HEADLINE: Wacana Penjabat Gubernur dari TNI-Polri Jelang Pilkada 2024, Tepatkah?

Opsi TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah muncul jelang kekosongan 271 kursi kepala daerah pada 2022 dan 2023. Selain melanggar hukum, langkah itu dianggap tidak masuk akal.

oleh Nanda Perdana PutraMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 29 Sep 2021, 11:51 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2021, 00:01 WIB
Ilustrasi lambang TNI dan Polri (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi lambang TNI dan Polri (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Perhatian publik mengalir deras mengkritisi wacana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang membuka opsi TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah. Dalam kurun 2022-2024, akan ada ratusan posisi kepala daerah yang bakal kosong.

Pada 2022, ada 101 kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang akan habis masa tugasnya. Dan pada tahun berikutnya, ada 170 kepala daerah yang juga habis masa baktinya. Jika ditotal, ada 271 daerah yang menjalankan Pilkada 2024 dan akan ditunjuk penjabat daerah.

Kursi-kursi kosong itu disebut tidak menutup kemungkinan bakal diduduki oleh penjabat dari kalangan perwira tinggi TNI Polri. Kemendagri merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Namun demikian, menurut Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, Undang-undang menyebutkan bahwa TNI-Polri tidak boleh menduduki posisi pada jabatan nondinasnya. Hal itu dikecualikan bagi mereka yang telah dialihkan menjadi pejabat sipil.

"Itu jelas kok dalam Undang-Undang TNI-Polri. Jadi mereka tidak bisa bekerja di luar dinas itu kecuali kalau telah beralih status menjadi aparatur sipil. Kalau dalam jabatan-jabatan yang dalam sifatnya berkaitan dengan militer, kepolisian, mereka tidak perlu beralih menjadi sipil," terang Margarito kepada Liputan6.com, Selasa (28/9/2021).

"Di luar jabatan-jabatan itu mereka harus beralih dari dinasnya, militer atau kepolisian menjadi sipil, aparatur sipil, barulah mereka dapat memangku jabatan-jabatan itu," dia menambahkan.

Dia menegaskan, ada jabatan-jabatan tertentu yang bisa diemban perwira tinggi TNI-Polri tanpa melepaskan statusnya. Jabatan tersebut seperti pada Kemenkopolhukam, BIN, BSSN, BNPT, dan BNPB.

Selain jabatan itu, seperti penjabat kepala daerah, harus berasal dari aparatur sipil. Ia pun yakin Mendagri Tito Karnavian mengetahui aturan tersebut. "Dia kan pernah jadi polisi."

Karena itu, dia pun mempertanyakan adanya opsi tersebut jelang kekosongan kursi 271 kepala daerah. Padahal, hal itu sudah jelas dan tegas diatur dalam perundang-undangan. "Kenapa jadi harus muncul itu," ujarnya.

Margarito mengungkapkan, pejabat-pejabat ASN eselon I dan II ini jumlahnya bejibun di Indonesia. Mereka tersebar di kementerian-kementerian pemerintahan.

"Kementerian satu republik ini masa nggak bisa sih. Jangan berpikir cuma Mendagri doang. Itu aparatur-aparatur yang ada di perikanan, kelautan, di Kemenkopolhukam, dan segala macam itu, maritim, kemenpan-RB, semua kan bisa tuh," ujar dia. 

"Boleh saja orang-orang dari Kementerian Pertahanan asalkan mereka sipil, mereka boleh taruh kok," imbuhnya.

Margarito menegaskan, suka atau tidak suka jika perwira TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah tanpa perubahan Undang-Undang, maka seluruh penyelenggaraan administrasi negara di daerah itu tidak sah. Karena diselenggarakan oleh orang yang tidak memenuhi syarat hukum untuk melakukan tindakan itu.

"Jelas bertentangan dengan Undang-Undang. Harus kembali ke situ. Cuma kita ini sekarang kan sudah berantakan semua, jadi ya suka-suka lah," tegas dia.

Karena kalau bicara sistem, dia menambahkan, jika melanggar Undang-Undang mesti impeach. Namun saat ini kalangan legislatif sudah menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan.

"Jadi ya terserah lah. Kalau mereka suka ya bikin saja. Tapi Undang-Undang kita begitu (tidak membolehkan). Masyarakat udah pasrah," ucapnya.

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

Infografis Wacana TNI-Polri Jadi Penjabat Gubernur Jelang Pilkada 2024. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Wacana TNI-Polri Jadi Penjabat Gubernur Jelang Pilkada 2024. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sementara itu, Plt Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, wacana TNI-Polri menjadi penjabat kepala daerah Pilkada 2024 lantaran kontestasi yang buruk tak bisa dijadikan alasan.

Kontestasi 2024 ini merupakan konsekuensi tidak dilaksanakannya Pilkada 2022 dan 2023 sepeti diatur dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sebagai pengganti para gubernur dan bupati yang masa jabatannya habis sebelum 2024, pemerintah pusat akan menunjuk para penjabat kepala daerah.

"Situasi pilkada sekarang ini sedemikian buruknya sehingga perlu ada Plt TNI Polri, saya kira itu bukan menjadi satu alasan," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (28/9/2021).

"Karena kalau dilihat dari spirit reformasi dan regulasinya dan upaya untuk mencegah terjadinya pemanfaatan kekuasaan pada saat prosesi elektoral dan juga spirit demokrasi, saya kira usulan itu kurang tepat," dia mengimbuhkan.

Kurun 2016 dan 2018, Kemendagri yang kala itu dikamandoi Tjahjo Kumolo, telah menunjuk tiga perwira tinggi dari kalangan TNI dan Polri. Mereka menjabat secara temporer hingga adanya kepala daerah secara definitif.

Perwira TNI dan Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah adalah Komjen M Iriawan, menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat, Irjen Carlo Brix Tewu menjadi Pj Gubernur Sulawesi Barat, dan Mayjen Soedarmo sebagai Pj Gubernur Aceh.

Terkait ini, Firman memandang bahwa reformasi menghendaki profesionalisme TNI dan Polri untuk tidak lagi terlibat di luar bidangnya, yaitu pertahanan dan keamanan. Namun itu akan berbeda bila dilihat dari sisi regulasi.

"Dari sisi regulasi memang Plt itu setelah diatur mungkin ceritanya lain, tapi itu kan porsinya sipil mandat dari kemendagri dan tidak bisa langsung transfer misal dari Polri bisa langsung jadi penjabat gubernur," kata dia.

Dia menilai, adanya penjabat TNI-Polri di daerah bisa berpeluang terhadap dukungan kubu tertentu dalam kontestasi 2024. Lantaran para perwira tersebut memiliki tongkat komando yang tegak lurus kepada pimpinan.

"Ada peluang bahwa track record kepala daerah itu bisa berperan besar atau berperan dengan perangkatnya dalam Pemilu. Kekhawatiran dengan sistem komando ini mudah-mudahan tidak benar," ujarnya.

Jadi dari banyak aspek dan spirit demokrasi, juga aspirasi masyarakat cenderung tidak menghendaki adanya elemen pertahanan keamana sebagai pimpinan pemerintahan. "Overall, saya melihat memang belum diperlukan atau tidak diperlukan," tegas dia.

Terkait dengan anggapan munculnya kembali Dwi Fungsi ABRI era Presiden Soeharto, dia menegaskan hal itu harus diuji dulu. Namun orang yang berpandangan demikian tentu memiliki alasan tersendiri.

"Bila mengukur itu di era Orba, memang banyak kepala daerah dari unsur tentara bukan polisi. Orang-orang yang ditunjuk Soeharto. Dengan penempatan kembali mereka dengan domain pemda. Berkaca dari situ, saya kira hal itu bisa dipahami dengan apa yang terjadi di Orba," demikian Firman.

 

Tak Ada Alasan Mendesak

Mochamad Iriawan
Pj Gubernur Jawa Barat Mochamad Iriawan melakukan video conference di Gedung Sate Bandung

Kepala Departemen Perubahan Sosial dan Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, tak ada alasan yang terlalu mendesak atau krusial yang menyebabkan Plt harus diisi TNI atau Polisi aktif. Sebab menurutnya, dari sisi ketersediaan SDM masih cukup.

Selain itu, dia melanjutkan, TNI atau Polri harus adaptasi saat menjabat Penjabat Kepala Daerah. Hal ini yang sulit dilakukan oleh para perwira tersebut.

"Adaptasi di pemerintah bukan hal yang mudah. Mereka sepanjang karier di militer, polisi, tiba-tiba jadi Plt di pemerintahan yang tidak pernah sama sekali dilakukan," ujarnya.

"Kalau eseleon I dan II, sejak kariernya sudah di pemerintahan. Tapi ada orang yang enggak punya pengalaman di pemerintahan tiba-tiba jadi Plt. Tidak masuk akal," ujar dia.

Di samping itu, pengalaman dalam urusan teknis, perwira TNI atau Polri juga tidak mendukung. Mereka tidak memiliki kultur bekerja pada birokrasi pemerintahan. "Itu gak ada pengalaman di situ."

Pada 2024, akan ada dua kontestasi demokrasi yang digelar dalam waktu berdekatan. Kendati masih dalam pembahasan, pemerintah mengusulkan waktu pelaksanaan Pemilu digelar pada 15 Mei, sedangkan Pilkada serentak diusulkan pada 27 November 2024. Dua pagelaran ini pun dinilai berpotensi menimbulkan kericuhan sehingga dianggap penting menunjuk Plt dari TNI atau Polri.

Menurut Arya, alasan tersebut tidak masuk akal. Sebab Indonesia memiliki seabrek pengalaman dalam menggelar Pemilu maupun Pilkada serentak. Dari kontestasi yang sudah berlangsung, tidak ada kekacauan dan konflik yang begitu berarti. "Kemarin pilkada serentak, aman-aman saja."

Arya menilai, setiap daerah memiliki kesatuan keamanan seperti Polda hingga Polres dan Polsek. Sedangkan TNI memiliki Kodam. Kedua fungsi itu mempunyai tugas menjaga urusan pertahanan dan keamanan di wilayah tersebut.

"Bahkan justru tugas pengamanan bukan kepala daerah. Pertahanan dan kemananan adalah tugasnya TNI Polri, setiap kota ada Polres, Polda, Kodim," ujar dia.

Terkait dengan isu Plt TNI Polri bisa mendongkrak suara partai dan kandidat tertentu pada Pilkada atau Pemilu, menurutnya, sulit dilakukan. Karena harus ada mobilitas ASN dan pendanaan melalui dana hibah.

"Mobilitas ASN kan sudah ada aturan teknis. Seperti kepala daerah tidak boleh mengganti kepala dinas 6 bulan sebelum hari H. ASN yang terbukti melanggar, ada sanksi," kata dia.

Kemudian juga terkait pendanaan juga tidak mudah. Karena harus mendapatkan persetujuan dari legislatif. "Jadi enggak semudah itu menggunakan kepentingan politik," tegasnya.

"Saya kira untuk pengangkatan TNI Polri ini tidak ada urgensinya," tegas Arya.

Untuk mengisi jabatan tersebut, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyarankan pemerintah menunjuk sekretaris daerah (Sekda). Hal ini dinilai lebih baik dibandingkan perwira tinggi TNI-Polri yang menjadi Pj Kepala Daerah.

"Menurut saya, lebih baik pemerintah mengangkat saja Sekdanya. Karena Sekda yang tahu persis kondisi birokrasi internal luarnya," kata Trubus kepada Liputan6.com, Senin 27 September 2021.

Dia khawatir diisinya Pj Kepala Daerah oleh perwira TNI-Polri jelang Pilkada 2024 akan memunculkan dwifungsi ABRI yang telah dihapus pascareformasi.

Trubus menyebut hal ini membuat TNI-Polri tak boleh lagi terlibat di sektor-sektor sipil, apalagi menjadi kepala daerah.

"Dwifungsi ABRI kan sudah dihapus, jadi enggak boleh ada sektor-sektor, termasuk dalam hal ini Pj, apalagi gubernur bupati itu di tangan mereka," kata dia.

Trubus mengatakan apabila pemerintah ingin menjadikan perwira TNI-Polri sebagai Pj kepala daerah, sebaiknya hanya ditempatkan di wilayah-wilayah yang rawan terjadi konflik.

"Ya kalau di daerah konflik kayak Papua itu kan banyak tuh, itu diambil dari TNI-Polri aja. Tapi kalau daerahnya seperti Jakarta, kan enggak perlu TNI-Polri," kata Trubus.

Pro Kontra di Parlemen

Infografis Ragam Tanggapan Terkait Wacana Penjabat Kepala Daerah Diisi TNI-Polri. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ragam Tanggapan Terkait Wacana Penjabat Kepala Daerah Diisi TNI-Polri. (Liputan6.com/Trieyasni)

Politikus PKB Luqman Hakim menilai tidak masalah jika posisi kepala Daerah tersebut dijabat oleh TNI dan Polri. Dia menyebut penjabat dari instasni TNI Polri bisa ditempatkan di daerah dengan potensi ancaman keamanan yang tinggi. 

"Sepanjang ketentuan dalam UU nomor 10 Tahun 2016 yang saya sebutkan di atas terpenuhi, tidak ada masalah. Pj kepala daerah yang berasal dari TNI/Polri, bisa dipertimbangkan untuk memimpin daerah-daerah yang tingkat ancaman gangguan ketertiban sosialnya tinggi," kata dia saat dikonfirmasi, Senin 27 September 2021.

Anggota Komisi II DPR RI ini menuturkan, hal tersebut bukanlah barang baru untuk di Pilkada 2024. Ini pernah terjadi pada Pilkada sebelumnya di Jawa Barat dan Aceh.

"Apakah penunjukkan Pj kepala daerah dari TNI/Polri ini melanggar aturan? Jawabannya tergantung apakah di dalam organisasi TNI/Polri ada struktur Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama," tutur Luqman.

"Kalau ada, berarti tidak melanggar aturan. Atau, apakah Anggota TNI/Polri yang ditugaskan menjadi Pj kepala daerah sedang menjabat di Jabatan Tinggi Madya/Pratama di Kementerian/Lembaga/Instansi pemerintah," sambungnya.

Luqman melanjutkan, di UU 10 tahun 2016 hanya disebutkan Pj Gubernur berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya dan Pj Bupati/Walikota berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, tidak disebut khusus berasal dari ASN.

"Jadi, jika pertanyaannya harus perwira bintang berapa, maka kembali pada aturan apa saja syarat-syarat yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya/Pratama di atas," kata dia.

Luqman menyadari ada potensi baik TNI dan Polri diberi tugas tambahan untuk ikut campur terkait suksesi salah satu paslon di Pilkada 2024.

"Siapa yang bisa memberi tugas tambahan itu? Tentu pihak yang memiliki kekuasaan menunjuk dan menetapkan Pj kepala daerah," kata dia.

Karena itu, dibutuhkan sikap dan tindakan tegas dari semua pihak yang memiliki wewenang untuk menegakkan dan memberi sanksi tegas jika terjadi pelanggaran aturan yang dilakukan Pj kepala daerah terkait keberpihakan politik yang menguntungkan orang/kelompok politik tertentu.

"Saya optimis Pj kepala daerah akan bersikap netral dalam Pemilu dan Pilkada 2024. Saya percaya Presiden dan Mendagri akan betul-betul memberi arahan dan perintah tegas kepada Pj kepala daerah agar bersikap netral dan tidak memihak salah satu kontestan dalam Pemilu dan Pilkada 2024," kata Luqman.

Senada, Politikus Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pemerintah harus mengkaji lebih dalam terkait adanya usulan Penjabat (Pj) Kepala Daerah jelang Pilkada 2024 diisi oleh anggota TNI dan Polri.

"Pemerintah perlu juga memberikan kajian yang mendalam terhadap penempatan TNI-Polri aktif sebagai Plt," kata dia pada wartawan, Senin (27/9/2021).

Wakil Pimpinan MPR ini menyebut rencana penunjukkan Pj Kepala Daerah dari unsur TNI dan Polri untuk Pilkada 2024 boleh saja dilakukan, tapi harus transparan dan dikomunikasikan ke publik.

"Saya pikir boleh ada, tapi dikomunikasikan lah, saya pikir kajian yang mendalam itu penting sebelum diambil keputusan seperti ini," jelas Dasco.

Meski demikian, dia mengkhawatirkan apabila ada anggota TNI dan Polri menjadi Pj Kepala Daerah jelang Pilkada 2024 akan mengganggu tugas utamanya di instansi.

"Karena juga nanti akan mengurangi sumber daya di TNI-Polri sendiri kalau seluruhnya Plt yang sebanyak itu diberikan kepada TNI-Polri," kata Dasco.

Hal yang Berbeda disampaikan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Dia mengatakan, menempatkan Anggota TNI maupun Polri sebagai Pj Kepala Daerah di Pilkada 2024 sangat beresiko.

"Sangat berisiko, ini seperti eksperimen saja. Pj ini bisa dikatakan sosok yang tidak memiliki legitimasi politik untuk durasi yang lama," kata Mardani saat dikonfirmasi, Senin (27/9/2021).

Tak hanya itu, dia menyebut posisi strategis para Pj di Pilkada 2024 juga bisa disalahgunakankan untuk kepentingan politik penguasa.

"Sangat berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan dan konsolidasi politik kelompok tertentu. Karena itu wajib ada transparansi (penunjukan)," jelas Mardani.

Ia juga mengingatkan kegagalan Dwifungsi ABRI perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini. Pola komando yang melekat pada TNI dan Polri dinilainya berbeda dengan pola pelayanan pada birokrat.

"Ini rencana yang perlu dipikir matang. Pengalaman Dwi Fungsi masa lalu perlu jadi pelajaran. Ada perbedaan DNA pengabdian antara sipil dengan TNI-Polri. Pj untuk waktu yang lama bisa berbahaya bagi stabilitas dan kualitas pelayanan publik," kata dia.

Sementara itu, Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengingatkan pemerintah untuk memikirkan ulang wacana penunjukan TNI-Polri sebagai penjabat (Pj) kepala daerah untuk menggantikan pejabat yang habis masa jabatan pada 2022 dan 2023.

"Kita harapkan jangan diseret TNI/Polri untuk mengisi kekosongan jabatan. Karena itu jabatan politis, bukan jabatan karier. Kenapa terjadi reformasi? Salah satunya karenanya dwifungsi ABRI karena zaman Orba pemerintah menerapkan dwifungsi ABRI,” kata Guspardi saat dikonfirmasi, Selasa (28/9/2021).

Guspadi meminta semua pihak mengambil pelajaran dari reformasi. Dia menegaskan masih banyak aparatur sipil negara (ASN) setingkat Dirjen di berbagai Kementerian yang bisa mengisi kursi kepala daerah.

"ASN kan banyak Dirjen di Kemendagri. Kalau seandainya tidak memenubi jumlahnya baru masuk ke Kementerian lain, kenapa jadi TNI/Porli di mana ranahnya itu? Nah kalau Dirjen itu kan jabatan karier, sedangkan Pj itu jabatan politis, dalam UU diatur kalau gubernur masa jabatan habis maka pltnya eselon I di Kementerian,” ucap dia.

Oleh karena itu ia menilai tak ada alasan kekurangan Dirjen untuk mengisi kursi Pj Gubernur. 

“Jadi sebetulnya tidak kekurangan, jadi bisa dari KemenPAN-RB kan banyak Kementerian yang ada,” katanya.

Selain itu, ia meminta pemerintah menjaga citra Presiden Joko Widodo dengan tidak meninggalkan kesan buruk di akhir masa tugasnya.

“Jangan merusak juga citra presiden, karena nanti ada anggapan presiden menarik TNI/Polri untuk berpolitik. Kan Pj itu kan ada Pilkada dia akan diseret Parpol. Jangan dikorbankan dan jangan diseret TNI/Polri,” tegasnya.

“Presiden Jokowi bisa buktikan di akhiri masa jabatannya. Jadikan sejarah guru berharga dan jadikan legacy Jokowi untuk akhir masa jabatan presiden dengan apresiasi,” pungkasnya.     

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya