Liputan6.com, Jakarta Masyarakat yang menerima subsidi listrik, sebenarnya namanya tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Berkaitan dengan hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI, Nurhasan Zaidi pun mempertanyakan terkait cara menentukan subsidi listrik erhadap pelanggan rumah tangga miskin atau tidak mampu yang berdaya 450 watt-900 watt.
Ya, Nurhasan Zaidi menilai bahsa DTKS yang ada selama ini masih carut marut.
"Saya yakin di Kementerian ESDM sudah mendengar carut marut DTKS, karena memang persoalan data ini persoalan klasik yang tidak pernah selesai hingga hari ini," ujar Nurhasan saat rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (2/6).
Advertisement
Nurhasan Zaidi melanjutkan, untuk menuju negara modern, persoalan data base harus sudah beres.
"Saat saya di Komisi VIII, juga jadi keprihatinan kami, nilainya triliunan, tidak kecil. Subsidi juga nilainya ratusan triliun. Sehingga ketepatan data harus clear sejak awal. Saya tidak tahu sinergi antar kementerian ini sudah clear atau tidak," sambung Politisi Fraksi PKS itu.
Tidak jarang orang yang sudah meninggal, namanya masih tercantum dalam DTKS, orang-orang yang ekonominya sudah meningkat masih terdata tidak mampu. Sementara banyak orang yang membutuhkan namun tidak mendapat subsidi.
Menurutnya ini menjadi catatan penting yang harus segera disikapi, agar anggaran negara tepat sasaran. Jangan sampai yang berhak menerima malah tidak menerima, sementara yang tidak berhak malah menerima subsidi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VII DPR RI Sartono. Politisi Fraksi Partai Demokrat ini juga mempertanyakan reformasi subsidi yang akan dilakukan Kementerian ESDM pada tahun 2022 di sektor kelistrikan.
Di mana ada 15, 2 juta pelanggan kelompok 450-400 watt yang berpotensi tidak mendapat subsidi. Itu dilakukan dengan merujuk data DTKS. Padahal sebagaimana diketahui DTKS hingga saat ini masih menyisakan persoalan.
Di mana data yang ada tidak sinkron dengan kondisi di lapangan. Sehingga apakah tepat melakukan reformasi subsidi dengan mengacu data yang masih carut marut tersebut.
(*)