas Al Araf.


Penembakan 31 Pekerja di Papua

Infografis Penembakan 31 Pekerja di Papua
Infografis Penembakan 31 Pekerja di Papua. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya