Beda Pendapat, 4 Hakim MK Sebut Omnibus Law Bisa Diterapkan di Indonesia

Dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Arief Hidayat berpendapat Omnibus Law bisa dipraktikkan di Indonesia.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 25 Nov 2021, 18:44 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2021, 18:44 WIB
Sidang Sengketa Pilpres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Dalam putusannya, MK juga meminta agar UU tersebut diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun.

Namun, dalam sidang yang digelar Kamis (25/11/2021) siang, terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari para hakim konstitusi. Dua hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Arief Hidayat berpendapat Omnibus Law bisa dipraktikkan di Indonesia.

"Praktik Omnibus Law yang sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem common law ini dipandang baik untuk diterapkan dalam sistem hukum Indonesia sebagai upaya penyederhanaan dan keterpaduan undang-undang yang saling berkaitan," ujar Hakim Arief membacakan disstenting opinion-nya.

Menurut Arief dan Anwar, pembentukan undang-undang melalui metode Omnibus Law boleh dilakukan tanpa memasukkannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurut keduanya, metode pendekatan omnibus law juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan hyper regulation peraturan perundang-undangan, mengatur hal yang sama dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memberikan ketidakpastian hukum.

Baik Arief Hidayat maupun Anwar sependapat materi muatan dalam UU Cipta Merja ada yang perlu dikabulkan, terutama terkait hukum ketenagakerjaan.

"Hal ini berkaitan erat dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional buruh. Yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)," kata dia.

Pendapat berbeda juga diajukan hakim konstitusi Manahan Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat bahwa sepanjang sejarah berdirinya MK belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait dengan metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945.

Mereka menyatakan metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum.

Melibatkan Partisipasi Publik

Manahan Sitompul dan Daniel mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU No. 12/2011.

"Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, seharusnya Mahkamah menyatakan UU adalah konstitusional karena UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan dan di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," kata keduanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya