Liputan6.com, Jakarta - Penghapusan sementara data kematian dari penanganan pandemi covid-19 menuai sorotan dari berbagai kalangan ahli. Para pakar menilai, langkah ini sebagai wujud kegagapan pemerintah yang tidak mampu mengendalikan pagebluk yang sudah menyerang tanah Pertiwi lebih dari setahun.
Menurut Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, Indonesia seharusnya tak terlalu panik atas tingginya angka kematian. Sebab seluruh negara, data kematiannya pun dipantau masyarakat dunia.
"Kenapa Indonesia takut. Keliatan angka kematiannya besar berarti kasus banyak yang tidak terdeteksi," kata Tri Yunis Miko Wahyono kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (12/8/2021).
Advertisement
Ia menambahkan, bagaimana pun langkah pemerintah dalam menutupi data kematian akibat pandemi, nantinya juga akan terlihat oleh publik. Bahkan penyingkiran indikator kematian itu dinilai akan kian menguatkan anggapan adanya pengotak-atikan data di tingkat elite.
"Mau diapain saja kelihatan lah, orang itu natural. Kalau diberhentikan ya kelihatan kalau kita suka ngakalin datanya," ujar Miko.
Ia menerangkan, data kematian merupakan indikator yang tidak bisa lepas dari upaya-upaya penanggulangan penyakit apapun. Baik itu covid-19, demam berdarah, ataupun TB. Semuanya memakai data kematian.
"Jadi menurut saya, ini karena Indonesia selalu berpegang pada prestasi yang baik dengan cara yang tidak baik," kata dia.
Karena itu, ia meminta pemerintah untuk bersikap jujur terkait persoalan data pandemi covid-19 ini. Ia tidak mengetahui titik missed dari penginputan data sehingga tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
"Jujur itu baik. Saya enggak tahu data salah di mana, apakah salah di kabupaten, provinsi atau di pusat. Marilah kita jujur pada masyarakat, jujur kepada datanya, kejadiannya, bahwa penanggulangan covid di Indonesia dikatakan yang sejujur-jujurnya," jelas Miko.
Ia pun tidak habis pikir terhadap pemerintah yang mencabut angka kematian dari penanganan pandemi ini. Dia menengarai ada sesuatu di balik keputusan yang menuai polemik tersebut.
"Pasti ada sesuatu, sesuatu itu apa? Ya tanyakan pada yang punya data. Walaupun saya tahu, enggak etis menyebutkan. Saya mengatakan harus jujur. Tanggung jawab di dunia engak ada apa-apanya buat saya, tanggung jawab di akhirat itu besar," ujar dia.
"Kita sama dengan Amerika, Australia. Semua jujur dengan rakyatnya dalam penanganan covid. Jadi menurut saya, kejujuran itu akan dibawa ke akhirat," Miko menambahkan.
Ia menyanksikan alasan pemerintah yang menyebut ada ketidaksinkronan data kematian di pusat dengan daerah. Sebab semua variabel data pandemi itu saling terkait.
"Kenapa data kematian saja? Harusnya kalau data kematian enggak sinkron berarti data kasusnya juga enggak sinkron. Harusnya semuanya. Jadi menurut saya, ini pemerintah... aduh pusing saya," ucap Miko.
Jauh sebelum ini, pembenahan sinkronisasi data sebenarnya sudah lama digaungkan. Pada 2020 akhir, Pemerintah melalui satgas covid-19 telah mengendus adanya permasalahan pengumpulan dan validasi data yang jumlahnya besar.
Namun hingga pertengahan 2021, penyelesaian data itu belum juga terwujud. Alih alih menggenjot sinkronisasi data, yang ada salah satu variabel penting penanganan covid-19 justru malah dihilangkan.
Kemenkes menyebut saat ini, data yang bermasalah hanya terkait dengan kematian saja. Sedangkan variabel lain sudah berjalan sesuai dengan semestinya.
"iya datanya (yang lain) lebih valid, tidak ada data kematian yang rapelan," ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemkes RI Siti Nadia Tarmizi kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (12/8/2021).
Nadia pun enggan menjawab alasan di balik penghapusan data kematian yang baru diambil saat ini. Apakah ini terkait dengan sorotan dunia yang menyebut Indonesia termasuk tinggi kasus kematiannya. "Ini bisa ditanyakan ke Kemenkomarves ya," ujar dia.
Sementara itu Analis Data LaporCovid-19, Said Fariz Hibban juga menyesalkan sikap pemerintah yang menyingkirkan angka kematian dari peta penanganan pandemi. Ia mendesak pemerintah tidak mengabaikan data kematian sebagai indikator evaluasi pemberlakukan PPKM.
"Data kematian adalah indikator dampak dan skala pandemi yang perlu diketahui warga agar tidak abai risiko. Pemerintah wajib membenahi teknis pendataan, serta memasukkan data kematian probabel, bukan menghilangkannya," kata dia kepada wartawan, Kamis (12/8/2021).
Menurutnya, keputusan pemerintah tak memakai data kematian dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3 itu tentu patut dipertanyakan. Sebab, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk melihat seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah.
"Ketidakakuratan data kematian yang ada seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut. Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat," jelas Said.
Apalagi, lanjutnya, data kematian yang selama ini diumumkan pemerintah pun sebenarnya belum cukup menggambarkan betapa besar dampak pandemi Covid-19. Hal ini karena jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat ternyata masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah.
"Pemerintah juga seharusnya mempublikasikan jumlah warga yang meninggal dengan status probable agar masyarakat memahami secara lebih akurat dampak pandemi yang terjadi. Perbaikan data ini yang harus dilakukan, bukan malah mengabaikan data kematian dan tak memakainya dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3," terangnya.
Dia menegaskan, perbaikan teknis pendataan multak dilakukan dengan mendesak. Berdasarkan data yang dikumpulkan tim LaporCovid19, lebih dari 19.000 kematian yang sudah dilaporkan pemerintah kabupaten/kota, tapi tak tercatat di data pemerintah pusat.
"Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota yang dikumpulkan tim LaporCovid19 menunjukkan, hingga 7 Agustus 2021, terdapat 124.790 warga yang meninggal dengan status positif Covid-19," kata dia.
Sementara itu, jumlah kematian positif Covid-19 yang dipublikasikan pemerintah pusat pada waktu yang sama sebanyak 105.598 orang. Artinya, antara data pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, terdapat selisih 19.192 kematian.
"Data kematian yang selama ini dipublikasikan pemerintah belum mencakup kematian warga dengan status probable. Berdasarkan data yang dikumpulkan LaporCovid19, akumulasi kematian probable di Indonesia setidaknya telah mencapai 26.326 jiwa," ujar Said.
"Karena itu, jika kematian positif Covid-19 diakumulasikan dengan kematian probable, total kematian terkait pandemi di Indonesia telah mencapai 151.116 jiwa," imbuh dia.
Di sisi lain, Said melanjutkan, jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain.
"Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi," ujarnya.
Apalagi saat ini, hanya satu provinsi, yakni DKI Jakarta, yang mempublikasikan data kematian warga saat isolasi mandiri. Karena itu, LaporCovid19 mendesak pemerintah daerah lainnya untuk mempublikasikan data jumlah kematian warga saat isolasi mandiri.
"Keterbukaan ini penting agar masyarakat makin memahami dampak pandemi Covid-19," Said menandaskan.
Senjata Utama Hadapi Pandemi
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus menggenjot perbaikan data kematian covid-19 yang bersumber dari daerah. Data kematian yang disampaikan ke publik selama ini diklaimnya tidak shahih. Sehingga angka kematian itu dikesampingkan dalam penanganan covid-19.
Menurut Juru Bicara Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi, dalam evaluasi yang telah dilakukan, terungkap data kematian COVID-19 yang tercatat rupanya tidak menggambarkan situasi nyata (riil) saat ini.
"Data kematian akibat Corona COVID-19 ada yang terakumulasi (laporan) tanggal/minggu, bahkan beberapa bulan sebelumnya. Ini menjadi kurang pas bila dijadikan indikator kondisi riil saat ini," terang Nadia melalui pesan singkat yang diterima Health Liputan6.com, Kamis (12/8/2021).
Selain itu, data kematian COVID-19 yang dihilangkan bertujuan supaya tidak bias dalam penilaian.
"Dengan evaluasi tersebut, kami kemudian memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian yang akumulasi tanggal/minggu sebelumnya, supaya tidak menimbulkan bias dalam penilaian," imbuh Nadia.
"Tentunya, sambil terus ada perbaikan data ini selesai dilakukan daerah," kata dia.
Berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kemenkes, diperoleh pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah tidak bersifat realtime.
Akumulasi data kematian COVID-19 yang masuk pun dari bulan-bulan sebelumnya. Apalagi kurun waktu tiga minggu terakhir, angka kematian COVID-19 cenderung tinggi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Tenaga Ahli Kemenkes Panji Fortuna Hadisoemarto mencontohkan, laporan kasus COVID-19 pada 10 Agustus 2021, dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya.
Bahkan 10,7 persen di antaranya berasal dari kasus pasien positif COVID-19 yang sudah tercatat di NAR lebih dari 21 hari, namun baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.
“Kota Bekasi, contohnya, laporan kemarin (10/8) dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94 persen di antaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut, melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57 persen," terang Panji melalui keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (11/8/2021).
"Lalu bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37 persen. Dan 6 persen sisanya merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus."
Contoh lainnya, Kalimantan Tengah, yang mana 61 persen dari 70 angka kematian COVID-19 yang dilaporkan pada 10 Agustus 2021 adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari, tapi baru diperbarui statusnya.
Kendati demikian, memangkas data kematian akibat covid-19 sama saja menantang bencana. Sebab, menurut mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, indikator kematian merupakan senjata utama dalam melawan pandemi covid-19.
“Indikator angka kematian memang diperlukan dalam penilaian situasi epidemiologi. Kalau data yang tersedia dianggap tidak baik maka datanya yang harus diperbaiki,” kata Tjandra dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (12/8/2021).
Menurut dia, angka kematian di Indonesia terbilang tinggi. Saat kasus di India sedang tinggi-tingginya, jumlah kematian paling tinggi sekitar lima ribu sehari.
“Penduduk India 4 kali Indonesia, jadi kalau jumlah kematian pada 10 Agustus adalah 2 ribu orang, maka kalau dikali 4 angkanya menjadi 8 ribu,” kata dia.
Tjandra menambahkan, pada awal pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat tanggal 3 Juli, jumlah yang meninggal sehari adalah 491 orang.
“Jadi angka 10 Agustus adalah 4 kali angka hari pertama awal PPKM darurat,” ujarnya.
Indikator angka kematian per 100 ribu penduduk per minggu, kata Tjandra, merupakan salah satu variabel dalam penentuan level 4, 3 dan seterusnya yang sekarang dipakai, sesuai SK Menkes.
Advertisement
Disorot DPR, Ini Kata Pemerintah
Langkah pemerintah menghapus data kematian dalam penanganan covid-19 disorot sejumlah anggota parlemen. Mereka menilai keputusan itu tidak tepat dalam menangani pandemi covid-19.
"Saya kira tidak bijak menghapus angka kematian dari indikator keberhasilan atau kegagalan dalam penanganan Covid-19," Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi kepada wartawan, Kamis (12/8).
Menurutnya, pemerintah harusnya melakukan evaluasi jika ada masalah keterlambatan input. Pemerintah diminta memperbaiki yang bermasalah, bukan justru dihapus.
"Bila ada kesalahan atau keterlambatan input, harusnya proses inputing-nya yang dievaluasi, bukan indikatornya yang dihapus. Error-nya dimana, sistemnya kurangnya apa," ujar Nurhadi.
"Jadi kalau ada kecelakaan lalu lintas, bukan traffic lightnya yang dipindah atau dihilangkan tapi diselidiki apa penyebabnya, apakah kesalahan pengemudinya, kendaraanya, atau infrastrukturnya yang rusak. Begitu analoginya, begitu mikirnya," jelasnya.
Nurhadi menilai, data kematian Covid-19 diperlukan sebagai indikator utama. Pemerintah perlu merinci data kematian pasien akibat Covid-19.
"Justru data kematian seharusnya menjadi indikator utama. Karena itu mestinya pemerintah dalam hal ini Satgas Covid-19 harus bisa merinci secara baik data kematian, mulai dari berapa jumlah kematian karena Covid-19, dari data itu berapa yang karena komorbid, dan apakah sudah divaksin atau belum. Hal hal seperti ini mestinya harus diidentifikasi," ujarnya.
Nurhadi menilai, pemerintah perlu menjamin keselamatan masyarakat. Angka kematian ini menjadi indikator yang diperlukan untuk penanganan Covid-19.
"Pemerintah harus bisa menjamin keselamatan rakyatnya, karena itu jika indikator kematian ini kemudian dihapus, mau pakai ukuran apa penanganan kasus covid ini? Jadi saya kira data kematian ini harus dilihat juga seberapa tanggap di daerah daerah menangani kasus ini," pungkasnya.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP Rahmad Handoyo juga menilai, rakyat tetap perlu mengetahui berapa jumlah orang yang meninggal akibat virus corona. Data itu bisa disampaikan secara berkala, baik itu per pekan ataupun bulan.
"Ini ada nilai positif menurut saya, artinya kalau angka kematian kita masih tinggi itu tentu membuat rakyat terus meningkatkan kewaspadaan," kata dia Rahmad lewat pesan suara, Rabu (11/8/2021).
Dia menambahkan, terkait kesalahan input data yang memunculkan kerancuan harus diperbaiki. Rahmad tak ingin data yang disampaikan pemerintah berbeda di lapangan.
"Kalau salah input data kemudian kesalahan itu ya harus diperbaiki jangan sampai angka yang dilaporkan, angka yang disampaikan tidak sinkron dengan fakta di lapangan," ujar Rahmad.
"Sehingga akan mengubah, mempengaruhi penilaian termasuk penanganan pengendalian Covid-19 itu," pungkasnya.
Nada protes juga disuarakan Anggota DPR Fraksi PKS Mulyanto. Dia mengatakan, kematian akibat Covid-19 merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan proses treatment dari konsep 3T yaitu testing, tracing, treatment.
"Apa ada indikator lain yang dapat mengukur fatality dari Covid-19 ini? Rasanya tidak ada. Karena itu Pemerintah sebaiknya mengevaluasi secara komprehensif dan teliti penyebab tidak akuratnya data angka kematian akibat Covid-19," ucapnya, Rabu 11 Agustus 2021.
Mulyanto menegaskan, yang dibutuhkan saat ini adalah langkah koreksi dan perbaikan atas data angka kematian Covid-19, bukan malah menghapus indikator kematian. "Jangan seperti pepatah, buruk rupa cermin dibelah," ujarnya.
Ia menyayangkan, sikap pemerintah yang sering blunder dan tidak scientific based dalam penanggulangan Covid-19.
"Kalau masalahnya adalah kekeliruan input, maka yang perlu dilakukan adalah verifikasi ulang data yang ada. Jangan indikatornya yang dihilangkan," ucapnya.
Menurutnya, pemerintah jangan ingin terlihat berkinerja baik dengan jalan pintas memoles data yang berlebihan. Atau malah dengan cara menghapus seluruh data yang ada.
“Pemerintah jangan akal-akalan dengan data. Misalnya ingin angka kasus positif harian rendah, maka diupayakan dengan mengurangi jumlah testing. Atau karena melihat angka kematian, yang jelek atau tidak akurat, maka dihapus saja indikator kematian Covid-19," ujarnya.
Mulyanto menambahkan, harusnya pemerintah memperbaiki data tersebut, bukan justru membuang indikatornya. Sebab, belum ada indikator pengganti atau indikator lain yang dapat mengukur fatalitas akibat Covid-19 tersebut selain indikator kematian.
"Sebaiknya pemerintah tidak menyembunyikan data kematian karena Covid-19 ini," imbuh Mulyanto.
Respons yang bermunculan dari publik, membuat pemerintah angkat suara. Penghapusan data kematian akibat covid-19 ini disebutkan hanya bersifat sementara, sambil menunggu pembenahan data selesai.
"Sampai validitas datanya bisa dan selesai diperbaiki," kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito saat dihubungi Liputan6.com, Rabu 11 Agustus 2021.
Hal senada juga disampaikan Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi. Menurutnya, hal tersebut diakibatkan adanya penginputan data yang merupakan akumulasi dari beberapa minggu terakhir.
"Bahwa banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat," kata Jodi dalam keterangan tertulis, Rabu 11 Agustus 2021.
Jodi menyebut penginputan secara akumulasi tersebut menyebabkan terjadi distorsi atau bias. Bahkan hal tersebut dapat mempersulit dalam hal analisis perkembangan setiap daerah.
Selain itu, dia juga menyatakan data yang bias dapat menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah.
"Banyak kasus sembuh dan angka kematian akhirnya yang belum terupdate," ucap dia.
Karena itu, Jodi mengatakan pemerintah terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk keakuratan data.
"Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan diinclude (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," jelas dia.